Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NOVEL Midnight’s Children karya Salman Rushdie dibuka dengan cerita kelahiran Saleem Sinai di malam kemerdekaan India, 15 Agustus 1947. Tanggal kelahiran itu membuat hidup Saleem secara gaib terjerat dalam jalan cerita bangsa itu: nasibnya, hasratnya, bentuk hidungnya. Dengan tokoh utama yang hilir-mudik melewati benturan—sebentar membela adat, sebentar mengkritiknya—kita mendapatkan sebuah kisah menemukan, invent, satu bangsa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemikir Amerika, Fredric Jameson, mencatat nasionalisme yang sedemikian penting bagi Dunia Ketiga muncul dari penceritaan kisah dan pengalaman individual yang melibatkan berbagai anasir dalam masyarakat. Semuanya lalu menjadi sebuah kisah kolektif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demikianlah Saleem Sinai menemukan kisah kakeknya, Aadam Aziz, yang berhidung besar—seperti peta India yang memanjang ke bawah. Aadam dokter lulusan Jerman yang bekerja di Kashmir. Saleem menuturkan cerita kakeknya itu untuk menetapkan suatu kisah penciptaannya dan India.
Aadam diceritakan mendukung gerakan integrasi muslim di India. Ia menyembunyikan aktivis pro-integrasi di rumahnya—melindunginya dari kejaran pendukung partisi India-Pakistan. Aktivis itu berpacaran lalu menikah dengan Amina, ibu Saleem. Belakangan, Amina meninggalkan aktivis itu karena impoten, lalu kawin lagi dengan Ahmed Sinai yang kaya.
Saat Amina akan melahirkan di rumah sakit, seorang perawat mempraktikkan slogan perjuangan “yang kaya menjadi miskin, yang miskin menjadi kaya”. Maka ia tukar anak Amina dengan anak haram hasil hubungan gelap pengusaha Inggris dengan istri pemain akordeon keliling yang miskin. Bayi yang bukan datang dari rahim Amina itu diberi nama Saleem.
Saleem mengatakan tak banyak bedanya dari siapa seseorang lahir. Walau ia anak kandung hubungan gelap seorang Inggris dan perempuan miskin, ia tetap menceritakan dirinya sebagai keturunan Aadam sang dokter Kashmir. Ia pun berlaku laksana anak Amina dan Ahmed Sinai orang kaya itu.
Pada kesempatan lain, secara ajaib, ratusan anak yang lahir di malam kemerdekaan India bertemu secara magis dalam suatu konferensi. Bagi Saleem, hal itu merupakan hadiah yang melampaui asal-usul kelahiran dan perbedaan kasta. India adalah negeri mimpi, kata Saleem, dan karena itu ia bisa melupakan rasa bersalahnya kepada Shiva yang kini jadi anak miskin karena hidup mereka tertukar.
Seperti tandem, Shiva terus membuntuti hidup Saleem. Konferensi anak-anak malam kemerdekaan itu buyar karena mereka tak bersepakat—seperti India yang pecah dengan lahirnya Pakistan dan Bangladesh. Mimpi dan keajaiban yang terjadi pada anak-anak malam kemerdekaan itu pun sirna.
Saleem lalu bergabung dengan kelompok sirkus, komunitas yang mengajarkan “sama rasa sama rata”, di pinggiran New Delhi. Di situ ia menikah dengan pemain sulap yang ternyata sudah mengandung bayi Shiva.
Shiva adalah perwira yang tunduk pada Indira Gandhi, yang kala itu sedang bersiasat memenangi pemilihan umum untuk menjaga kelanggengan dinasti Nehru. Indira merusak impian demokrasi dengan memberlakukan negara dalam keadaan darurat untuk mencegah kekalahannya. Ia juga menghancurkan daerah-daerah kumuh tempat hidup para pemain sulap, sambil memaksakan pemandulan nasional pada 1970-an.
Dalam novel ini, Rushdie mengadon peristiwa historis dengan imaji dan mimpi. Bagi dia, mimpi penting bagi bangsa yang baru. Harapan diperlukan agar sebuah bangsa bisa mengatasi beban kolonialisme, kemiskinan, dan diskriminasi.
Rushdie juga memasukkan kisah-kisah lain yang mengusik: partisi dan kekerasan politik komunal yang memecah bangsa India. Ada pula politik dinasti Indira Gandhi yang menggerogoti demokrasi. Juga janji pemerataan sosial yang seolah-olah terjadi di perkampungan para pesulap komunis di daerah kumuh di New Delhi.
Novel Rushdie ini epik bagi dunia sastra pascakolonial. Ia mirip tetralogi Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, namun berbeda dalam corak penuturan dan isi pesan. Pramoedya memimpikan perjuangan yang sebaik-baiknya, seperti tampak dalam kalimat Latin penutup tetralogi itu: Deposuit potentes de sede et exaltavat humiles—Dia rendahkan mereka yang berkuasa dan naikkan mereka yang terhina. Dalam Midnight's Children, Rushdie mengakhiri novelnya dengan petunjuk menyiapkan acar India, “chutnification”. Kata Rushdie, “to pickle is to give immortality”.
Rushdie, seperti banyak penulis eksil, meledek keajaiban dan janji kemerdekaan suatu bangsa. Hidup di masa pascakolonial, entah di India entah di Indonesia, memang bermula dari perjuangan untuk suatu mimpi dan cita-cita. Tapi, di tengah jalan, kehampaan dan segala benturan terjadi. Pemimpin bangsa yang merdeka itu bisa membebek, mimicry, pada tuan penjajahnya yang otokratis.
Berbagai kisah yang meledek, mockery, tampaknya diperlukan untuk menyiangi jalan bagi cerita hidup sebuah bangsa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Anak Malam Kemerdekaan"