Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sulardi
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang akan merevisi Undang-Undang KPK saat ini, telah diserahkan oleh Presiden kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Kedua kementerian itu akan mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, RUU yang berasal dari DPR, bila telah mendapat persetujuan dari fraksi-fraksi di DPR, drafnya diserahkan kepada presiden untuk mendapat persetujuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Namun mekanisme persetujuan itu masih memerlukan dua tingkatan pembicaraan. Pada tingkat pertama, DPR memberikan penjelasan atas substansi RUU tersebut. Presiden atau kementerian yang mewakilinya lalu menyampaikan pandangan dan mengajukan daftar inventaris masalah. Setelah itu, akan dicari titik temu di antara kedua pihak. Pada tingkat kedua, bila pemerintah menyetujui, RUU itu disahkan dan diundangkan melalui lembaran negara dan berita negara supaya mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, masih ada peluang bagi presiden untuk menolak RUU KPK.
Istilah "veto" sebenarnya tidak dikenal dalam mekanisme penyusunan undang-undang di negara kita. Veto dikenal dalam proses penyusunan undang-undang di Amerika Serikat. Negara itu merupakan negara yang menerapkan prinsip trias politika yang mirip dengan apa yang diinginkan oleh pencetusnya, Montesquieu (1689-1755), yakni pemisahan secara tegas tiga pilar kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Kekuasaan membuat undang-undang di Amerika ada pada lembaga legislatif, yang terdiri atas Senat dan DPR. Dua badan ini mempunyai kesetaraan dalam menyusun undang-undang. UU yang telah mendapat persetujuan bersama antara Senat dan DPR diajukan ke presiden untuk mendapat persetujuan. Ada dua kemungkinan: presiden menyetujui atau tidak. Apabila presiden setuju, RUU itu menjadi undang-undang yang berlaku. Bila presiden tidak menyetujui, RUU tersebut tidak bisa berlaku. Kongres mempunyai daya paksa untuk memberlakukan RUU, dengan cara Senat dan DPR bersidang secara terpisah. Bila salah satunya menolak veto presiden, RUU tetap berlaku tanpa persetujuan presiden.
Lain halnya dengan model penyusunan undang-undang di Indonesia. Presiden sepenuhnya mempunyai hak veto atas RUU yang diajukan oleh DPR. Hal tersebut tecermin dalam Pasal 20 ayat 2 UUD 1945 bahwa "Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama". Kata "persetujuan bersama" ini merupakan persyaratan mutlak, melekat pada setiap undang-undang yang akan diberlakukan. Jadi, masing-masing institusi mempunyai hak veto atas RUU yang diajukan oleh pihak yang lain.
Persetujuan presiden pada tahap ini berbeda dengan pengesahan. Pada saat presiden bersama DPR membahas undang-undang, kapasitasnya adalah sebagai kepala pemerintahan yang kelak melaksanakan undang-undang tersebut. Adapun pengesahan yang dilakukan oleh presiden itu kapasitasnya sebagai kepala negara. Kedudukan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan ini yang sering tidak diperhatikan.
Ketika presiden tidak menyetujui RUU yang diajukan oleh DPR pada tahun pembahasan, hal tersebut merupakan penolakan dari presiden atas RUU itu. Konsekuensinya, RUU itu tidak bisa diajukan lagi. Namun, bila presiden tidak mengesahkan RUU yang sudah mendapatkan persetujuan bersama DPR dan wakil pemerintah, RUU itu akan berlaku 30 hari setelah tanggal persetujuan bersama tanpa ada tanda tangan pengesahan oleh presiden. Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) merupakan salah satu undang-undang yang tidak ditandatangani oleh presiden saat pengesahannya.
Masyarakat menginginkan presiden tidak menyetujui RUU KPK. Saat inilah tahapan itu sedang berlangsung. Presiden punya hak veto untuk tidak menyetujuinya. Jangan salah momentum. Bila presiden tidak mau menandatanganinya setelah adanya persetujuan bersama DPR dan wakil pemerintah, hal itu tidak akan ada artinya. Sebab, 30 hari setelah disetujui bersama oleh DPR dan wakil pemerintah, RUU itu secara legal menjadi undang-undang tanpa pengesahan presiden. Ini namanya kekonyolan yang luar biasa.
Dari sudut politik, bila presiden berkenan untuk tidak menyetujui RUU KPK, presiden akan mendapat standing applause dari masyarakat. Rakyat akan merasakan bahwa suara mereka didengar dan akan melihatnya sebagai keberpihakan presiden terhadap KPK. Ibarat pertunjukan wayang, saat ini merupakan episode terakhir. Ada pilihan mukti atau mati. KPK hidup atau KPK mati. Kedua-duanya ada di tangan Presiden Joko Widodo, untuk menyetujui atau tidak menyetujuinya.