Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PANDEMI Covid-19 ternyata menjadi mantra sakti untuk keperluan apa pun. Lewat program Pemulihan Ekonomi Nasional, pemerintah mengucurkan Rp 2,78 triliun ke Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Dana itu untuk menutup defisit perusahaan produsen bahan bakar nabati (BBN/biofuel) buat pengadaan bahan bakar minyak solar jenis B30. Biosolar B30 diproduksi dengan kombinasi 70 persen minyak solar dan 30 persen BBN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kucuran dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan itu tak lebih dari solusi gampangan karena pemerintah tak berani mengambil cara lain yang lebih masuk akal. Defisit terjadi karena harga solar yang terus menurun, sedangkan harga minyak sawit cenderung lebih stabil. Karena harga B30 dipatok tetap Rp 5.150, yang babak-belur produsen biofuel. Selisih antara harga jual CPO di pasar dan harga yang dipasok untuk B30 kian lebar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama ini, selisih ditutup oleh BPDPKS. Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu Badan Pemeriksa Keuangan, pada 2015-2017, BPDPKS menyubsidi program biosolar B30 sebesar Rp 21,7 triliun atau 96,8 persen dari total dana yang disalurkannya. Sisanya untuk peremajaan perkebunan sawit rakyat. Padahal program B30 ini tidak ada dalam daftar penerima dana dari BPDPKS.
Dibentuk Presiden Joko Widodo lima tahun lalu, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit merupakan badan layanan umum di bawah Kementerian Koordinator Perekonomian. Mereka mengelola dana hasil pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO) sebesar US$ 50 per ton. Tujuan utamanya adalah mendorong perkebunan sawit berkelanjutan. Pada 2016, Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan subsidi menggunakan dana perkebunan tersebut tidak ada dasar hukumnya.
Belakangan, BPDPKS kelimpungan karena anjloknya harga minyak memicu penurunan harga indeks pasar (HIP) solar. Selisihnya dengan HIP biodiesel Rp 8.352 makin menganga. Akibatnya, biaya yang harus mereka salurkan ke produsen BBN membengkak. Masalah BPDPKS bertambah karena hampir setahun terakhir mereka tidak mendapat pemasukan lantaran harga minyak sawit mentah yang sedang turun tidak memenuhi batas pemungutan ekspor.
Sebelumnya, pemerintah menargetkan produksi BBN sebesar 9,59 juta kiloliter. Namun pandemi Covid-19 mengakibatkan banyak sektor industri semaput dan dampak lanjutannya adalah penurunan konsumsi BBM. Itu sebabnya, pemerintah menurunkan target menjadi 7,83 juta kiloliter. Kondisi inilah yang dijadikan alasan suntikan ke BPDPKS. Itu pun belum akan menutup defisit BPDPKS sebesar Rp 3,54 triliun.
Sepintas lalu, alasan itu bisa diterima. Namun pemberian subsidi ini terasa menggelikan karena kantong pemerintah sesungguhnya juga makin tipis. Anggaran untuk mengatasi Covid-19 saja sudah mencapai Rp 405 triliun—yang sebelumnya tak ada di APBN 2020. Selain itu, ada yang salah dalam penyaluran dana tersebut. Dana itu dipungut dari perusahaan sawit besar dan pada akhirnya kembali ke kantong mereka melalui anak usaha yang memproduksi BBN. Perkebunan rakyat tetap saja merana.
Pemerintah sebetulnya punya opsi lain, yakni menaikkan harga biosolar yang sejak 2016 tetap Rp 5.150 per liter. Pilihan ini niscaya dihindari karena tidak populer. Pilihan lain adalah mengerem ambisi program biosolar. Apa gunanya program ini diteruskan jika pada akhirnya hanya membebani anggaran negara. Lagi pula, sudahkah pemerintah menghitung kembali apakah penghematan dari pengurangan impor solar sepadan dengan subsidi untuk produsen BBN. Sepertinya pemerintah kalah cerdik dibanding segelintir raksasa sawit.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo