Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEBIH dari 20 tahun silam penduduk Kampung Rao di Tebingtinggi
Deli tiba-tiha merasa bahagia karena berdirinya sebuah kilang
pengasapan karet di sisi timur sungai Bahilang. Dari anak-anak
muda, laki perempuan, hingga orang dewasa dan nenek-nenek
terserap dalam perputaran kerja pabrik. Produksi pabrik itu
terus meningkat seirama dengan gemilangnya pasaran karet saat
itu.
Lambat laun ada juga keluhan masyarakat sekitar, yang memakai
air sungai bukan hanya untuk mandi dan cuci, tapi juga jamban
dan minum. Pabrik itu mulai memasukkan aroma baru ke kali --
lewat limbah pembersihan karet yang dikeluarkannya. Untunglah
tak sempat ada protes keras dan merusak. Maklumlah, banyak perut
tertolong oleh pabrik milik seorang tauke Cina itu.
Sarana industri ibarat energi bagi sebuah mobil. Lebihlebih
sekarang, saat industri mulai di-Pelita-kan. Tapi pembangunan
nasional, setidak-tidaknya sejak Pelita 11, tidak hanya ingin
menyajikan kue pembangunan untuk rakyat kini. Pandangan baru
mulai diapungkan: bumi ini bukan lagi warisan nenek moyang, tapi
pinjaman dari anak cucu kita. Karena itu lingkungan hidup
beserta sumber yang terkandung di dalamnya harus dilestarikan.
Pengisi lingkungan termasuk manusia, tak hanya butuh nasi, tapi
juga daya tahan tubuh untuk hidup sehat dan nyaman. Dari itu
lingkungan tidak boleh tercemar.
Orang mulai kritis terhadap pabrik-pabrik yang mengeluarkan
satuan pencemar, yang mengganggu masyarakat seputar. Pemerintah
secara aktif ikut pula berperan serta menyebarluaskan aksi
perlindungan lingkungan. Media massa turut menyebarkan misi
lingkungan ini. Misalnya berita-berita tentang protes penduduk
terhadap pabrik Anu. Bahkan di Tulungagung, untuk mengambil
contoh, beberapa penduduk telah merusak pabrik yang seenaknya
membuang air limbah dan udara beracun.
Akan dibiarkankah penyaluran keluhan dilakukan seperti itu? Atau
akan dipendam sajakah persoalan itu? Tentu saja tidak. Tapi
secara baik-baik, adakah cara penyelesaian yang wajar? Ada:
perundingan langsung.
Kalau buntu, siapkah hakim menerima perkara-perkara pencemaran
sebangsa itu? Siap, dan harus, karena hakim memang tak boleh
menolak perkara. Hukumnya soal belakang, dan biasanya akan
terpantul lewat kepala pemberi keadilan itu. Karena memang,
secara terpadu belum ada dasar hukum tertulis yang menata
masalah lingkungan -- baru di sana-sini terpencar dalam beberapa
peraturan sektoral.
Emil Salim & Bahaya Abnormal
Menteri Emil Salim di samping dengan gesit mengumbar persoalan
lingkungan hidup ke segenap lapisan sosial, juga ada perhatian
terhadap masalah hukum lingkungan ini. Seperangkat peraturan
sedang digarapnya, adanya sebuah Rancangan Undang-Undang tentang
Lingkungan Hidup (RUULH).
Di samping persoalan baru yang menantangnya, RUULH menjadi
menarik karena ia memperkenalkan suatu sistem ganti rugi
berdasarkan tanggungjawab mutlak dan langsung
(strict-liability).
Prinsip ini dapat diterapkan untuk kegiatan-kegiatan industri
yang sifatnya berbahaya secara luar biasa (abnornally
dangerous activities). Di sini, seorang korban pencemaran,
apabila ia menggugat di pengadilan, tak usah harus membuktikan
adanya unsur salah si pencemar. Cukup dibuktikan telah terjadi
peristiwa pencemaran, dan penggugat terkena akibatnya. Jadi
salah atau tidak, si pencemar harus menanggung beban tanggung
jawab untuk membayar ganti rugi kepada si.penderita. Tampak yang
pokok adalah sifat dari kegiatan itu (nature of the activity).
Ini tentu agak aneh, bahkan bertentangan dengan tradisi hukum
yang sudah berakar di mana-mana. Hukum kita bilang, tanggung
jawab baru muncul pada pelaku perbuatan, apabila dalam melakukan
perbuatannya, pihak ini berbuat salah. Tapi begitulah prinsip
baru ini, yang sudah mulai dianut di negara-negara berteknologi
maju serta berkesadaran lingkungan yang tinggi -- bahkan dalam
beberapa perjanjian internasional.
Bagaimana itu kegiatan yang bahayanya abnormal? Di negara-negara
sana ada beberapa pengukur untuk menentukan suatu industri masuk
kelompok ini, antaranya:
apakah kegiatan itu mengandung risiko bahaya yang amat
tinggi terhadap manusia, tanah, binatang dan sebagainya
apakah risiko tersebut tak dapat dihindarkan dengan upa
ya biasa
apakah kegiatan itu tak merupakan aktivitas biasa
apakah lokasi kegiatan itu cukup tepat dan
bagaimana nilai kegiatan termaksud bagi masyarakat se
tempat.
Maka di seberang lautan sana kegiatan-kegiatan pengeboran
minyak, pabrik-pabrik yang mengandung unsur kimia, penyemprotan
bibit tanaman tertentu dan penggunaan jenis-jenis pesawat
terbang tertentu, adalah dari sekian aktivitas yang bahayanya
diperkirakan abnormal atau ultra.
Prinsip ini bermula datang ketika suatu pengadilan Inggris dalam
perkara Rylands v. Fletcher di abad l9 memutuskan: seorang
pemilik tanah bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi
lantaran air yang meluap dari reservoir di tanahnya, setelah
melalui sebuah tempat penggalian batubara yang tak terpakai
lagi, merembes ke wilayah tetangga. Padahal sang pemilik tanah
sama sekali tak mengetahui, dan karena itu ia tak salah, akan
akibat yang mungkin terjadi dari pengunaan tanahnya.
Tapi itu tak soal, kata pengadilan. Yang penting, barangsiapa
membawa, mengumpulkan, serta menyimpan di tanahnya sesuatu yang
berbahaya bila terjadi kerusakan, bertanggung jawab atas
kerugian yang ditimbulkan kejadian itu: Mulailah diperkenalkan
pengertian penggunaan tidak alamiah (non natural use) dari
tanah.
Para ahli hukum kemudian menimpali keputusan ini dengan
pandangan bahwa tanggungjawab mutlak inilah yang kiranya tepat
untuk menjawab dampak negatif dari industri yang memiliki
teknologi tinggi. Prinsip ini akan menolong korban yang umumnya
tak memiliki teknologi-tanding untuk menunjukkan ada tidaknya
unsur salah dalam tingkah pencemar.
RUU-LH menawarkan kemungkinan penggunaan sistem ganti rugi ini
--yang kelak akan dilaksanakan lewat peraturan
perundang-undangan sektoral. Tujuannya adalah agar supaya
industri lebih mawas diri untuk menggunakan teknologi, bukan
hanya untuk produksi, tapi juga mencegah atau mengurangi polusi.
Keharusan memakai teknologi yang tersedia untuk perlindungan
lingkungan sudah umum di negara-negara maju -- sehingga mereka
akan bahagia bisa masuk ke suatu negara yang pengaturan
lingkungannya belum ketat.
Dengan demikian, mudah-mudahan, tak akan terjadi ledakan dari
kegiatan minyak lepas pantai seperti di Santa Barbara yang
terkenal itu. Ikan-ikan dan nelayan di Laut Jawa tak harus lagi
khawatir dengan banyaknya instalasi-instalasi minyak di laut.
Penduduk di sekitar daerah industri tak harus was-was bahwa
paru-paru mereka akan kotor dan rusak, sejalan dengan berobahnya
cat rumah dari putih ke abu-abu.
Hukum lingkungan secara luas mencoba mensejajarkan perkembangan
pesat industri dan penjagaan mutu lingkungan. Hukum lingkungan
akan menyalurkan keluhan masyarakat secara yuridis, dan
mengharamkan main hakim sendiri terhadap pabrik. Industri harus
dilindungi.
Bak kata seorang hakim di AS dalam kasus Versailles Borough v.
Mc Keesport Coal, 1935, yang memeriksa tuntutan masyarakat untuk
menutup sebuah pabrik di Pittsburgh: "Tanpa asap, Pittsburgh
hanya tinggal sebuah desa yang mungil." Artinya di Indonesia:
Tanpa asap, kawasan industri semacam Pulogadung, hanya berupa
rawa sarang nyamuk, atau tumpukan rumah mewah tok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo