Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Para Instrumentalis dan Para Komponis

22 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Slamet A. Sjukur

  • Komponis, anggota Akademi Jakarta

    Bulan lalu, ada pelajaran menarik dari sebuah konser.

    Mulanya Joel Sachs, sang konduktor, memberi aba - aba, dan tampak ritmenya sangat rumit. Dua pemain biolin sibuk mengikuti perintahnya, namun nyaris tidak ada bunyi yang terdengar. Kemudian terompet menyusul. Instrumen yang biasanya lantang ini pun hanya ”ngowos” lirih sekali. Instrumeninstrumen lain mengikutinya, dan perlahanlahan bunyibunyi itu mulai ”menyatakan” dirinya semakin jelas.

    Dalam kekacauan yang begitu memukau, tibatiba sepasang maracas terdengar. Iramanya bikin goyang, dan sepertinya tidak berurusan dengan yang ada di sekitarnya. Seterusnya terjadilah selangseling antara yang menggoyang dan yang bikin penasaran.

    Pada karya lain, sendirian piano memulai dengan nada yang diulang terus menerus seperti air menetes. Tanpa tergesa, bunyibunyi instrumen lain mulai menganyam sarang labalaba yang lembut di udara. Situasi semakin kompleks, mendesak, dan berani. Pada puncaknya, waktu berangsur surut kembali: terdengar lagi piano yang menetes seperti awalnya. Suatu simetri yang hanya tertangkap oleh ingatan auditif.

    Sangat menggembirakan bahwa musik yang masih saja tidak lazim bagi kita yang setiap hari dijejali musik ”manisan” ini bisa diterima dengan senang hati. Dan jangan lupa bahwa dua di antara pemainnya—semua berasal dari Amerika—sudah tidak muda lagi. Mereka, Cheryl Seltzer (pianis) dan Joel Sachs (pianis dan konduktor), punya wawasan dan kemampuan jauh lebih muda dari orangorang yang ketinggalan zaman.

    Ensembel Continuum dengan 19 pemainnya (termasuk di dalamnya Momenta String Quartet) 3 Desember lalu tampil di Pusat Perfilman Usmar Ismail, memainkan karyakarya Conlon Nancarrow, Philip Carlsen, Ursula Mamlok, dan Elliott Sharp, di samping karya Tony Prabowo yang menjadi penutup acara. Tony Prabowo tidak saja mengunci acara malam itu, karena mereka khusus didatangkan ke Jakarta untuk pergelaran tiga hari berturutturut. Pada dua hari sebelumnya, mereka di Graha Bakti Budaya hanya mementaskan karya Tony: Pastoral dan The King’s Witch. Keduanya dengan sajak Goenawan Mohamad. Baru pada acara terakhir, Tony menunjukkan dirinya sendiri dalam Psalm, suatu kepedihan terhadap tsunami yang dinyatakan langsung dengan musik tanpa melalui sajak.

    Suatu kesempatan langka, kita mendengarkan karyakarya komponis kita disajikan dengan kualitas yang meyakinkan. Tidak masalah apakah musik hanya sebagai tunggangan koreografi dan sastra, nyatanya dia menerobos masuk lewat telinga kita. Tak perlu pula membandingkan Continuum dengan ensembelensembel lain yang di atas angin, seperti InterContemporain pimpinan Pierre Laurent Aimard (Prancis), SurPlus – James Avery (Jerman), atau yang di Belanda: Nieuw Ensemble – Ed Spanjaard.

    Ya, kita tidak hanya kekurangan komponis yang berani tidak peduli pada selera industri pasar, tapi juga kekurangan pemain musik yang betulbetul berbobot. CD Ananda Sukarlan, yang berisi karyakarya Trisutji Kamal untuk piano, ikut menandai tonggak baru dalam sejarah musik kita. Tony sendiri telah menerbitkan dua CD yang 99 persen merupakan produksi dalam negeri, sangat bagus, dari kualitas pemainnya, rekamannya, sampai desain visualnya.

    Tony Prabowo merupakan pertemuan kebetulan antara ketekunan dan nasib baik. Banyak di antara karyanya yang ia revisi terusmenerus, untuk disesuaikan dengan keperluan pergelaran atau untuk memenuhi idealismenya sendiri yang tidak kenal kompromi.

    Tidak banyak komponis berkualitas yang punya nasib baik seperti dia, artinya mendapat berbagai dukungan material yang diperlukan untuk mempertunjukkanmemperdengarkan karyakaryanya. Umumnya mereka melarat atau harus bisa menjilat pada kemewahan, mengesampingkan perkara jatidiri. Dalam kondisi bangsa kita yang serba menjepit ini, apa boleh buat mungkin kita hanya bisa berharap: mudahmudahan para komponis terbaik kita bisa bernasib sebaik Tony Prabowo.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus