Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Lapis-lapis Korupsi Bawang

Dengan keuntungan Rp 8,4 triliun setahun, tata niaga bawang putih memicu pungutan liar di tiap tahap perizinan. Akibatnya, harga melonjak.

8 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sistem kuota memicu pungutan liar mendapatkan izin impor bawang putih.

  • Swasembada bawang putih gagal karena pengusaha tak sanggup menanamnya.

  • NIlai keuntungan impor bawang Rp 8 triliun per tahun.

MEMASUKI Februari, stok bawang putih di kios Anas Sarnil di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur, menyusut. Pada 7 Februari lalu, di kios seluas 9 meter persegi itu hanya bertumpuk 100 karung. “Biasanya penuh, sekarang barang sedang kurang,” kata pedagang 52 tahun ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelum Februari, Anas bisa menjual 15 ton bawang putih sepekan. Para importir bergantian meneleponnya menawarkan bawang putih dari Cina. “Sekarang saya menelepon importir satu-satu,” ujarnya. “Cuma dapat 4 ton.” Akibat kelangkaan itu, harga bawang putih dalam sepekan terakhir melonjak hingga Rp 45 ribu per kilogram. Pada Desember 2019, kata Anas, ia masih menjual Rp 20 ribu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anas menduga para importir menahan bawang di gudang mereka. Sebab, gejala ini terendus sejak tahun lalu. Kepada Anas, para importir bercerita bahwa Kementerian Pertanian belum menyetujui rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) yang mereka ajukan hingga memasuki tahun baru. Akibatnya, para importir belum bisa mendapatkan kuota impor bawang hingga Januari 2020.

Pada 2019, Kementerian Pertanian baru menerbitkan RIPH pada akhir Maret, telat dua bulan dibanding tahun sebelumnya. Akibatnya, harga bawang putih tahun lalu naik sejak Januari dan mencapai puncaknya pada Mei dengan Rp 50 ribu per kilogram. “Kenaikan harga bawang putih berulang tiap awal tahun,” ucap Hariadi Propantoko dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan.

Menurut Hariadi, fluktuasi harga bawang putih terjadi sejak 2017, setahun sejak Menteri Perdagangan dijabat Enggartiasto Lukita, politikus Partai NasDem. Impor baru bisa dieksekusi setelah para pengusaha mendapatkan surat persetujuan impor (SPI) dari Menteri Perdagangan yang mengacu pada rekomendasi Kementerian Pertanian.

Mantan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita melakukan inspeksi terkait kenaikan harga bawang putih di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, April 2017. TEMPO/Tony Hartawan

Prihasto Setyanto, Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian, menyangkal kelangkaan bawang putih akibat ia telat menerbitkan RIPH. Ketika ditanyai soal ini pada 10 Januari lalu, ia mengatakan RIPH belum terbit karena stok masih cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga Maret. “Sekarang sudah terbit,” tuturnya pada Jumat, 7 Februari lalu.

Sama seperti Anas Sarnil, Prihasto menduga importir menimbun stok bawang putih di gudang mereka untuk memicu kenaikan harga. Soalnya, dalam catatan kementeriannya, stok bawang putih per pekan lalu masih 60-70 ribu ton. Cadangan ini, kata Prihasto, cukup untuk mengguyur pasar satu setengah bulan ke depan.

Para importir mengaku tak paham Kementerian Pertanian selalu menahan RIPH. Seorang importir yang 20 tahun bergelut dalam bisnis ini menduga ada udang di balik izin dari penahanan itu. Ia mengaku diminta menyetor Rp 300 per kilogram oleh petugas di bagian perizinan jika permohonan RIPH hendak dikabulkan segera. “Saya kabulkan dan RIPH langsung terbit, sesuai dengan permohonan,” ujarnya.

Prihasto menyangkal tuduhan importir ini. Menurut dia, sejak 2017 urusan impor bawang putih sudah dibuat setransparan mungkin. “Tanya staf-staf saya apa saya pernah menyuruh aneh-aneh kepada importir,” katanya menunjuk anak buahnya yang mendampingi wawancara. “Berani sumpah pocong, enggak?”

Pungutan liar kuota impor bawang putih tak berhenti di Kementerian Pertanian. Di Kementerian Perdagangan, importir itu juga diminta menyetorkan Rp 1.500 per kilogram oleh seorang calo. “Saya kabulkan juga,” ucapnya, mengenang peristiwa dua tahun lalu itu.

Dengan alasan takut mendapat teror, importir Surabaya ini menolak menyebutkan nama broker itu. Tapi, kepadanya, si broker mengaku meminta uang atas suruhan Menteri Enggartiasto Lukita. Importir ini tak mengecek pengakuan tersebut dan memilih menyetorkan saja pelicin yang diminta itu setelah surat persetujuan impor terbit. “SPI saya gol meski dipotong jadi setengahnya,” katanya.

Bahlil Lahadalia di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Oktober 2019. TEMPO/Subekti

Enggartiasto Lukita, yang menjabat pada 2016-2019, menghindar ketika akan dimintai konfirmasi soal pungutan liar kuota impor ini. Kepada Tempo, ia memberitahukan sedang berada di luar negeri pada akhir Desember 2019. Namun, disambangi ke rumahnya di Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan, hingga pekan lalu, ia tak kunjung ada. Penjaga rumahnya selalu mengatakan Enggar masih di Jepang. Enggar tak menjawab lagi pertanyaan soal impor bawang melalui WhatsApp.

Para importir bercerita bahwa urusan potong-memotong RIPH menjadi SPI itu adalah modus di balik pungutan. Tak semua RIPH yang diterbitkan Kementerian Pertanian dikabulkan oleh Kementerian Perdagangan. Ketua Perkumpulan Pengusaha Bawang Putih dan Aneka Umbi Indonesia, Valentino, mengeluh karena para importir pernah gigit jari tak mendapatkan kuota meski permohonan RIPH telah disetujui. “Ini bikin rugi karena mereka sudah menanam bawangnya,” ucapnya.

Menurut Direktur Impor Kementerian Perdagangan Ani Mulyati, besar-kecil atau pengabulan kuota impor bawang putih sepenuhnya keputusan Menteri Enggar. “Semuanya oleh Pak Menteri, lalu didisposisikan kepada direktur,” kata Ani kepada penyidik ketika diperiksa dalam dugaan korupsi impor bawang politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Nyoman Dhamantra.

Penerbitan surat izin impor juga tanpa patokan jelas. Pada 2018, Enggar menyetujui impor bawang putih sebanyak 600 ribu ton dari 960 ribu ton rekomendasi yang diterbitkan Kementerian Pertanian. Tahun sebelumnya, dalam surat impor yang ia terbitkan hanya 449.860 ton dari 1 juta ton rekomendasi Kementerian Pertanian.

Meski ada banyak pungutan di sejumlah pintu untuk mendapatkan izin impor dan potongan kuota, para importir tetap menangguk untung besar. Harga bawang putih di Cina hanya Rp 7.900 per kilogram pada 2018. Setelah biaya transpor dan izin dimasukkan, sampai di Indonesia harga pengadaan bawang Rp 12.200. Harga bawang putih di pasar pada tahun itu Rp 26.600. Para importir mendapat untung bersih Rp 5.000 per kilogram.

Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan menghitung, dalam satu tahun, untung yang ditangguk para importir, pemasok, dan pedagang bawang putih setidaknya Rp 8,4 triliun. Setiap tahun ada 75-80 perusahaan yang diberi kuota mengimpor bawang putih rata-rata 500 ribu ton, sesuai dengan kebutuhan konsumsi komoditas ini.

Kendati kebutuhan bawang putih terbatas, Kementerian Pertanian tak membatasi permohonan RIPH. Setelah terbit RIPH 1 juta ton pada 2017, tahun berikutnya RIPH yang terbit hanya 760 ribu ton. “Jangankan 1 juta, 10 juta ton pun kalau memenuhi syarat akan saya kabulkan,” ucap Prihasto Setyanto.

Syarat mendapatkan RIPH adalah menanam bawang putih, seperti disebutkan Valentino. Para importir wajib menanam bawang putih seluas 5 persen dari RIPH yang ingin mereka peroleh dikalikan dengan angka produktivitas lahan bawang putih per hektare sebesar 6 ton. Kewajiban ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2017 tentang RPIH yang dikeluarkan Menteri Amran Sulaiman (2014-2019).

Dasarnya adalah angan-angan Amran mencapai swasembada bawang putih pada 2021. Karena produksi bawang putih lokal hanya 4 persen dari kebutuhan, Amran meminta importir menanamnya hingga kebutuhan dalam negeri terpenuhi selama empat tahun. Selama masa menunggu itu, para importir diberi hak mendapatkan kuota impor bawang dari Cina.

Hasilnya berantakan. Sejak 2017, target swasembada tak pernah tercapai. Data Kementerian Pertanian mencatat lebih dari separuh importir masuk daftar hitam karena gagal memenuhi wajib tanam itu. Dalam rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat pada 20 Januari lalu, Ketua Asosiasi Pengusaha Bawang Mulyadi berterus terang menyerah menanam bawang karena tak punya kemampuan budi daya.

Importir bawang yang masuk daftar hitam secara otomatis akan dicoret dalam sistem RIPH di Kementerian Pertanian. Mereka dilarang mengajukan permohonan RIPH tahun berikutnya. Toh, cara ini masih bisa diakali oleh para pengusaha. Tiga perusahaan Ifan Effendi, importir asal Cirebon, Jawa Barat, gagal memenuhi wajib tanam pada 2017 tapi ia masih bisa mengimpor bawang pada 2018. Caranya: memasukkan nama perusahaan baru untuk mendapatkan RIPH (lihat “Angan-angan Swasembada Bawang”).

Prihasto mengakui ia dan stafnya tak mengecek puluhan nama perusahaan yang mengajukan permohonan RIPH hingga ke pemilik sahamnya. Bagi Kementerian Pertanian, karena targetnya adalah swasembada, RIPH akan diterbitkan sepanjang para importir itu benar menanam bawang, yang dicek silang oleh dinas pertanian setempat.

Selain itu, SPI tak punya patokan jelas. Menteri Enggartiasto Lukita bisa memotong atau mengabulkan rekomendasi impor dari Kementerian Pertanian. Rekomendasi kuota PT Sapta Agro Mandiri, satu dari 73 importir, tak pernah dipotong. Meski baru pertama kali mengajukan kuota impor pada 2018, perusahaan ini mendapatkan utuh 15 ribu ton sesuai dengan rekomendasi Kementerian Pertanian.

Aktivitas pedagang bawang putih asal Cina di Pasar Senen, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Dalam dokumen perusahaan saat mengajukan rekomendasi impor, perusahaan ini menerakan alamat kantor di lantai 47 Equity Tower di kawasan bisnis SCBD Jakarta Pusat. Ketika didatangi ke sana, Abdul, petugas keamanan lantai itu, mengatakan tak mengenal nama perusahaan tersebut. Di resepsionis lantai tersebut memang diterakan dua nama perusahaan: PT Jhonlin Baratama dan PT Jhonlin Marine Trans. “Sejak dulu ini kantor Jhonlin dan sekarang sudah pindah semua ke Batulicin, Kalimantan Selatan,” katanya.

Jhonlin adalah perusahaan milik pengusaha batu bara asal Sulawesi, Andi Syamsuddin Arsyad atau Haji Isam. Ketika ditanyai keterkaitan Sapta Agro dengan Jhonlin, Isam mengaku tak mengetahuinya. “Cek di aktanya, siapa pemiliknya, apakah ada kaitan dengan Jhonlin?” Isam balik bertanya.

Dalam akta, pemilik Sapta Agro adalah PT Muara Bayu Sejahtera Utama, perusahaan yang sebagian besar sahamnya dimiliki Dudy Purwagandhi, mantan Chief Executive Officer PT Jhonlin Air Transport. Dudy juga pernah menjabat anggota staf ahli Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara ketika dijabat mantan Wakil Kepala Kepolisian RI, Komisaris Jenderal Syafruddin. Dudy tak bisa dimintai konfirmasi. Menurut penjaga rumahnya di Jalan Gunawarman, Jakarta Selatan, Dudy sedang ke luar kota.

Menurut data Kementerian Pertanian, Sapta Agro salah satu perusahaan yang patuh memenuhi wajib tanam. Karena mendapatkan hak mengimpor bawang 15 ribu ton, perusahaan ini wajib menanam di lahan seluas 128 hektare. Kebunnya tercatat di tiga lokasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ketika data itu dicek ke Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Magelang, Jawa Tengah, Sapta Agro tercatat hanya menanam bawang di lahan 8 hektare dari kewajiban 127,5 hektare di kabupaten ini. “Mungkin mereka menanam di tempat lain,” ujar Kepala Seksi Hortikultura Magelang Yoga Susilo.

Prihasto meminta Tempo bertanya kepada bawahannya ihwal perbedaan data realisasi tanam Sapta Agro. Bawahan Prihasto, Direktur Perbenihan Sukarman, mengaku kurang paham dengan data itu. “Nanti saya tanya ke staf,” katanya. Meski datanya kisruh, Sapta Agro kembali mendapatkan RIPH sebanyak 25 ribu ton pada tahun berikutnya.

Perusahaan baru lain yang kuotanya tak dipotong Menteri Enggar adalah PT Lumbung Mineral Internasional. Pemilik saham mayoritas perusahaan ini dipegang PT Rifa Capital, perniagaan milik Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia. “Jangan tanya soal itu,” ucap Bahlil. “Saya bukan pengusaha lagi.”

Pada April 2018, PT Lumbung mendapat RIPH sebanyak 10 ribu ton setelah menanam bawang putih di lahan seluas 89,3 hektare di Jawa Tengah dan Jawa Timur. SPI bernomor 04.PI-55.18.0234 terbit dua hari setelah diajukan pada 4 Juni 2018 dengan volume impor sama dengan rekomendasinya. Waktu dua hari adalah masa penerbitan SPI yang sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2018 tentang impor produk hortikultura.

Masalahnya, tak semua persetujuan importir terbit dalam waktu sesingkat itu. Dari 73 perusahaan yang mendapatkan persetujuan impor dari Enggar, hanya enam yang surat persetujuannya terbit dalam dua hari. Sisanya terhitung pekan bahkan hingga enam bulan. “Prosesnya berbelit-belit,” kata Ketua Asosiasi Hortikultura Indonesia Anton Muslim Arbi. “Akhirnya terbit setelah kirim surat meski kuotanya dipotong.”

Menurut Gianto Wijaya, politikus Partai NasDem yang dipercaya sejumlah importir mengurus izin impor, pengusaha yang dikurangi kuota impornya masih lebih mujur ketimbang mereka yang ditolak sama sekali. Ia punya pengalaman tak mendapatkan SPI kendati sudah memperoleh RIPH dari Kementerian Pertanian.

Gianto tak tahu persis alasan pengajuan kuotanya ditolak. Tapi para importir memberinya informasi bahwa SPI tak terbit karena ada permintaan uang Rp 2.500-3.000 per kilogram jika ingin disetujui. “Saya memang enggak ngasih,” ujar Gianto, yang mengaku menjadi salah satu inisiator kebijakan wajib tanam 5 persen bawang putih.

Gianto juga mendengar adanya broker izin impor di Kementerian Perdagangan. Di kalangan pengusaha bawang putih, sudah menjadi rahasia umum banyak broker izin impor Kementerian Perdagangan yang memungut setoran per kilogram impor bawang lalu menyetorkan lagi kepada Eva Juliana, anggota staf khusus Menteri Enggar, yang kini menjadi anggota DPR dari NasDem.

Ketika ditemui di DPR, Eva tak menyangkal jika disebut pernah menjadi anggota staf khusus Enggar. Tapi, ketika ditanyai soal uang pelicin untuk izin impor, ia menolak menjawab. “Itu sudah menjadi masa lalu,” katanya. Ia kukuh tak mau menjawab dan mengklarifikasi cerita-cerita yang beredar di kalangan importir bawang putih.

Akibat sogok-menyogok izin impor itu, muncul juga modus lain, yakni jual-beli izin. Seorang importir dari Jakarta bercerita bahwa jual-beli izin dipicu oleh persetujuan kuota impor oleh Menteri Perdagangan dan kewajiban tanam dari Menteri Pertanian. Mereka yang mendapatkan izin impor umumnya perusahaan baru yang tak punya pengalaman menjual bawang. Sementara itu, importir lama seperti dia tak mendapatkan kuota karena terkena sanksi akibat tak bisa memenuhi wajib tanam.

Pada 2018, sebanyak 62 persen nama perusahaan impor bawang putih memang nama baru. Tahun berikutnya, jumlahnya naik menjadi 88 persen. Para importir tersebut menjajakan SPI kepada siapa saja yang ingin mendapatkannya dengan tarif tertentu. “Saya pernah ditawari surat impor Rp 2.000 per kilogram,” ujar Sri Khairul, pedagang di Kramatjati. “Saya tak mau karena tak punya pengalaman.”

Selain jual-beli, pelanggaran tak berhenti di tahap sebelum mendatangkan bawang putih. Beberapa pengimpor mendatangkan bawang putih melebihi kuota yang mereka dapatkan. Tiga perusahaan Ifan Effendi mendapatkan kuota 60 ribu ton--terbanyak dibanding perusahaan lain--pada 2018.

Nyatanya, data pencatatan barang impor di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menunjukkan tiga perusahaan tersebut total mendatangkan bawang putih 77.945 ton pada tahun itu. Ifan mengeblok nomor Tempo ketika ditanyai soal itu. Didatangi ke rumahnya, hanya penjaga yang datang menemui mengambil surat wawancara.

“Mana bisa lebih? Satu kilo saja bisa diperkarakan,” ucap Farid Helingo, Direktur Utama PT Lintas Buana Unggul, yang menjawab ketidaksesuaian data itu. PT Lintas adalah salah satu perusahaan Ifan yang mendapatkan kuota 20 ribu ton. Kepala Seksi Humas Bea dan Cukai Sudiro angkat bahu mengenai kelebihan ini. “Saya enggak paham,” katanya.

Menyimak kekacauan sistem kuota impor bawang putih ini, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, pengganti Enggartiasto Lukita, berjanji memperbaiki tata niaganya. “Kami akan mengevaluasi pelaksanaannya dengan kementerian terkait,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Investigasi ini terselenggara atas kerja sama antara majalah Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dalam program Investigasi Bersama Tempo. Penanggung Jawab: Bagja Hidayat | Kepala Proyek: Erwan Hermawan | Penyunting: Bagja Hidayat | Penulis: Erwan Hermawan, Dini Pramita, Agung Sedayu | Penyumbang Bahan: Erwan Hermawan, Dini Pramita, Agung Sedayu, (Jakarta, Magelang, Brebes), Ivansyah (Cirebon) | Bahasa: Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian, Uu Suhardi | Desain: Djunaedi | Foto: Ratih Purnama

Erwan Hermawan

Erwan Hermawan

Menjadi jurnalis di Tempo sejak 2013. Kini bertugas di Desk investigasi majalah Tempo dan meliput isu korupsi lingkungan, pangan, hingga tambang. Fellow beberapa program liputan, termasuk Rainforest Journalism Fund dari Pulitzer Center. Lulusan IPB University.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus