Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nirarta Samadhi
Direktur World Resources Institute Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Louis Brandeis, Jaksa Agung Amerika periode 1916-1939, mengawali pembentukan konsep pertanggungjawaban pemerintah kepada masyarakat, yang kini kita kenal sebagai transparansi. Ia menekankan tiga konsep transparansi yang menjadi landasan tata kelola pemerintahan yang baik: pengumpulan dan penyebarluasan data dan informasi pemerintah; pertemuan dan rapat yang bersifat terbuka; dan peran lembaga non-pemerintah untuk membuat pemerintah lebih transparan. Pernyataannya yang terkenal adalah "sinar matahari adalah disinfektan terbaik" ("What Publicity Can Do", 1913), bahwa transparansi adalah penangkal korupsi dan praktik pemerintahan yang tidak akuntabel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam konteks Indonesia, kita memiliki Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi. Senapas dengan konsep Brandeis, keterbukaan informasi merupakan salah satu ciri negara demokratis dan sarana untuk mengoptimalkan pengawasan masyarakat terhadap penyelenggaraan negara.
Atas dasar itulah kelompok masyarakat sipil memohon kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar informasi , terutama yang terkait dengan luasan dan lokasi hutan, dapat diakses oleh masyarakat. Informasi itu antara lain izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin pemanfaatan kayu, dan rencana kerja usaha pemanfaatan hasil hutan kayu. Yang dimohonkan adalah informasi dalam format digital shapefile, format data geospasial yang dapat dianalisis dengan perangkat lunak tertentu. Dengan informasi ini, berbagai kejadian pada hutan dan lahan dapat secara spasial dipahami, termasuk pembukaan hutan di kawasan lindung atau lokasi terjadinya kebakaran.
Pada 24 Oktober 2016, sidang Majelis Komisioner Keterbukaan Informasi Pusat menetapkan KLHK untuk membuka informasi di atas dalam format shapefile. Tapi, pada 7 November 2016, KLHK mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dengan alasan kekhawatiran bahwa format tersebut akan mudah dimanipulasi dan disalahgunakan oleh masyarakat. KLHK menyatakan belum memiliki teknologi digital signature atau digital watermarking sebagai penanda legalitas dan keaslian informasi. Pada Juni 2017, Mahkamah Agung memutuskan bahwa KLHK memperoleh penguatan hukum untuk tidak menyebarluaskan informasi tersebut dalam format shapefile.
Sebagai hasil keputusan itu, kegiatan pemantauan dan pengawasan masyarakat yang memanfaatkan informasi berformat shapefile tidak dapat dilakukan. Partisipasi masyarakat untuk memastikan agar sumber daya alam dimanfaatkan secara berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia pun tidak berjalan secara efektif.
Sebetulnya setiap data dan informasi yang diciptakan secara digital akan memiliki timestamp atau cap waktu, yaitu waktu ketika sebuah peristiwa dicatat oleh komputer, bukan waktu peristiwa itu terjadi. Maka, setiap shapefile yang diproduksi oleh KLHK memiliki timestamp yang menjadi penanda unik dari informasi (baik perizinan maupun peta) yang dihasilkan. Penanda ini bahkan telah diatur dalam ISO8601. Siapa pun yang kemudian memanipulasinya atas dasar kepentingan apa pun akan menciptakan timestamp yang berbeda. Bahkan, jika manipulasi itu dilakukan sepersepuluh menit dari sejak data diserahkan kepada masyarakat, cap waktunya pun telah berubah.
Setiap data dan informasi dalam bentuk shapefile yang diterbitkan KLHK pada dasarnya bersifat final dan telah mendapat pengesahan dari pejabat berwenang serta memiliki cap waktu unik. Dengan demikian, cap waktu yang dicatat dalam sistem informasi KLHK sejatinya telah berperan sebagai digital signature.
Secara sederhana, KLHK dapat menetapkan standar metadata, yakni informasi terstruktur yang menjelaskan bagaimana suatu informasi dari data mudah untuk ditemukan kembali, digunakan, atau dikelola. Standar tersebut dapat diberlakukan untuk setiap data dan informasi, baik dalam format digital maupun non-digital, dan cap waktu adalah salah satu unsurnya. Rancangan Peraturan Presiden tentang Satu Data yang diinisiasi oleh kantor Staf Presiden, Bappenas, Badan Pusat Statistik, dan Badan Informasi Geospasial telah memuat ketentuan tersebut.
Pemerintah sepatutnya menempatkan lembaga non-pemerintah dan anggota masyarakat sebagai mitra. Meragukan niat baik masyarakat untuk menggunakan data pemerintah tidak akan memperkuat akuntabilitas pemerintah. Sebaliknya, mendidik dan membimbing masyarakat untuk memanfaatkan data itu secara bertanggung jawab adalah bagian dari tata kelola pemerintahan yang baik.
Saat ini, partisipasi masyarakat untuk memastikan agar sumber daya alam dimanfaatkan secara berkeadilan belum terjadi secara efektif. Meminjam analogi Brandeis, tampaknya diperlukan lebih dari sekadar sinar matahari sebagai disinfektan untuk membunuh berbagai kuman penyakit pada masa kini.