Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengadilan Tinggi Kriminal Irak memvonis man-tan Presiden Irak Saddam Hussein hukuman mati dengan cara digantung, Minggu dua pekan silam. Sebuah vonis atas kasus kejahatan kemanusiaan: pembunuhan 148 orang Syiah di Dujail. Menurut jadwal, keputusan atas permohonan banding akan jatuh pada pertengahan Januari 2007, dan hukuman gantung terhadap Saddam akan dilaksanakan pada pertengahan Februari 2007.
Ada yang setuju Presiden Irak selama 30 tahun ini dihukum mati, ada yang tidak. Yang setuju Saddam dihukum mati berpendapat: diktator Irak ini memang layak mati. Sedangkan kelompok ”moralis” berpendapat ”manusia tidak berhak mencabut nyawa manusia lainnya”. Menurut Amnesti Internasional—yang memperjuangkan penghapusan hukuman mati sejak awal 1970—hukuman mati sama dengan menghukum kejahatan dengan kejahatan.
Yang jelas, hukuman mati tidak akan menyelesaikan persoalan. Setelah Saddam digantung, baku bunuh antara Sunni dan Syiah di Irak terus berlangsung. Dan Saddam tidak lagi bisa diadili untuk 11 kasus lainnya yang sudah dituduhkan kepadanya. Vonis mati atas Saddam ini adalah untuk kasus Dujail, yang notabene adalah kasus teringan dengan jumlah korban mati tersedikit dibandingkan kasus lainnya. Pembantaian sekitar 100 ribu orang Kurdi di Anfal pada 1988, misalnya, sedang disidangkan. Selain itu, masih ada invasi ke Kuwait (1990), pembunuhan tokoh-tokoh agama (1974), serta berbagai upaya pembantaian etnik Kurdi, yang belum dalam bentuk berkas dakwaan.
Jadi, kelanjutan proses pengadilan Saddam dan pengikutnya dalam berbagai kasus kejahatan kemanusiaan, genosida, sangat penting. Itu semua berguna untuk pengungkapan apa yang terjadi sebenarnya. Dalam proses mencari ”kebenaran dan rekonsiliasi” di negara-negara berkonflik, pengungkapan kebenaran itu sangat signifikan sebelum terjadinya rekonsiliasi. Revealing is healing, pengungkapan adalah bagian dari penyembuhan.
Pemerintah baru Irak di bawah Presiden Jalal Talabani pasti tidak menginginkan rekonsiliasi yang mereka perjuangkan gagal gara-gara banyak kebenaran yang tidak terungkap. Talabani yang Kurdi pasti juga tidak ingin Irak ke depan tetap terjebak dalam konflik sektarian Syiah, Sunni, dan Kurdi. Nah, proses peradilan Saddam adalah kesempatan untuk menjalankan pengadilan yang adil untuk mengungkap kejahatan pada masa lalu.
Apalagi mengadili para pelaku kejahatan kemanusiaan sangat sulit. Pengadilan internasional bagi penjahat perang bekas negara Yugoslavia yang didirikan PBB di Hague sejak 1993—pengadilan internasional pertama kejahatan perang setelah Nuremberg dan Tokyo untuk Perang Dunia II—tidak juga berhasil menuntaskan misinya, karena tak mampu menghadirkan para tersangka. Pelaku kejahatan atas kemanusiaan, mantan Presiden Liberia Charles Taylor, hidup damai di Nigeria, tak terjangkau pengadilan. Dan masih banyak lagi kasus seperti itu.
Jadi, mengadili Saddam kasus demi kasus, dan mengganjar dengan hukuman selama mungkin, adalah kewajiban pemerintah Irak yang harus didukung komunitas internasional. Tentu saja, itu semua harus disertai perbaikan, seperti jaminan atas independensi hakim dan perlindungan saksi, agar teror seperti pembunuhan, penculikan, serta teror terhadap jaksa, hakim dan para saksi tak terjadi lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo