Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERNYATAAN Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutarman bahwa rumah hunian tidak boleh digunakan sebagai tempat ibadah adalah keliru dan menyesatkan. Ucapan itu juga berbahaya karena dapat dijadikan pembenaran oleh kelompok intoleran untuk menyerang umat lain yang sedang beribadah.
Statemen Sutarman disampaikan menanggapi penyerangan sebuah rumah di Sleman, Yogyakarta, yang tengah dipakai untuk beribadah secara Katolik. Menurut Kepala Polri, hunian pribadi tidak boleh digunakan sebagai tempat ibadah rutin, seperti salat Jumat dan kebaktian. Menurut Sutarman, pelanggaran terhadap aturan itu bisa dikenai sanksi.
Pemakaian bangunan permukiman sebagai rumah ibadah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006. Di sana ditulis soal perlunya izin untuk menggunakan bangunan sebagai rumah ibadah temporer—misalnya rumah kosong yang untuk sementara difungsikan sebagai masjid atau gereja. Tapi tak ada aturan tentang rumah pribadi yang dipakai untuk beribadah.
Jika larangan Sutarman itu diterapkan, akan banyak orang yang harus dihukum. Banyak umat beragama yang menggelar ibadah rutin di rumah mereka. Pengajian rutin, misa peringatan, tahlilan, dan salat berjemaah adalah ibadah yang lazim dilakukan di rumah. Tak semua harus dan bisa dilakukan di masjid atau gereja. Bahkan, di Bali, memasang sesajen dan berdoa singkat di depannya adalah ibadah rutin yang bisa dilakukan di banyak lokasi, termasuk rumah.
Kepala Polri semestinya tak lupa bahwa undang-undang menjamin publik memeluk keyakinan dan beribadah menurut keyakinannya. Penganut agama juga berhak memiliki rumah ibadahnya sendiri betapapun minoritas mereka di antara penganut agama yang lain. Karena itu, aturan tiga menteri yang mensyaratkan izin warga bagi umat Kristen yang ingin membangun gereja selayaknya ditinjau ulang.
Yang perlu diatur adalah ibadah yang mengganggu lingkungan. Misalnya lagu-lagu rohani dinyanyikan kelewat keras, pengajian menggunakan pengeras suara, ibadah memakai jalan umum, atau berdakwah dengan intimidasi. Agama adalah wilayah privat, tapi bisa dipersoalkan jika aktivitasnya dianggap mengganggu wilayah privat orang lain.
Hal yang terakhir inilah yang semestinya menjadi perhatian Kepala Polri. Sudah sering kita saksikan ibadah diselenggarakan dengan memblokade jalan umum atau disampaikan dengan suara ekstrakeras. Ada pula dakwah yang disertai ancaman dan kecaman terhadap penganut agama lain. Sering pula kita melihat rombongan penganut agama melakukan konvoi dengan sepeda motor yang dikemudikan ugal-ugalan. Berulang-ulang kita saksikan penganut agama dengan jubah panjang merusak rumah hiburan—tempat yang mereka anggap tak sesuai dengan ajaran agama yang mereka peluk.
Tindakan semacam itu harus diberi sanksi. Polisi tak perlu takut dianggap membatasi ekspresi keagamaan suatu kelompok karena yang mereka lakukan jelas-jelas melanggar ketertiban umum. Jangan kecut terhadap teror. Sebagai penegak hukum, kepolisian diberi hak untuk menindak mereka yang melanggar.
Dengan cara pandang ini, seharusnya polisi trengginas mengejar pelaku teror Sleman, bukan malah menyalahkan korban.
Berita terkait klik Disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo