Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Masalah Narasi Kesuksesan Pemerintah

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mencatat beberapa capaian ekonomi makro pemerintah.

14 Oktober 2019 | 07.30 WIB

Masalah Narasi Kesuksesan Pemerintah
Perbesar
Masalah Narasi Kesuksesan Pemerintah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mencatat beberapa capaian ekonomi makro pemerintah. Tapi, jika ditelisik lebih rinci, sifatnya masih sangat tentatif, bergantung pada dari mana kita melihatnya. Pertama, soal inflasi yang rendah, yang rata-rata berada di kisaran 3-4 persen per tahun. Pemerintah tentu boleh mengatakan itu sebuah prestasi. Dalam konteks konvensional, inflasi rendah bisa bermakna bagus karena pemerintah dianggap berhasil meredam gejolak harga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi, coba kita sandingkan dengan data tren penurunan konsumsi rumah tangga serta kapasitas ekspor non-minyak dan gas bumi yang terus melemah, juga data impor komoditas yang justru terus meningkat. Apalagi jika kita kaitkan dengan keadaan di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Negara-negara besar yang terpapar stagnasi sejak krisis ekonomi 2008 itu sangat berharap inflasinya naik. Bahkan, di Amerika dan Eropa, untuk mencatatkan inflasi 2 persen ke atas saja, usahanya sangat berat.

Di Indonesia, di tengah inflasi yang rendah, terjadi pelemahan di sektor konsumsi rumah tangga, pelemahan ekspor nonmigas, dan peningkatan impor. Boleh jadi ini berarti penurunan daya beli. Saya yakin, sejak dua tahun lalu, pemerintah sangat memahami kondisi ini. Beberapa kali pemerintah telah menambah alokasi dana sosial dan subsidi energi untuk menahan pelemahan konsumsi rumah tangga. Hanya, narasi yang dibangun ketika itu bukanlah ancaman pelemahan daya beli, melainkan tekanan ekonomi akibat perlambatan pertumbuhan global.

Tak bisa dimungkiri, rendahnya raihan pertumbuhan ekonomi Indonesia diakibatkan oleh melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan penurunan kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB), selain kurang maksimalnya kinerja investasi dan ekspor nonmigas. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia pada kuartal I 2019 hanya tumbuh 5,07 persen dibanding periode yang sama tahun lalu atau tumbuh negatif 0,52 persen dibanding kuartal sebelumnya. Angkanya sejalan dengan melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Pada kuartal I 2019, pertumbuhan konsumsi tercatat sebesar 5,01 persen secara tahunan. Meski lebih baik dibanding periode yang sama tahun lalu, konsumsi sedikit melambat dibanding kuartal IV 2018, yang mencapai 5,08 persen.

Sebagai kontributor terbesar perekonomian, konsumsi rumah tangga menjadi salah satu acuan untuk mengukur ekonomi secara keseluruhan. Tren pertumbuhan konsumsi selalu sejalan dengan laju ekonomi. Saat konsumsi melambat, hal itu hampir dipastikan akan berefek pada agregat pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, inflasi rendah lebih banyak didorong oleh pemerintah dari sisi pasokan, terutama dari sisi impor. Untuk kepentingan stabilisasi harga, pemerintah habis-habisan menjaga pasokan, tanpa banyak memikirkan kapasitas produksi dalam negeri, sehingga impor tak bisa terelakkan sampai data neraca dagang beberapa kali defisit.

Selanjutnya soal angka kemiskinan. Pemerintah selalu menarasikan telah berhasil menurunkan angka kemiskinan ke level single digit. Padahal, jika dilihat secara rinci, penurunan angka kemiskinan berada dalam tren normal, tak ada loncatan. Bahkan, dibanding beberapa tahun pemerintahan SBY, pemerintahan sekarang masih terbilang kalah angka. Jika membandingkan indikator kemiskinan dalam dua rezim, pemerintahan SBY periode pertama mampu menurunkan angka kemiskinan sebesar 2,51 persen, dari 16,66 persen pada 2004 menjadi 14,15 persen pada akhir 2009. Pada periode kedua pemerintahan, SBY menorehkan hasil lebih baik dengan menurunkan 3,19 persen angka kemiskinan, dari 14,15 persen menjadi 10,96 persen. Rata-rata penurunannya per tahun 0,57 persen.

Selama empat tahun pemerintahan berjalan, Jokowi berhasil menurunkan angka kemiskinan sebesar 1,14 persen atau rata-rata 0,28 persen per tahun. Bila dipukul rata, tentu terlihat jelas bahwa SBY jauh lebih mumpuni ketimbang Jokowi dalam hal penurunan angka kemiskinan. Dalam konteks ini, agak susah juga diterima raihan penurunan angka kemiskinan pemerintahan Jokowi sebagai sebuah prestasi. Lagi pula, penurunan angka kemiskinan, juga penurunan angka pengangguran, sangat berkaitan dengan raihan pertumbuhan ekonomi.

Jadi, agak kontradiktif jika di satu sisi pemerintah gagal dari sisi pertumbuhan, tapi sukses dalam mengurangi angka kemiskinan. Selama ini banyak pihak mempersoalkan rendahnya pertumbuhan ekonomi karena akan berimbas pada kapasitas perekonomian nasional dalam mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran di tengah laju pertumbuhan penduduk dan laju angkatan kerja yang cukup tinggi (bonus demografi). Sejatinya kekhawatiran tersebut sangat beralasan, apalagi ditambah dengan variabel ancaman middle income trap di balik rendahnya angka pertumbuhan.

 
Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus