Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Politik Benur Jatah Kroni

Ekspor benih lobster tak hanya mengancam kelestarian alam, tapi juga menggerus pendapatan negara. Kebijakan yang bernuansa bagi-bagi jatah untuk kroni politik.

4 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPUTUSAN Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo membuka kembali pintu ekspor benih bening lobster alias benur adalah kebijakan yang sungguh keliru. Tak hanya membuat negara kehilangan potensi devisa dari sektor menggiurkan ini, keputusan itu patut diduga hanya menguntungkan segelintir pihak yang kebetulan dekat dengan sang Menteri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Edhy harus secepatnya membatalkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 yang terbit pada 5 Mei lalu. Gara-gara regulasi itu, keran ekspor bibit lobster yang sempat dikunci di era Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti kini kembali mengucur deras. Benur atau lobster berbobot kurang dari 200 gram dengan panjang karapas di bawah delapan sentimeter, yang dulu wajib dibudidayakan di dalam negeri, kini dijual bebas ke mancanegara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan peraturan Menteri Edhy itu, pencapaian positif yang sudah diraih sektor perikanan dan kelautan kita selama lima tahun terakhir seperti dipaksa mundur. Upaya susah payah mencari titik kompromi antara kepentingan ekonomi dan kebutuhan ekologi demi terciptanya pembangunan berkelanjutan kembali ke titik nol. Visi ekonomi biru yang digadang-gadang sebagai masa depan Indonesia kini terasa kian tak terjangkau.

Edhy beralasan pembukaan izin ekspor penting untuk menghidupi nelayan penangkap benur di pelosok Nusantara. Dia juga yakin kebijakannya bisa mendatangkan devisa karena, dalam perhitungannya, benih lobster bisa laku hingga Rp 139 ribu per ekor. Politikus Gerindra itu mengatakan, selama ini, hanya satu persen benur yang bisa berkembang di alam karena Indonesia tak memiliki teknologi budi daya lobster yang mumpuni. Apalagi, menurut dia, larangan ekspor hanya menyuburkan penyelundupan.

Ini jelas pandangan yang serampangan. Jika lobster dibudidayakan selama minimal enam bulan saja di dalam negeri, harganya bisa naik sepuluh kali lipat. Bukan cuma nelayan penangkap benur, warga pesisir yang hidup dari usaha pembesaran lobster pun bisa memperoleh pendapatan. Badan Pusat Statistik menyebutkan nilai ekspor lobster dewasa jenis Panulirus pada 2018 mencapai US$ 28,5 juta, naik empat kali lipat dibanding nilai 2015. Ini baru untuk ekspor 1.000-1.200 ton. Bayangkan nilainya jika budi daya lobster itu dilakukan di dalam negeri. Karena itu, Edhy justru mesti mempercepat pengembangan teknologi budi daya lobster.

Tak hanya itu. Apakah pemerintah bisa menjamin bahwa dibukanya izin ekspor akan mengurangi penyelundupan benur? Bisa-bisa yang terjadi malah sebaliknya: karena ekspor dibuka, penangkapan benur secara ilegal justru makin marak. Legalisasi ekspor sebagai cara mencegah penyelundupan benar-benar menunjukkan sesat logika mendasar di benak Menteri Edhy.

Alasan terbesar untuk mempertanyakan kebijakan ini adalah kemunculan para kroni sang Menteri dalam daftar perusahaan eksportir yang mendapat kuota penangkapan benur. Daftar ini disahkan pemerintah ketika Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan bahkan belum merilis kajian mengenai ketersediaan stok benur di alam.

Ada dugaan, puluhan perusahaan dalam daftar itu mengakali sederet syarat yang diminta pemerintah. Banyak yang baru pertama kali masuk bisnis ekspor benur. Mereka jelas tak pernah membudidayakan lobster dan belum melakukan restocking atau melepaskan sebagian hasil budi dayanya ke alam, seperti yang disyaratkan peraturan menteri.

Lolosnya perusahaan-perusahaan itu diduga kuat terkait dengan latar belakang para pemiliknya. Penelusuran majalah ini menemukan nama-nama petinggi partai dan politikus yang dekat dengan Edhy di sana. Amat disayangkan jika kebijakan pemerintah malah menjadi ajang bancakan politikus partai. Indikasi korupsi tercium pekat dalam praktik semacam itu.

Selain itu, ada nama-nama orang bermasalah dalam daftar calon eksportir yang disahkan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sebagian pernah divonis bersalah di pengadilan sebagai pelaku penyelundupan benur di masa lalu. Kemunculan mereka meneguhkan dugaan bahwa peraturan baru ini adalah upaya mencuci bersih kesalahan para penyelundup itu. Para penegak hukum tak boleh tinggal diam. Mereka harus proaktif mengendus potensi pidana ini.

Jika Menteri Edhy keukeuh mempertahankan aturan ini, Presiden Joko Widodo mesti turun tangan membatalkannya. Kalaupun kelestarian alam bukanlah faktor penting yang patut dipertimbangkan, setidaknya Presiden harus menghitung potensi raibnya devisa hingga triliunan rupiah akibat kebijakan keliru anak buahnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus