Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Marwah Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai ujung tombak gerakan antikorupsi di negeri ini kian hari kian tersuruk saja. Belum lagi usai kontroversi soal tes wawasan kebangsaan yang diduga didesain untuk menyingkirkan para penyidik yang militan, kini KPK kembali dirundung kasus baru. Dua penyidik yang sukses membongkar kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) di Kementerian Sosial malah dijatuhi sanksi etik. Ada kekhawatiran sanksi ini bisa menjadi celah untuk meloloskan tersangka utama korupsi bansos: mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara. Â
Pada Senin lalu, Dewan Pengawas KPK memutuskan dua penyidik mereka, Mochamad Praswad Nugraha dan Muhammad Nor Prayoga, terbukti bersalah melanggar kode etik dan pedoman perilaku. Pelapornya adalah Agustri Yogaswara, salah satu saksi kunci dalam kasus korupsi dana bansos penanganan Covid-19. Dia mengaku mengalami perundungan saat pemeriksaan di kantor KPK dan penggeledahan di kantornya.
Dewan Pengawas KPK menilai keterangan pelapor dalam kasus ini terbukti. Ketika diperiksa sebagai saksi kasus korupsi bansos, Agustri menyebutkan penyidik memakinya menggunakan kata-kata kasar, seperti "gila", "jenturin kepala ke tembok", "lu sekolah enggak?", dan "sinting". Perlakuan seperti itu dinilai melanggar nilai keadilan yang diatur dalam Pasal 6 ayat 2 huruf b Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020.
Para terlapor, Praswad dan Prayoga, secara terbuka menolak putusan Dewan Pengawas. Menurut mereka, putusan Dewan Pengawas sama sekali tidak didasari bukti-bukti yang komprehensif. Kata-kata kasar yang terlontar dalam pemeriksaan Agustri, menurut kedua penyidik, tak bisa dilepaskan dari konteks. Selama pemeriksaan yang berlangsung sedikitnya empat jam itu, Agustri kerap memberikan keterangan berbelit dan tidak kooperatif. Dia, misalnya, mengaku mendapat proyek bansos karena kebetulan saja sedang melintas di depan kantor Kementerian Sosial. Â
Agustri sendiri bukan orang sembarangan. Dalam skema korupsi bansos, Agustri diduga berperan sebagai operator untuk Ihsan Yunus, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Dia diduga berkali-kali menerima fee dari vendor bantuan sosial, yang menjadi jatah Ihsan. Â
Karena itu, jangan heran jika ada yang mengaitkan putusan Dewan Pengawas dengan skenario besar pelemahan gerakan antikorupsi di Indonesia. Apalagi, kita tahu, Praswad merupakan salah satu penyidik yang "tidak diloloskan" dalam tes wawasan kebangsaan. Selain mencederai rekam jejak dan membunuh karakter mereka, sanksi etik untuk Praswad dan Prayoga bisa menjadi pintu masuk untuk mempersoalkan penetapan Juliari sebagai tersangka.Â
Laporan Agustri bahkan bisa menjadi preseden bagi para tersangka atau saksi lainnya dalam perkara korupsi bansos. Mereka bisa menggunakan sanksi itu untuk mendelegitimasi penyidikan, mengajukan gugatan praperadilan, atau sekadar memakainya menjadi bahan pembelaan dalam persidangan. Â
Putusan sanksi etik bagi penyidik KPK ini juga menunjukkan Dewan Pengawas tebang pilih. Pada akhir Juni lalu, Dewan Pengawas menolak memproses laporan Indonesia Corruption Watch atas dugaan pelanggaran kode etik Ketua KPK Firli Bahuri dalam gratifikasi penyewaan helikopter. Padahal ada bukti baru yang bisa membuktikan pelanggaran Firli.
Sanksi untuk Firli pun hanya teguran tahap pertama. Jauh lebih ringan dibanding hukuman pemotongan gaji yang diterima Praswad dan Prayoga. Ketika KPK tak bisa lagi bersikap adil, transparan, dan akuntabel kepada lingkup internalnya sendiri, lembaga itu sebenarnya sudah tak bisa lagi dipercaya. Â
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo