Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Polemik yang berujung pada penghentian audisi beasiswa bulu tangkis Djarum seperti membuka hipokrisi dalam pengembangan olahraga di negeri ini. Institusi negara dan industri rokok terkesan ingin tampil sebagai pihak yang "paling berjasa", sembari sibuk menyamarkan kepentingan masing-masing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Perkumpulan Bulu Tangkis (PB) Djarum dan Djarum Foundation akhirnya menghentikan audisi menjaring bibit pemain bulu tangkis mulai tahun depan. Mereka memutuskan hal itu setelah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melarang penggunaan logo Djarum dalam ajang audisi tahunan yang telah berjalan sejak 2006 itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
KPAI menganggap pemasangan logo Djarum itu sebagai eksploitasi terhadap anak-anak. Sebaliknya, pihak Djarum menganggap larangan KPAI merugikan mereka yang telah berkontribusi besar bagi cabang olahraga bulu tangkis Indonesia. Polemik ini seharusnya diselesaikan dengan kepala dingin, tanpa harus berujung pada keputusan yang merugikan masa depan bulu tangkis Indonesia.
Larangan KPAI bukan tanpa dasar. Komisi merujuk pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anakdan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012tentang Pengendalian Tembakau. Menurut aturan itu, pelibatan anak dalam kegiatan berbau promosi rokok memang dilarang. Begitu pula dengan promosi rokok secara terbuka dalam kegiatan olahraga. Larangan serupa telah berlaku di pelbagai negara dan menjadi standar pada semua perhelatan olahraga internasional.
Masalahnya, di Indonesia, urusan sponsorship rokok tidak semata menyangkut aspek legalitas. Sejauh ini pemerintah belum mampu membiayai pembinaan cabang olahraga tanpa melibatkan dunia usaha. Faktanya, perusahaan rokok seperti Djarum kerap menjadi sponsor utama perhelatan olahraga. Berdasarkan catatan Institute for Development of Economics and Finance, perusahaan rokok mengucurkan dana corporate social responsibility (CSR) untuk kegiatan olahraga, kesenian, dan pendidikan yang jumlahnya hampir dua kali lipat angka yang diberikan perusahaan lain.
Fakta bahwa Djarum telah berperan besar dalam pengembangan bulu tangkis Indonesia memang tak bisa dimungkiri. Tapi hal itu seharusnya tak membuat mereka jemawa. Dengan keuntungan besar dari penjualan rokok-yang merugikan kesehatan masyarakat-Djarum sudah seharusnya memiliki tanggung jawab sosial yang besar pula. Memajukan pelbagai cabang olahraga merupakan salah satu wujud tanggung jawab itu.
Kesediaan Djarum untuk menurunkan semua logo mereka sembari tetap melanjutkan audisi tahun ini patut dihargai. Namun Djarum perlu melanjutkan pencarian bibit atlet bulu tangkis tanpa harus mempromosikan logo mereka secara telanjang, dan tidak menghentikan program ini tahun depan. Djarum bisa membentuk yayasan yang nama dan logonya tidak identik dengan nama perusahaan rokok itu.
Sayangnya, keputusan berkontribusi tanpa pamrih itu mungkin sulit diharapkan, lantaran terjadi polemik berkepanjangan. Tuduhan mengeksploitasi anak-anak mungkin menyakitkan PB Djarum. Karena itu, Kementerian Pemuda dan Olahraga, KPAI, dan PB Djarum harus kembali duduk bersama. Dengan iktikad baik, mereka perlu merundingkan lagi cara berkontribusi dengan mengutamakan prestasi olahraga di satu sisi dan peraturan tentang larangan mempromosikan produk tembakau di dunia olahraga di sisi lain. Selama masih saling membutuhkan, kenapa harus ribut-ribut?