Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sholehudin Zuhri
Analis Hukum KPU RI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Di tengah wabah Covid-19, Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah, dan penyelenggara pemilihan umum bersepakat menunda pemilihan kepala daerah, yang sedianya dijadwalkan pada 23 September 2020. Penundaan ini didasari fakta bahwa pilkada telah terkena dampak langsung wabah corona. Dengan adanya pembatasan sosial dan fisik, tahap pemilihan tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena hampir semua tahapan membutuhkan partisipasi masyarakat secara langsung. Selain itu, kebijakan pembatasan sosial berskala besar membutuhkan dana yang tidak sedikit, sehingga anggaran untuk pemilihan dapat dialihkan dalam upaya percepatan penanganan sampar ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sejauh ini, dari 23 negara yang menerapkan lockdown, seperti yang dirilis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setidaknya terdapat tiga negara yang terkena dampak langsung dalam pelaksanaan pemilu akibat pandemi global Covid-19. Setelah Inggris menunda pemilihan kepala daerah hingga tahun depan, hal yang sama juga terjadi pada pemilu legislatif putaran kedua di Iran, yang ditunda hingga akhir tahun ini. Kondisi dilematis yang sama dialami Indonesia untuk pilkada 2020. Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2020 juga terancam batal atau minimal terjadi pembatasan kampanye terbuka, konvensi, dan penataan tempat pemungutan suara. Kondisi ini tentu mengubah konstelasi politik yang berkembang.
Institut Internasional untuk Demokrasi dan Bantuan Elektoral (IDEA) menetapkan 20 prinsip yang harus terpenuhi untuk terciptanya standar pemilu yang demokratis. Beberapa prinsip ini adalah kebebasan berserikat, kebebasan berkumpul, kebebasan bergerak, serta kebebasan berpendapat dan berekspresi. Prinsip ini menjadi roh dalam penerapan 15 standar pemilu demokratis, yang pada praktiknya tertuang dalam tahapan pemilu.
Pada aspek regulasi, berdasarkan ketentuan peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang tahapan pilkada, dijelaskan secara rinci tahapan dan alokasi waktu setiap tahap tersebut. Konsekuensi logis dari pengaturan tahapan ini adalah setiap tahapan tidak dapat dilaksanakan di luar waktu yang ditentukan dan penyimpangan dari ketentuan ini merupakan tindakan melawan hukum.
Selain itu, terdapat hubungan antar-tahapan. Contohnya tergambar jelas pada ketentuan yang berkaitan dengan pemungutan suara. Pasangan calon yang terdapat dalam surat suara adalah pasangan calon yang terdaftar dan lolos rangkaian tahap pencalonan; pemilih harus terdaftar pada tahap pemutakhiran daftar pemilih dan tahap itu dilaksanakan oleh petugas tempat pemungutan suara, yang dibentuk pada tahap pembentukan badan ad hoc oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pandemi Covid-19 telah memaksa KPU menunda empat tahapan pilkada beberapa waktu yang lalu. Ini sekaligus berimplikasi pada tahapan yang lain, sehingga penundaan pilkada 2020 penting dilakukan. Selain itu, ketidaksiapan teknologi informasi sebagai perangkat penunjang aktivitas pilkada di tengah pandemi Covid-19 menjadi ancaman keberlangsungan pilkada secara demokratis sesuai dengan standar dan prinsip pemilu demokratis.
Penundaan pilkada memunculkan skeptisisme masyarakat, yang didasari kenyataan bahwa penundaan itu hanya tertuju pada aspek kontestasi politik. Namun penundaan ini akan menjadi optimisme bila dijadikan momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki sistem pilkada.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVII/2019, yang menguji konstitusionalitas keserentakan pemilu, memungkinkan beberapa model keserentakan pemilu yang konstitusional. Beberapa model ini dapat diterapkan untuk memperkuat sistem presidensial, yang akhirnya berdampak pada penguatan posisi eksekutif di daerah. Model pertama adalah memisahkan pemilu nasional dan lokal. Ini berarti pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan pilkada dilaksanakan serentak dan terpisah dari pemilu nasional. Model kedua dengan memisahkan pilkada dari pemilihan legislatif daerah dan nasional, sehingga tidak menambah panjang daftar kompleksitas masalah Pemilu 2024.
Perbaikan tata kelola pilkada dapat dilakukan secara komprehensif. Pada agenda ini, pemerintah dapat menyusun teknis pilkada yang lebih berkualitas. Sebagai contoh, menerapkan e-voting baik dengan pilot project maupun keseluruhan, menyiapkan infrastruktur yang dibutuhkan, serta melatih sumber daya manusia yang andal. Selain itu, pemerintah dapat memperbaiki teknis masalah klasik pilkada, seperti daftar pemilih. Pemerintah dapat mendesain daftar pemilih yang lebih akurat dan berbasis teknologi yang terintegrasi dengan data e-KTP, yang sejauh ini sudah mendekati 100 persen penduduk.
Harapan masyarakat ini dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk menyiapkan perbaikan sistem dan tata kelola pilkada, bukan sebatas penundaan. Pemerintah dapat menyiapkan paket perubahan mendasar pilkada lebih luas, yang dimulai dari pilkada serentak nasional mendatang. Langkah ini tergolong perubahan mendasar karena pelaksanaan pilkada serentak sedianya dilaksanakan pada 2024. Namun, jika dilihat dari masa jabatan kepala daerah di seluruh wilayah Indonesia dan untuk menekan munculnya masalah yang kompleks dalam pemilu serentak 2024, penundaan ini menjadi momentum yang tepat untuk menata ulang pelaksanaan pilkada. Selain itu, terpisahnya pelaksanaan pilkada dengan pemilu memungkinkan masyarakat mengevaluasi hasil pemilu dengan pilkada pada waktu berikutnya.