Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Keputusan polisi menjadikan Veronica Koman sebagai tersangka penghasutan kerusuhan Papua jelas mengada-ada. Selain tuduhan itu mudah dipatahkan, penetapan Veronica sebagai tersangka mengaburkan akar sebenarnya dari kerusuhan yang meletup di Papua dan Papua Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Veronica ditetapkan sebagai tersangka sejak pekan lalu atas tuduhan menyebarkan konten provokatif dan berita palsu di media sosial. Kepolisian Daerah Jawa Timur menjerat aktivis hak asasi manusia itu dengan pasal berlapis melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Langkah polisi yang eksesif menjerat pidana orang-orang yang bersuara lantang sungguh disesalkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Suara lantang Veronica mengenai Papua semestinya dilihat sebagai bagian dari kemerdekaan berekspresi menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk di media sosial. Polisi cukup melakukan klarifikasi bila informasi yang Veronica sampaikan tidak akurat, termasuk menunjukkan bagian mana dari pernyataannya yang mengandung kabar bohong.
Sebagai pengacara yang sering mendampingi mahasiswa Papua, wajar bila Veronica kerap mencuitkan perkembangan informasi yang tengah terjadi di sana melalui akun media sosialnya. Konten yang disampaikan Veronica pun banyak berisi video kejadian di Papua. Apa yang dia sampaikan sebenarnya bisa diuji dan dibandingkan dengan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
Di sinilah dibutuhkan kebesaran hati polisi dan tentara. Untuk membuktikan sahih-tidaknya informasi yang disebarluaskan Veronica, kedua institusi itu harus jujur kepada publik dalam menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi di Papua. Termasuk terbuka dan berterus terang perihal persekusi dan diskriminasi rasial yang terjadi di asrama Papua di Surabaya, Jawa Timur. Sebab, insiden itulah yang memicu kerusuhan yang meluas di Bumi Cenderawasih.
Daripada sibuk mencari keberadaan Veronica, Polda Jawa Timur semestinya fokus mengusut kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua. Persekusi dan umpatan melecehkan tak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun. Polda Jawa Timur memang telah menetapkan tiga tersangka dalam perkara ini. Salah satunya adalah pegawai negeri Pemerintah Kota Surabaya. Tapi penetapan tersangka itu baru dilakukan hampir dua pekan setelah persekusi terjadi. Padahal kerusuhan setidaknya bisa diminimalkan bila polisi sigap mengusut kasus rasisme di Surabaya.
Pemerintah dan aparat keamanan harus sadar bahwa umpatan melecehkan bisa dengan mudah menyulut bara konflik yang sudah lama mengakar. Ketidakpuasan itu terjadi sejak era Orde Baru. Pendekatan keamanan yang memicu berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM telah membuat penduduk Papua kecewa.
Yang dibutuhkan mereka adalah rasa keadilan atas berbagai pelanggaran HAM yang selama ini terjadi di sana. Rasa keadilan itu tidak cukup diukur dengan membangun infrastruktur. Lebih jauh dari itu, pemerintah harus segera menyelesaikan sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Pelaku kejahatan harus mendapatkan hukuman setimpal.
Pemenuhan hak masyarakat Papua mesti menjadi prioritas pemerintah. Hanya dengan cara itulah kepercayaan masyarakat Papua berangsur-angsur pulih. Penetapan tersangka terhadap Veronica tidak menyelesaikan akar persoalan di sana.