Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Perkecil Kesenjangan Kaya-Miskin

DI pengujung 2015 ini, pemerintah harus menaruh perhatian penuh pada isu kesenjangan ekonomi. Hasil penelitian Bank Dunia yang dirilis Selasa pekan lalu menunjukkan, dalam hal perbedaan kaya-miskin, negeri ini sudah harus ekstrawaspada. Badan dunia itu mencatat, koefisien Gini Indonesia selama tiga tahun (2011-2014) menganga pada angka 0,41. Pada tahun 2000, Gini ratio itu mampu bertahan pada angka 0,30.

15 Desember 2015 | 01.03 WIB

Perkecil Kesenjangan Kaya-Miskin
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

DI pengujung 2015 ini, pemerintah harus menaruh perhatian penuh pada isu kesenjangan ekonomi. Hasil penelitian Bank Dunia yang dirilis Selasa pekan lalu menunjukkan, dalam hal perbedaan kaya-miskin, negeri ini sudah harus ekstrawaspada. Badan dunia itu mencatat, koefisien Gini Indonesia selama tiga tahun (2011-2014) menganga pada angka 0,41. Pada tahun 2000, Gini ratio itu mampu bertahan pada angka 0,30.

Gini ratio atau koefisien Gini adalah ukuran ketidakmerataan alias ketimpangan ekonomi di sebuah negara. Koefisien itu terentang dari angka 0 (pemerataan sempurna) hingga 1 (ketimpangan sempurna). Semakin besar angka Gini, semakin menganga kesenjangan ekonomi di sebuah negara. Dengan koefisien 0,41, posisi Indonesia sejajar dengan Uganda, bahkan lebih buruk ketimbang India.

Yang mencengangkan, pertumbuhan pendapatan orang terkaya Indonesia tiga kali lebih cepat dibanding orang miskin. Padahal jumlah orang kaya hanya sekitar 10 persen dari populasi penduduk. Sedangkan jumlah warga termiskin kurang-lebih 40 persen.

Sehari sebelum pengumuman Bank Dunia, Credit Suisse Research Institute mendeklarasikan bahwa jumlah miliarder asal Indonesia melesat 54 persen (dari 98 ribu menjadi 151 ribu orang pada 2020). Sebanyak 987 individu memiliki kekayaan ultra-tinggi (dengan aset di atas US$ 50 juta atau setara dengan Rp 700 triliun), meningkat 8,9 persen dibanding tahun lalu. Kondisi itu menempatkan Indonesia pada posisi ke-19 di antara 20 negara dengan jumlah penduduk berkekayaan ultra-tinggi terbanyak. Data pemerintah pun relatif tak berbeda dengan data tersebut. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Gini ratio Indonesia terus merangkak naik sejak 1999.

Pemerintah, sayangnya, belum banyak bergerak untuk mengatasi keadaan itu. Tak ada terobosan yang berarti. Program padat karya atau insentif bagi manufaktur sektor padat karya memang telah dilakukan, tapi belum ampuh untuk mengangkat ekonomi masyarakat miskin.

Sebaliknya, pemerintah malah mengklaim sukses menurunkan angka kemiskinan. Berdasarkan laporan mutakhir BPS, jumlah penduduk miskin susut dari 28,28 juta (Maret 2014) menjadi 27,72 juta (September 2014). Tapi tingkat pengangguran terbuka meningkat dari 5,70 persen pada Februari 2014 menjadi 5,94 persen pada Agustus 2014.

Pemerintah Presiden Joko Widodo tak boleh menepuk dada atas pertumbuhan ekonomi yang masih bisa dicapai pada saat negara-negara lain minus atau stagnan. Faktanya, peningkatan yang dihasilkan bukanlah pertumbuhan yang berkualitasyang menyentuh semua kelas ekonomi. Perputaran roda ekonomi nasional hanya menggerakkan mesin uang orang-orang kaya dan para konglomerat. Yang miskin makin terpuruk. Kesenjangan yang menganga akan melahirkan problem sosial yang serius, seperti kekerasan dan kriminalitas. Problem sosial, pada gilirannya, juga akan membawa dampak terhadap kontinuitas pembangunan. Keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan inilah yang sepatutnya dijaga pemerintah Jokowi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus