Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SALAH satu tuntutan Saddam Hussein sebelum pasukan Irak menyerbu Kuwait minggu lalu adalah agar Kuwait memberi ganti rugi pada Irak sebesar U$ 14 milyar, untuk apa yang disebutnya sebagai tindakan Kuwait yang menyebabkan turunnya harga minyak di pasar dunia belakangan ini. Kuwait (bersama Abu Dabi) dengan terang-terangan selalu melanggar kuota produksi minyak yang ditetapkan OPEC. Keduanya memproduksi minyak dengan kelebihan 1 juta barel sehari dari kuota mereka. Akibatnya, terjadi kelebihan produksi minyak, dan harga minyak merosot selama tiga bulan terakhir. Orang boleh menertawakan bagaimana Saddam Hussein membuat perhitungan ini, sebagaimana Barat menertawakan ancaman Saddam Hussein untuk membumihanguskan Israel. Tapi orang akan memperoleh perspektif dari sisi lain, bila yang terjadi adalah kemarahan sebuah negara yang secara militer kuat seperti Irak, yang tidak bisa dikendalikan lagi. Tindakan Kuwait yang melanggar kuota OPEC dan merusak harga minyak tidak saja merugikan Irak. Anggota OPEC lain, terutama yang berpenduduk besar seperti Indonesia dan Nigeria, lebih merasakan kerugian ini. Kalau Irak yang cuma berpenduduk 13 juta merasa berhak menuntut ganti rugi terhadap tindakan Kuwait selama ini, Indonesia juga tak kalah berhak daripada Irak untuk menuntut ganti rugi yang sama. Indonesia tinggal berusaha menghitung berapa kerugian devisa akibat turunnya harga minyak yang disebabkan oleh ulah Kuwait ini. Ini bukan polemik hipotetis karena hal ini bisa dijadikan OPEC untuk memikirkan kembali bentuk sanksi yang bisa dikenakan terhadap anggotanya yang melanggar kuota yang sudah disepakati di masa datang. Yang tak pernah jelas secara tuntas adalah kenapa Kuwait yang cuma berpenduduk 1,5 juta itu, yang produksi minyaknya sama dengan produksi Indonesia yang berpenduduk 100 kalinya, masih merasa perlu "mencuri" kuota lagi? Sudah miskinkah Kuwait? Sudah bangkrutkah Kuwait seperti Irak karena perang? Kuwait, yang merupakan salah satu negara paling kaya di muka bumi ini, tampaknya masih belum puas dengan kekayaan yang ditumpuknya selama ini. Tak ada angka pasti tentang besarnya aset Kuwait yang ditanam di luar negeri. Tapi para pengamat Barat pada umumnya memperkirakan aset Kuwait yang ditanam di negara industri bernilai 80-100 milyar dolar. Jumlah kekayaan yang mungkin tak akan habis sampai hari kiamat buat warganya yang jumlahnya kecil itu. Dan Kuwait masih terus menuntut. Benar bahwa dalam sidang OPEC terakhir di Jenewa bulan lalu, Kuwait bersedia mengurangi produksi minyaknya sesuai dengan kuota yang diberikan OPEC. Tapi dengan catatan, kalau nanti harga minyak membaik, Kuwait minta kuota produksinya ditambah lagi. Dan OPEC pun menurutinya. Tak heran bila, di mata para pendukungnya, penyerbuan tentara Irak ke Kuwait dilihat sebagai perang Saddam Hussein melawan sebuah ketamakan. Kuwait memang merupakan negara Arab yang cukup canggih dalam mengelola investasi hasil minyaknya. Dia merupakan negara Arab pertama yang melihat strategisnya keterkaitan antara ladang minyaknya dan industri hilir. Beberapa fasilitas penyulingan minyak dan ratusan pompa bensin di Eropa Barat dan Amerika sudah dibeli Kuwait. Di Eropa Barat, bila Anda naik mobil Anda akan sering bertemu pompa bensin Q8. Itu adalah merek bensin Kuwait. Kuwait merasa bahwa hasil dari minyak mentah tidak selalu bisa diandalkan dan harus diimbangi oleh hasil nilai tambah dari industri hilir minyak yang lebih mantap. Pola integrasi vertikal, dari pengeboran, penyulingan, dan pemasaran minyak, seperti yang dipelopori Kuwait sudah merupakan pola yang mulai ditiru oleh negara penghasil minyak lainnya. Kuwait juga sudah melakukan diversifikasi. Uang Kuwait sudah ditanam dalam bentuk saham perusahaan-perusahaan terkenal di Eropa dan di Amerika, terutama di perusahaan-perusahaan yang nilai sahamnya bisa diandalkan (blue chip companies). Di Jerman, Kuwait memiliki saham Daimler Benz, perusahaan yang memproduksi mobil Mercedes Benz. Di Inggris, sebagian saham British Petroleum sudah dibeli Kuwait. Di Jepang, Kuwait memiliki saham Toshiba dan Hitachi. Di AS, saham Kodak dan General Electric yang dimiliki Kuwait cukup besar. Salah satu perusahaan minyak besar di California, Santa Fe, seratus persen dimiliki Kuwait. Di samping itu, Kuwait merupakan pemain tangguh di bisnis properti di negara industri, terutama di sektor perhotelan dan perkantoran. Kurang apa lagi Kuwait? Saddam Hussein, tak bisa disangkal, merupakan tokoh Arab yang sedang naik bintangnya. Kekuatan militer Irak, dengan 1 juta tentara dan 700 pesawat terbang yang sudah teruji dalam perang melawan Iran, cukup menakutkan negara Arab lainnya. Dengan takluknya Kuwait, dalam waktu sekejap cadangan minyak yang dikuasai Irak melonjak duakali lipat, hampir sama dengan cadangan minyak yang dikuasai ArabSaudi. Dengan penguasaan cadangan minyak sebesar itu, pengaruhIrak dalam penentuan harga minyak tambah berbobot. OPEC berusaha agar harga minyak mencapai U$ 21 dolar per barel, dari tingkat U$ 18 sekarang. Saddam Hussein menuntut agar harga minyak dinaikkan menjadi U$ 25 per barel. Saddam Hussein tak usah menunggu sampai akhir tahun untuk tercapainya kenaikan harga minyak ini. Invasinya ke Kuwait dalam waktu sekejap telah melonjakkan harga minyak menjadi U$ 23 per barel. Padahal, tiga minggu lalu, harga minyak sudah merosot sampai U$ 16, bahkan harga beberapa jenis minyak tertentu Timur Tengah cuma U$ 12. Negara penghasil minyak, termasuk Indonesia, bakal menikmati tindakan Saddam Hussein ini, yang ironisnya tak bisa dinikmati Kuwait. Barangkali memang sudah nasib Kuwait bahwa ia harus mengalami kekerasan negara tetangganya itu. Ini memang sangat disesalkan. Tapi siapa pun perlu ingat bahwa OPEC, yang sebentar lagi akan merayakan ulang tahunnya yang ke-30, telah membuktikan dirinya bukan sekadar kelompok penghasil minyak. Riwayatnya yang cukup panjang membuktikan ketangguhannya di hadapan berbagai krisis yang beberapa kali sempat mengancam keutuhan OPEC. Sebagai organisasi, OPEC telah menumbuhkan suatu kultur dan nilai tersendiri yang harus dihormati oleh semua anggotanya. Sebuah nilai yang sempat dilupakan Kuwait. Kuwait sempat mengabaikan sebuah solidaritas dan kebersamaan. Untuk itu, Kuwait harus membayar mahal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo