Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Suku bunga dan ekonomi dunia

Perilaku suku bunga sebenarnya merupakan pencerminan perasaan tak pasti terhadap perkembangan ekonomi dunia. selama 1980 dan 1981 gerakan suku bunga sangat tak menentu & mencapai tingkat historis yang tinggi.

11 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MANA yang sebab dan mana yang akibat, tidak lagi jelas bila diamati gelagat suku bunga di Amerika Serikat belakangan ini. Dunia dibuatnya tidak menentu. Padahal perilaku suku bunga sebenarnya merupakan pencerminan perasaan tidak pasti mengenai perkembangan ekonomi dunia. Suku bunga memang bukan sekedar angka. Tetapi tidak jarang perasaan manusia bisa terperangkap oleh angka-angka. Tingkat suku bunga nominal, sebagaimana yang bisa diamati orang, sebenarnya merupakan gabungan dari tingkat suku bunga riil ditambah dengan segala macam premi untuk risiko, termasuk tingkat inflasi yang diantisipir. Faktor premi inilah persoalannya. Memang tidak dapat dihindarkan bahwa aspek-aspek psikologis ada dikandung oleh suku bunga, karena fungsi dari suku bunga itu sendiri. Suku bunga merupakan penghubung antara pendapatan dan modal ia menetapkan nilai modal dari pendapatan di masa depan. Ditinjau dari segi alokasi sumber-sumber eknonomi, suku bunga merupakan harga pertukaran antara barang di masa kini dan di masa depan. Secara lebih umum, ia menerjemahkan masa depan ke masa kini. Semakin tidak menentu masa depan itu semakin tinggi pula premi yang dikandung oleh tingkat suku bunga nominal. Tampaknya ada kesepakatan bahwa suku bunga riil yang dianggap wajar berkisar antara 5 sampai 6 persen. Walaupun menurut gurunya, Ining Fisher, tingkat suku bunga ditentukan oleh ketidaksabaran membelanjakan pendapatan dan oleh peluang yang ada untuk menginvestasikannya. Faktor-faktor penentu ini jelas dipengaruhi oleh persepsi mengenai risiko. Namun, bila seperti di Amerika Serikat akhir tahun 1980 elemen premi yang dikandung oleh suku bunga (nominal) mencapai 2 kali suku bunga riil yang dianggap wajar, keadaannya sebetulnya sudah tidak wajar. Terutama di Amerika Serikat di mana secara historis tingkat suku bunga relatif rendah. Walaupun keadaannya tidak wajar, tetapi ia bisa diterangkan oleh psikologi inflasi yang tampaknya telah membudaya belakangan ini. Di banyak negara masyarakat tidak percaya bahwa tingkat inflasi bisa dikembalikan secara besar-besaran yang diamati di tahun 1960-an. September 1979, tepat tiga tahun lalu otoritas moneter Amerika Serikat (Federal Reserve System) secara tegas menyatakan perang melawan inflasi. Sebulan kemudian secara resmi diterapkan teknik pengendalian moneter yang baru. Sebelumnya, fokus kebijaksanaan diletakkan pada usaha mempengaruhi suku bunga dengan harapan dapat ditekan pernnintaan akan kredit. Metode yang baru memberikan tekanan pada pengawasan atas cadangan sektor perbankan sebagai alat mengawasi suplai uang. Kebijaksanaan itu ternyata mengakibatkan lonjakan dramatis dalam tingkat suku bunga, sementara inflasi tetap tidak dapat- dikekang. Selama 1980 dan 1981 gerakan suku bunga sangat tidak menentu dan mencapai tingkat historis yang tinggi. Apa yang disebut Federal Funds Rate sejak September 1979 meningkat dari 11 persen menjadi 18 persen (April 1980), turun sementara menjadi 10 persen (Agustus 1980) untuk meningkat kembali menjadi 19 persen (Desember 1980), menurun sampai 15 persen (Maret 1981) untuk kemudian meningkat menjadi 19 persen kembali (Juli 1981), dan bergerak turun pada Desember 1981 mencapai titik terendah baru (12 persen), meningkat lagi untuk kemudian menurun secara agak drastis baru-baru ini. Banyak kalangan masih menyangsikan apakah penurunan suku bunga sekarang ini merupakan kecenderungan yang cukup permanen. Dalam tiga tahun terakhir ini orang telah dibiasakan untuk tidak berpikir optimistis, kecuali para spekulan yang memang harus percaya bahwa ada keuntungan yang bisa diperoleh dari ketidakpastian ini. Apa pun sikap yang akan diambil, pesimistis atau optimistis, dampak internasional dari gerakan suku bunga Amerika Serikat terasa di mana-mana dan merugikan siapa saja. Investasi produktif secara global mengalami kemacetan sementara resesi berkesinambungan. Dampaknya terhadap perilaku nilai tukar berbagai mata uang semakin menyulitkan, dan semakin mengacaukan perkembangan moneter internasional. Sebenarnya sumber ketidakpastian telah diciptakan 11 tahun lalu sewaktu sistem Bretton Woods ditinggalkan. Sejak itu ekonomi ekonomi nasional kehilangan disiplin dalam pengelolaan moneternya. Kenaikan harga minyak oleh OPEC di tahun 1973/74 sebenarnya cuma membantu menyulut api inflasi dunia dan ditanggapi justru dengan kebijaksanaan moneter yang ekspansif di negara-negara konsumen. Alhasil, negara kesejahteraan (welfarestate) di negara-negara industri, yang penuh kemanjaan itu dan dielu-elukan oleh negara-negara berkembang, dipertahankan atas ongkos orang lain. Ironisnya, oleh siapa lagi bila bukan atas beban negara-negara berkembang, melalui tindakan proteksionisme, ekspor inflasi, dan gerakan-gerakan dari nilai tukar mata uang. Pemerintah-pemerintah konservatif yang muncul kembali sejak itu, Thatcher dan Reagan, belum pasti akan berhasil membalikkan kecenderungan itu. Walaupun kini inflasi di Amerika Serikat berhasil ditekan, tetapi antisipasi inflasi yang tinggi ternyata masih tetap kuat. "Stabilitas" harga minyak tampaknya tidak cukup untuk menghapuskan psikologi inflasi ini. Pada saat ini, apa pun keputusan OPEC, tidak akan banyak berarti bagi perkembangan dalam jangka pendek. Sebab, kalaupun OPEC dipaksa untuk menstabilkan dan menurunkan harga minyak oleh keadaan pasar, ketidakstabilan moneter internasional merupakan faktor yang tetap mengganggu. Kini masih sulit untuk dapat diperkirakan arah perkembangan ekonomi dunia dalam 18 bulan mendatang. Apabila penurunan suku bunga di Amerika Serikat baru-baru ini bisa bertahan agak lama, mungkin keadaan akan membaik. Tetapi waktu yang dibutuhkan untuk memperlihatkan hasil tidaklah singkat. Karena pengetahuan ini, masing-masing pengambil keputusan -- individual, perusahaan, ataupun negara -- tampaknya masih saling menunggu. Risiko, di dalam benak masing-masing, masih dianggap terlalu besar. Dibandingkan resesi 1975, ketika negara-negara berkembang telah memainkan peran sebagai penyelamat ekonomi dunia, keadaan sekarang memberikan ruang gerak yang sangat sempit bagi negara-negara ini. Kasus Meksiko, yang kini berada di ambang kebangkrutan, merupakan peringatan yang sangat konkrit. Bila demikian, apa yang bisa dilakukan di Indonesia? "Berbenah diri", rekomendasi yang bukan saja aman tetapi cukup beralasan. Supaya, apabila ekonomi dunia membaik, kita mampu mengambil manfaat yang seoptimal mungkin. Tindakan yang harus kita ambil mungkin tidak populer: liberalisasi ekonomi dan mengeliminir segala bentuk inefisiensi. Namun bila tidak sekarang kita bersedia membuat putusan politik ini, kapan lagi peluangnya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus