Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Sinyo liberal dan tanah jawa

Pada masa pemerintahan kaum liberal, peran pendidikan & politik tidak memadai. para bupati kehilangan pamornya, tingkat pendidikan & intelektualitasnya rendah. berpesan kepada anaknya untuk mendapat pelajaran.

17 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH Jenderal van den Bosch yang arsitek Tanam Paksa diturunkan dari tahta dengan paksa dan Tanam Paksa lambat laun diakhiri pada tahun 1870-an maka sinyo-sinyo dari golongan liberal pun menggantikannya sebagai penguasa tanah Jawa. Sejak lama sebenarnya sinyo-sinyo liberal ini mengungkapkan kejengkelannya terhadap teori dan praktek cultuurstelsel. Sebagai anak kandung dari revolusi borjuasi maka mereka amat peka terhadap segala bentuk monopoli pemerintah. Kdtik mereka terhadap cultuurstelsel adalah kritik mereka terhadap monopoli pemerintah, yang tak memberi kesempatan kepada pihak swasta, yang hampir selalu dicemoohkan sebagai 'pencari untung pribadi yang mata duitan'. Pada tahun 1970-an maka kaum liberal inilah yang ganti berkuasa di tanah Jawa. Sinyo Liberal dan Pendidikan Dengan gayanya yang amat sarkastis, Multatuli mengatakan bahwa beda yang amat asasi antara golongan konservatif (yang mendukung proyek Tanam Paksa) dengan golongan liberal adalah: 'Kaum konservatif menginginkan dari Hindia semua keuntungan yang bisa diambil, sedangkan kaum liberal menginginkan semua keuntungan yang bisa diambil dari Hindia'. 'Beda' yang secara amat tajam dilukiskan oleh Multatuli itu bagi kalangan rakyat petani tanah Jawa memang terbukti. Orang Olanda baik sesudah maupun sebelum tahun 1870-an tetap saja mereka kenal sebagai 'Kumpeni Olanda'. Namun lepas dari sarkasme Multatuli, kita dapati ciri-ciri yang benar-benar membedakan kedua kelompok pencari untung tersebut. Beda yang dalam jangka panjang memberikan pengaruh besar. Yaitu ketika pada tahun 1870-an pemerintahan liberal Olanda mulai menyisihkan sedikit uangnya untuk membiayai pos pendidikan bagi kaum pribumi. Pada masa cultuurstelsel tidak ada pendidikan. Karena yang dibutuhkan saat itu adalah tanah dan otot orang Jawa semata. Ilmu, ketrampilan, teknologi dan keberuntungan, semuanya merupakan hak khas kolonial. Berbeda dengan kaum konservatif, golongan liberal yang berkuasa menganggap bahwa seluruh lapisan masyarakat pribumi harus dididik. Kemampuan intelektual kaum pribumi perlu dipelihara dan ditingkatkan. Telah tersedia alasan-alasan politis maupun ekonomis untuk mendidik orang pribumi tersebut. Muka untuk pendidikan khusus pribumi saja tahun 1870 pemerintah kolonial telah menyediakan uang 300 ribu gulden, sedang tahun 1900 meningkat menjadi 1.409.000 gulden. Dalam kamus golongan liberal tidak dikenal 'kerja paksa' dengan alasan apapun juga. Sebab itu pula mereka tidak menyetujui Tanam Paksa karena di dalamnya terkandung unsur yang memperlakukan petani sebagai tenaga yang dipaksa bekerja. Para petani itu bukan hanya dipaksa untuk menanam tanaman ekspor yang ditentukan pemerintah, akan tetapi sekaligus diperlukan sebagai tenaga paksa forced, compulsory-labor). Dalam pemikiran kaum liberal para petani/pekerja dianggap sebagai tenaga yang bebas. Dengan demikian mereka dapat dihubungi secara langsung di tempat di mana mereka berada. Sebagai akibatnya perantaraan kaum feodal atau bangsawan Jawa menjadi tersisih. Para penguasa pribumi dalam hubungan ini tidak lagi menjadi perantara yang vital antara para pemilik modal dengan rakyat petani-pekerja. Apa lagi dengan masuknya alat-alat mekanisasi (misalnya pabrik gula) di paruh kedua abad 19 telah menyebabkan pengerahan tenaga kerja yang tak terdidik menjadi kurang relevan. Pengelolaan kolonial yang efektif bukan lagi pertama-tama soal pengerahan tenaga kerja. Hubungan langsung antara para pekerja/petani Jawa dan pemilik modal swasta ini pada gilirannya akan menimbulkan dilema pelik di kalangan para bupati. Dilema Para Bupati Ditinjau dari segi pendidikan maupun peran politik di masa pemerintahan kaum liberal telah yata bahwa para bupati banyak kehilangan pamor-pamornya yang gemerlap di masa lampau. Mereka tak bisa lagi mengandalkan keningratannya, sebab keningratan tidak dengan sendirinya dianggap penting oleh penguasa kolonial. Pemerintah merasa bisa berhubungan langsung dengan rakyat tanpa terlalu tergantung pada jasa-jasa baik para bangsawan. Tingkat pendidikan serta intelektualitas mereka pun boleh dikatakan rendah. Bahkan di tahun 1902 di seluruh Jawa dan Madura hanya ada 4 (empat) orang bupati yang bisa menu]is dan bercakap-cakap dalam bahasa Olanda. Beberapa bupati lainnya hanya mendapat pendidikan yang amat tak memadai. Pendidikan formal yang mulai dijalankan oleh pemerintah agaknya telah menggoyahkan akar-akar kemasyarakatan yang saat itu bertumpu pada adat dan agama. Kultur dan pengajaran yang mereka terima dari akar-akar adat dan agama agaknya tak cocok lagi dengan keadaan yang mulai berubah. Kaum bangsawan mulai merasa inferior di hadapan orang Olanda. Dalam konteks semacam inilah para bangsawan Jawa merasa kehilangan status dan peranan yang selama berabad-abad mereka nikmati. Semakin meluasnya pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kolonial khususnya pada masa berlakunya Politik Etik, maka serta-merta muncullah kesadaran di kalangan mereka akan pendidikan. Agar prestise mereka di tengah masyarakat dapat dipulihkan. Dan tak kurang dari Pangeran Ario Condronegoro sendiri (Bupati Demak, kakek Raden Ajeng Kartini) berpetuah: 'Anak-anakku, jika tidak mendapat pelajaran. engkau tidak akan mendapat kesenangan, turunan kita akan mundur, ingatlah!' Di Jawa, adakah selalu hubungan antara pendidikan dan kebangsawanan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus