Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Dawam

Penghormatan buat M. Dawam Rahardjo (20 April 1942-30 Mei 2018)

3 Juni 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dawam tumbuh dari sebuah generasi yang beruntung, meskipun tak dengan sendirinya berbahagia. Beruntung karena-lebih dari generasi yang kini disebut milenial-ia sempat menyaksikan dan terlibat dalam sebuah masa ketika ide tidak cuma berbicara di kepala, tapi diuji dalam pengalaman dan memberi makna kepada hidup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi tak dengan sendirinya berbahagia. Ketika ide bertaut dengan tindakan untuk masa depan sebuah "tanah tumpah darah", banyak kerja yang harus dilakukan, juga banyak kepedihan yang terjadi dan cita-cita bersama yang tak sampai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya bertemu dengan Dawam pertama kali di tahun 1967. Ia lulusan fakultas ekonomi, tapi segera tampak ia bukan cuma itu. Ia membaca, menulis, mencari.

Di akhir tahun 1960-an itu ia menerjemahkan untuk majalah sastra Horison satu fragmen karya sastrawan besar Yunani, Nikos Kazantzakis, The Last Temptation of Christ. Kazantzakis dikecam para padri Gereja Ortodoks, tapi ia tak peduli: ia melihat dirinya "religius".

Saya tak tahu adakah bekas Kazantzakis pada Dawam dalam memandang doktrin agama. Mungkin ada. Kelak ia, tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), berani menyimpang dari prasangka umum: ia bela kaum Syiah dan Ahmadiyah ketika minoritas ini diserang golongan Islam yang memegang hegemoni doktrin. Tampaknya, bagi Dawam, ICMI, meskipun didirikan dengan restu Soeharto, bukan sebuah proyek politik, melainkan ikhtiar merapatkan Islam dengan kecendekiawanan. Bagi Dawam, seorang intelektual publik tidak cuma cerdas, tapi juga punya empati kepada mereka yang disingkirkan.

Saya tak tahu apakah sikap ini mengejutkan. Dawam dibesarkan di lingkungan yang dalam kategorisasi sosial Kota Sala, tempat lahirnya, disebut "santri". Ia tumbuh di kalangan saudagar yang akrab dengan gerakan Muhammadiyah, yang semangatnya mengutamakan "kemurnian" ajaran. Agaknya Dawam remaja seorang anggota Pelajar Islam Indonesia (PII). Di masa SMA, ia belajar di Amerika Serikat dalam program AFS (pertukaran siswa yang disponsori Kementerian Luar Negeri AS), kesempatan yang waktu itu umumnya diberikan kepada anggota PII-tanda betapa dekatnya Amerika, dalam menghadapi komunisme, dengan organisasi-organisasi Islam. Tapi dengan latar itu pula tampak Dawam tanpa canggung membuka pikirannya, menjelajahi ide-ide, melintasi sekat ideologi.

"Ideologi" kata yang sakti di percakapan sosial masa muda Dawam. Ini zaman "Perang Dingin": di satu kubu, bergerak kekuatan yang dipimpin Amerika Serikat; di kubu lain, dipimpin Uni Soviet-yang sering dibaca sebagai pergulatan antara komunisme dan antikomunisme.

Dunia dicekam rasa takut. Perang nuklir sewaktu-waktu bisa meletus dan bumi hancur. Juga ada rasa cemas kehidupan akan berubah secara radikal oleh ide-ide: mungkin komunisme, mungkin sosialisme dalam pelbagai variannya, mungkin "liberalisme" yang tak persis garisnya. "Perang Dingin" juga perang sengit wacana, melalui buku, majalah, film, seni rupa, seminar, kongres-kongres.

Waktu itu tak tampak ketegangan itu akan berakhir. Tak disangka pada 1989 Uni Soviet runtuh tanpa dibom, dan komunisme dicampakkan dari Kremlin, dan negeri itu dilahirkan jadi Rusia, tanpa ideologi. Sebelum 1989, dunia dihantui perang setengah terbatas. Korea pecah (sampai sekarang), juga Vietnam dan Tiongkok. Rezim jatuh-bangun di dunia Arab, di Eropa Timur, di Amerika Latin.

Pada masa itu, melalui akhir 1950-an, Dawam dan generasinya hidup dengan latar yang gemuruh dan mendebarkan itu. Partai Komunis kian menguat, kian dominan; Amerika gagal mendukung kekuatan antikomunis, terutama dalam gerakan PRRI dan Permesta yang dipelopori militer. Marxisme dan ide sosialisme jadi wacana utama: di bawah "Demokrasi Terpimpin" Bung Karno, program "indoktrinasi" wajib, dan Marxisme salah satu dari "tujuh bahan pokok".

Marxisme punya daya pikatnya sendiri. Saya tak tahu sejauh mana Dawam tertarik padanya, tapi ia pasti tak asing dengan itu: di kalangan organisasi Islam waktu itu, tak semua menganggap Marxisme racun. Saya kenal seorang sahabat Dawam satu kota, seorang tokoh HMI, yang membaca tekun buku pemimpin Partai Komunis Tiongkok dalam versi Inggris, How to Be a Good Communist.

Saya ingat Althusser: ideologi adalah proses sosial yang menyeru individu dan mengubahnya jadi subyek-satu proses "interpelasi". Tapi ideologi juga instrumen pengendalian kesadaran dan mobilisasi massal-alat yang membuat kehidupan yang rumit jadi terlalu sederhana diuraikan. Subyek yang ditumbuhkannya tak melihat bahwa kehidupan ("realitas") terdiri atas tanda-tanda yang ditafsirkan. Dan tafsir adalah proses kebenaran yang tak selesai. Mengklaim tafsir sudah usai sama dengan membangun kesadaran palsu.

Agama punya kemungkinan seperti itu, ketika iman berubah jadi ideologi. Saya lihat Dawam termasuk yang berusaha mencegahnya. Ia ditempa zaman ideologi, ia sadar akan kekuatan ide-ide di dalamnya, tapi ia tahu ide datang dari wilayah simbolik yang harus ditafsir terus. Ia seorang muslim yang tak kehilangan kepercayaan kepada kemerdekaan manusia.

Goenawan Mohamad

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus