Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Merayakan Kelahiran Pancasila

Hari ini, 71 tahun silam, dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Sukarno mengusung Pancasila sebagai dasar untuk negara yang akan segera merdeka, Indonesia. Kini, Presiden Joko Widodo menginginkan hari itu diperingati sebagai Hari Kelahiran Pancasila dan ditetapkan sebagai hari besar nasional. Hal ini patut didukung.

31 Mei 2016 | 21.19 WIB

Merayakan Kelahiran Pancasila
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Hari ini, 71 tahun silam, dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Sukarno mengusung Pancasila sebagai dasar untuk negara yang akan segera merdeka, Indonesia. Kini, Presiden Joko Widodo menginginkan hari itu diperingati sebagai Hari Kelahiran Pancasila dan ditetapkan sebagai hari besar nasional. Hal ini patut didukung.

Hari lahir Pancasila dilupakan. Rakyat diarahkan memperingati Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober. Sebuah peringatan yang didasarkan pada kegagalan Gerakan 30 September yang hingga saat ini tak jelas siapa berada di belakangnya. Soeharto menetapkannya sebagai Hari Kesaktian Pancasila karena ia menganggap pada tanggal itulah PKI gagal mengganti Pancasila dengan komunisme.

Menetapkan 1 Juni sebagai Hari Kelahiran Pancasila bisa jadi merupakan penjernihan sejarah. Kita tidak lagi mendasarkan tonggak sejarah pada sebuah masa yang berkabut, melainkan pada peristiwa yang jelas.

Yang jadi masalah adalah panjangnya proses penetapan hari nasional tersebut. Ada yang mengatakan keputusan presiden soal ini sudah lama dibahas di tingkat eselon satu. Lalu, diperlukan dua bulan lagi untuk pembahasan di Sekretariat Negara. Dan hingga kemarin siangkurang 24 jam sebelum hari peringatannyakeputusan itu tak kunjung ditandatangani Presiden.

Jika nantinya Presiden Joko Widodo resmi menetapkan hari ini sebagai Hari Nasional Kelahiran Pancasila, sudah seharusnya langkah itu dijadikan tonggak untuk semakin merealisasi nilai-nilai Pancasila. Bukan sekadar peringatan dan seremoni belaka. Sekaranglah saat yang tepat untuk itu, karena ada begitu banyak hal yang mengganggu kehidupan berbangsa kita saat ini.

Pasca-reformasi, radikalisme justru makin kuat. Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) pada 2010 hingga awal 2011 menyatakan hampir 50 persen pelajar setuju terhadap tindakan radikal. Penelitian itu juga menyatakan 25 persen siswa dan 21 persen guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Adapun 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru setuju penerapan syariat Islam di Indonesia. Jumlah yang menyatakan setuju atas kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3 persen siswa. Bahkan 14,2 persen membenarkan serangan bom.

Tujuh puluh satu tahun silam, Sukarno memperjuangkan Pancasila karena ia yakin, tanpa ideologi pemersatu, Indonesia akan terpecah-belah oleh paham sektarian dan radikal seperti itu. Ia dan sejumlah pendiri Negara mati-matian meyakinkan kelompok Islam agar mau menerima Pancasila sebagai dasar negara, dan mereka berhasil.

Keberhasilan ini hendaknya berlanjut. Bukan dengan indoktrinasi seperti penataran P4 pada zaman Soeharto, melainkan dengan mengajak untuk berbangga dan mengamalkan Pancasila yang membuat kita bersatu dan mau menerima orang lain yang berbeda. Pancasila hadir bukan sebagai ideologi absolut, melainkan sebagai ideologi yang kita sepakati bersama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus