Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Golf

Kisah kata-san yang hendak bermain golf di padang-padang golf di Jakarta, tapi ditolak petugas. Alasannya cuma untuk anggota & relasi para pejabat. Di padang golf bekas kebun sayur, ia diizinkan main.

18 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"KOK, banyak banget stick yang dibawa? Memangnya, mau turnamen di sini?" tanya saya kepada Kata-san. Ia ingin main golf di Jakarta. Kata dia, Indonesia adalah surga bagi pemain golf. Padangnya hijau sepanjang tahun. Disinari matahari pagi yang menyehatkan. Tetapi, ada yang paling menyenangkan bagi orang Jepang, seperti Kata-san. Tarif bukan main murahnya. "Saya bawa 14 clubs," katanya singkat, berseri-seri. "Saya mau puaskan main di sini." Ia menengadah dan tertawa sangat ceria. "Sudah kamu pesankan, kita hendak main di padang golf yang mana?" tanya sahabat saya itu tiba-tiba. Saya tersentak. Baru sadar bahwa orang main golf mesti pesan lapangan jauh hari sebelumnya. Tetapi, dasar bekal nekat, saya jawab saja, "Ah, gampang. Kata-san kepingin main di mana?" tanya saya. "Di mana saja. Pokoknya, saya ingin santai dan bergolf ria." Seolah ia mengisyaratkan jangan risau perkara biaya. Pikiran saya melayang pada padang golf Rawamangun, yang kini dilingkari oleh liuk jalan layang yang perkasa. Atau di Pondok Indah, yang dikelilingi oleh hunian nyaman. Kalau kepingin padang kelas agak pinggiran, akan saya bawa ia ke Sawangan, Pondok Gede, Cibubur, atau mana saja. Begitu banyak padang golf yang sudah dibangun di Jakarta. *** "Mohon maaf, Pak. Apa teman saya boleh main di sini?" tanya saya kepada petugas di Padang Golf Rawamangun. Orang yang saya tanya itu pun terheran-heran. Dengan penuh wibawa, ia berkenan memberi wejangan, "Di sini, yang main cuma anggota, atau relasi anggota yang sangat terhormat, Pak. Kalau ingin main, mesti jadi anggota dulu. Kalau sudah jadi anggota, baru boleh bawa relasi." Saya pun permisi terbata-bata. "Sengaja kamu saya tunjukkan dulu tempat yang paling dekat. Sekarang, kita pergi ke padang golf yang paling indah di kota ini," kata saya menghalau rasa malu. Kata-san mengangguk tersenyum, pura-pura maklum. Dan meluncurlah saya ke Pondok Indah. "Mas, kasihanilah teman saya. Ia jauh-jauh dari Jepang hendak main golf di sini. Tetapi, ia bukan anggota, saya pun belum jadi warga kumpulan orang terhormat di sini. Bantulah saya, berapa ongkos kemurahan hati Bapak, saya akan tebus," ucap saya sembari berdebar-debar, karena baru pertama kali itu menawari petugas untuk menerima sogok. "Sorry, Boss. Tidak bisa. Silakan, cari tempat lain saja. Memangnya, mau main dakon. Yang bisa datang terus nimpa, begitu mungkin di Cianjur atau Tasikmalaya." Ah, slompret abang yang satu ini, gerutu saya dalam hati. *** Dalam setengah putus asa, saya bawa ia lari ke atas. Kalau sampai, ingin ke Cianjur atau Tasikmalaya. Saran gila. Mana mungkin ngebut ke Cianjur atau Tasik dalam waktu begitu tergesa-gesa. "Eh, Cipto-san. Nih, sebelah kanan sepertinya padang golf?" seru Kata-san tiba-tiba. "Mana ada padang golf di sini. Padang lobak wortel atau sawi barangkali," sanggah saya. Saya sangat mengenal daerah itu. "Lihatlah. Padang rumput yang dipangkas pendek dengan gundukan dan genangan itu mesti dirancang sebagai teeing area, fairway, dan traps," ujar Kata-san. Ia tampak sudah sangat tidak sabar. Saya pun terpaksa mengalah. Membelok, kami memasuki padang, yang semula saya kenal sebagai kebun sayur. Kini, tempat itu telah disulap menjadi taman rumput dan perdu yang cantik, terhampar luas sejauh mata memandang di lereng bukit. "Puuunten. Apa ieu padang golf teh?" tanya saya bersopan-sopan sekenanya. Tidak mengira, bapak yang gagah perkasa di pintu regol itu pun sigap menjawab. "Benar, Pak. Silakan, masuk!" Pintu pun terbuka. Hari sudah sore. "Masih sangat nyaman untuk main di saat begini," Kata-san mendesak. "Boleh main, Pak?" saya memohon. "Boleh, boleh, silakan!" Saya pun curiga. Gampang banget. Dengan setengah berbisik, saya pun bertanya. "Bayarnya berapa sih, Pak, main di sini." "Tidak bayar. Ini untuk menarik wisatawan. Silakan, main sepuasnya!" sahut si bapak gagah perkasa. Saya makin tidak percaya. Tetapi, Kata-san terburu sudah membongkar kantung kulitnya. Dikeluarkannya tongkat club-nya, dan tak sabar lagi menuju teeing area. Dengan sigap, caddy-caddy yang gagah perkasa berseragam cemerlang melayani sahabat saya. Katagiri tampak begitu dahaga bermain golf sendiri di padang megah perkasa ini. Ternyata, Kata-san memang main sendirian. Sore itu, dialah satu-satunya pegolf yang bersenang ria. Hari begitu sepi. Bahkan, burung kacer pun enggan bernyanyi. Onggokan kehijauan itu tampak bukan seperti sembarang gundukan terpelihara. Ia lebih menyerupai kuburan, entah siapa. Topswing, downswing, dan backswing Kata-san berdesir membelah udara dingin. Desisnya menegakkan bulu roma. Setiap pukulannya serasa menghantam bukan biji bola. Benda putih benjol-benjol itu terempas hebat, lalu bergulir menahan nestapa. Toh Katagiri-san tak peduli. Ia tetap menghantamnya sekuat tenaga. Pedih dan memilukan. Para petugas keamanan, penjaga taman golf itu, tetap tegap berdiri di sana. Tabularasa. *** Saya pun gragapan terbangun. Astagfirullah haladziem.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus