Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
MENTERI Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly mengatakan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bukan untuk membatasi kritik. Alasan pemerintah membuat pasal ini, menurut Menteri Yasonna, adalah setiap orang memiliki hak hukum untuk melindungi harkat dan martabatnya. Dalam pikiran Yasonna, pasal ini menjadi penegas batas bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beradab.
Dengan melihat alasan-alasan Menteri Yasonna Laoly, yang menjadi wakil pemerintah dalam pembahasan Rancangan KUHP dengan Dewan Perwakilan Rakyat, “keadaban” memiliki tiga dimensi: menyangkut kehormatan seseorang atau pejabat, bisa dicapai dengan aturan atau hukum, serta ciri masyarakat sebagai suatu totalitas dengan ukuran dan standar yang terumuskan dalam hukum tersebut.
Dimensi pertama mengandung konsekuensi bahwa makin tinggi keadaban makin perlu hukum melindungi posisi itu. Di titik ini kita melihat kekeliruan sekaligus konservatisme yang lazim di kalangan para autokrat. Benarkah keadaban identik dengan hukum? Dalam negara yang menjunjung kedaulatan rakyat, perlukah penguasa dilindungi “keadabannya”?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo