Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dua pelanggaran etik yang dilakukan Arief Hidayat sepatutnya membuat dia meninggalkan jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Dia perlu mendengarkan tuntutan dan peringatan 54 guru besar, bekas hakim konstitusi, dan kalangan anti-korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Citra MK kini berada pada titik terendah. Dua kasus suap yang melibatkan Akil Mochtar dan Patrialis Akbar sepanjang dua tahun terakhir membuat lembaga yang dibentuk sebagai benteng terakhir penegakan konstitusi itu terpuruk. Kini, Arief tidak mampu mengangkat nama baik lembaga dengan tindakan kontroversialnya, kalau tidak mau disebut semakin memperdalam citra buruknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Selain pelanggaran etik- dia mengirim surat sakti ke Kejaksaan Agung untuk memuluskan seleksi kepegawaian kerabatnya dan bertemu dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebelum mengikuti uji kelayakan dan kepatutan untuk periode kedua jabatannya- Arief membawa MK menelurkan banyak putusan yang tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi. Pada Juli 2015, misalnya, dalam uji materi Pasal 7 huruf (g) Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, Mahkamah memutuskan bekas narapidana boleh mengikuti pemilihan kepala daerah.
Lalu, pada Mei 2016, Mahkamah mengabulkan permohonan uji materi Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang diajukan istri terpidana kasus hak tagih Bank Bali, Djoko S. Tjandra. Mahkamah menyebutkan, jaksa penuntut umum tidak bisa mengajukan peninjauan kembali.
Empat bulan berselang, Mahkamah memutuskan rekaman percakapan tidak bisa dijadikan alat bukti hukum. Putusan itu menanggapi uji materi atas Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 huruf (b) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang digugat Setya Novanto. Ketika itu, dia tersangkut kasus "Papa Minta Saham".
Pada Januari 2017, Mahkamah menyetip kata "dapat" dari Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Implikasinya, kerugian negara harus dihitung pasti dan nyata dalam pengusutan rasuah serta menjadi syarat pengusutan kasus korupsi.
Pada Kamis pekan lalu, Mahkamah menyatakan Panitia Angket KPK sah secara hukum. Dia menolak uji materi Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Putusan itu membuat independensi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam bahaya.
Arief semestinya sadar harus menanggalkan segala kepentingan pribadi. Nyatanya, dua kali pelanggaran etik membuktikan bahwa dia belum steril dari bermacam kepentingan.
Sebaiknya Arief meniru langkah hakim konstitusi Arsyad Sanusi, yang mundur setelah keluarganya dikabarkan terlibat dalam pemilihan kepala daerah di Bengkulu Selatan pada 2011. Arsyad diberi sanksi etik tertulis karena dianggap membiarkan anggota keluarganya berhubungan dengan pihak beperkara.
Sebagai guru besar hukum, Arief sepatutnya menjunjung tinggi etik. Penolakannya untuk mundur dengan dalih tidak melanggar hukum sama sekali tidak mencerminkan tradisi akademis yang menjunjung tinggi kejujuran dan etika.
Demi kewibawaan MK, mundurlah Arief.