Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUMI takut pada sang waktu, dan sang waktu takut pada piramid. Begitulah sebuah pepatah Mesir memuji piramid dan sekaligus mengagungkan kebudayaannya yang purba. Tema itu dijalin dengan berhasil dan memukau pada acara tetap "Suara dan Cahaya" atau "Sound and Light" di Giza, yang tiap malamnya dijejali turis manca negara. Jam enam sore mereka sudah membanjiri panggung terbuka di hadapan sphinx, dilatarbelakangi tiga piramid yang menjulang - Khufu, Khafre, dan Menkaure. Saat-saat terakhir sinar senja dimanfaatkan, sehingga ketiga piramid yang tersohor itu menjulang dalam bayangan magrib, dikawal oleh sphinx yang ditampilkan sebagai primadona. Riwayat demi riwayat dikisahkan melalui berbagai suara yang mengasyikkan dan permainan cahaya dijuruskan pada sphinx dan piramid, berganti-ganti atau serempak. Musik turut mengiring, di mana perlu. Sementara itu, malam bertambah pekat. Kalau pada siang hari sphinx yang berbadan singa dan berkepala manusia itu serba kelabu, pada malam hari, berkat sorotan lampu, wajahnya cemerlang bagaikan baru keluar dari salon padang pasir. Sphinx menjadi berwibawa dan sungguh mengesankan. Dengan suara lantang, sphinx berkata, "Telah berlalu semua peristiwa di hadapanku. Hampir 5.000 tahun aku di sini zaman datang dan zaman pergi, manusia-manusia rapuh datang dan pergi. Apakah yang lebih rapuh dari manusia? Orang Yunani memberi daku sebuah nama. Sejarawan Herodotus datang kemari 2.400 tahun yang lalu. Aku dikaguminya, lalu diberinya nama: Sphinx." Berkat Sungai Nil dan Firaun yang perkasa, di lembah Nil ini sudah berkembang peradaban yang sama tinggi ketika di semua pelosok dunia manusia-manusia bersahaja mencari sesuap makanan dengan meramu-ramu di hutan. Ketika kebudayaan manusia masih bersahaja di semua penjuru, di tempat ini telah berhimpun para arsitek dan ahli bintang untuk merancang piramid. Lebih dari 4.500 tahun yang silam Firaun Khufu mendirikan piramid yang megah untuk makamnya sendiri. Tingginya 481 kaki, terdiri dari susunan batu kapur sebanyak 2,3 juta, masing-masing seberat 21/2 ton, didatangkan terutama dari daerah Mohattan. Selama 20 tahun 100.000 pekerja berkucur keringat merampungkannya. Lalu bergema suara dari arah lain, "Marilah berterima kasih kepada--Sungai Nil yang memunculkan sebuah peradaban yang besar. Berterimakasihlah kepada peradaban ini, yang menjadi persemaian kebudayaan manusia di bumi." Sphinx berkata lagi, "Di mukaku berlalu tokoh-tokoh besar, seperti Iskandar Zulkarnain dan Ptolemaeus. Aku paham riwayat Yulius Caesar, Cleopatra, dan Antonius. Aku tahu Napoleon. Aku tahu Champollion yang membuka rahasia hieroglyph, yang menyingkapkan kekayaan ebudayaan Mesir yang memesonakan." Lokakarya itu berlangsung tiga hari di hotel modern dekat piramid. Dua piramid terbesar selalu terlihat menjulang megah lewat jendela. Pembicara pertama mengemukakan strategi penelitian mengenai kesehatan, kematian bayi dan anak. Ditekankan pentingnya penelitian jangka pendek yang bisa dimanfaatkan. Penelitian demikian ternyata langka. Pembicara ketiga menggarisbawahinya dengan kocak. Diambilnya sebagai contoh penelitiannya sendiri, yang memasukkan terlalu banyak pertanyaan, terlalu banyak waktu untuk analisa dan penulisan, dan terlalu banyak pula yang tidak bisa dimanfaatkan untuk pembangunan kesehatan. Studi di Amman (Yordania) merupakan contoh yang sangat baik: data kuantitatif yang rumit tersaji dengan sederhana dapat dimengerti dengan mudah. Dengan jelas dapat dilihat bagaimana variabel-variabel sosial (pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan kualitas rumah) mempengaruhi kelangsungan hidup anak. Variabel-variabel sosial itu tidak langsung memberi pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup, tetapi melalui variabel antara, yakni siapa yang menolong persalinan, penggunaan sabun, praktek imunisasi, cara mengobati yang sakit, dan status gizi anggota rumah tangga. Lalu muncullah deskripsi hasil penelitian sebuah daerah miskin di Kairo. Mereka betul-betul miskin, dan, seperti biasanya orang miskin, mempunyai tingkat kematian anak yang tinggi. Ketika pembicaraan sampai pada keluarga berencana, terungkaplah berbagai masalah. Mengingat tingkat kematian yang tinggi di kalangan mereka, apakah mereka tertarik mempraktekkan KB secara bersungguh-sungguh? Di samping itu, tampaknya nilai sosial dan emosional anak sangat tinggi pula di masyarakat ini. Masalah memakan pil antihamil secara acak-acakan dibicarakan panjang lebar. Ibu-ibu memakan pil seminggu satu biji atau hanya jika hendak berhubungan kelamin. Mereka tetap tidak mendapat penerangan yang semestinya dari siapa pun. Sesudah gagal, masih melanjutkan memakan pil secara keliru - seminggu sekali. Ada pula yang memakan tablet busa yang seharusnya dimasukkan ke dalam liang sanggama. Contoh yang ekstrem ini merupakan cermin kecil program KB yang tidak berhasil di Mesir. Layanan sudah dimulai sejak 1966, tapi tidak ada tanda-tanda fertilitas menurun dalam dua dekade terakhir ini. Tanah mereka cuma dataran sempit di pinggir Nil. Jumlah penduduk, lebih dari 1.500 orang per km2 tanah garapan, merupakan terpadat di Afrika. Dan penduduk terus bertambah dengan pesat, sekitar 3% setahun. Mayoritas ibu-ibu masih buta huruf. Kemiskinan merupakan masalah berat yang sulit diatasi. Ketika minum teh, seorang yang ahli Mesir menjelaskan paradoks kebudayaan Mesir. Kebudayaan tua ini diperkaya oleh berbagai unsur kebudayaan lain, tapi kini dihimpit oleh ketuaannya itu. Bahasa elite adalah bahasa klasik yang tidak dipahami masyarakat kalangan rendah. Mereka hanya mengerti bahasa sehari-hari. Buku-buku tertulis dalam bahasa klasik itu. Kemajuan pendidikan di Mesir tidak mampu memperbaiki keadaan ini, malah mempertajamnya. Orang miskin dalam kebudayaan ini tidak cuma miskin harta, tetapi miskin jembatan penghubung yang begitu fundamental untuk kemajuan mereka. Sphinx maklum akan semua ini. Segala persoalan sudah disaksikannya dalam kurun ribuan tahun. Tapi sphinx yang bijaksana juga tahu bahwa dia berbicara untuk turis yang kecapekan. Turis yang menghamburkan uang untuk berlupa, bukan untuk mendengarkan rintlhan orang miskin. Sphinx pun tidak akan mengatakan bahwa, ternyata, mendirikan piramid lebih mudah daripada meratakan kesejahteraan lebih mudah daripada mencerdaskan rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo