Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Sang Anarkis Vivienne Westwood

Vivienne Westwood memakai baju untuk propaganda politik. Only anarchists are pretty, katanya.

29 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI sudut-sudut kota besar—termasuk Jakarta—kita kerap menemui anak muda bergerombol memakai pakaian serba hitam. Mereka berjaket kulit dengan paku-paku, memakai tindik dan tato, bersepatu bot kulit, dan terkadang bergaya rambut mohawk. Para punker itu mudah dikenali dari pakaian mencolok yang mereka kenakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka bukan sekadar penggemar genre musik tertentu, tapi orang yang percaya pada ideologi tertentu. Mereka adalah para pasifis yang utopis. Dengarkan saja lagu-lagu yang mereka pakai untuk mengamen dengan ukulele seadanya, “Satu bumi, satu negara, tanpa tentara, dan tanpa apa-apa yang menindas manusia.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lalu apa hubungan antara prinsip-prinsip yang mereka percayai itu dan busana serba hitam dengan paku-paku metal yang mereka pakai? Sebetulnya tidak ada. Titik simpul hubungan itu ada pada Vivienne Westwood, perancang busana Inggris yang meninggal setelah Natal tahun lalu.

Westwood adalah salah satu pentolan punk. Pada 1970-an, bersama pacarnya, Malcolm McLaren, ia membidani lahirnya grup musik punk Sex Pistols. Saat itu punker belum memiliki “seragam” hitam. Westwood kemudian mencomot beberapa baju bergaya bondage dari toko modenya, SEX, untuk dipakai Sex Pistols. Sejak saat itulah punk identik dengan baju hitam, jaket kulit, paku-paku, dan sepatu bot.

Meski rumah modenya tidak menggurita seperti Coco Chanel, Christian Dior, atau Giorgio Armani, Westwood adalah salah satu perancang busana berpengaruh. Oleh kanal televisi Sky Arts ia dinobatkan sebagai seniman Inggris paling berpengaruh keempat dalam 50 tahun terakhir. Selama beberapa dekade Westwood menjadi pionir dunia mode Inggris.

Berbeda dengan kebanyakan desainer mode, Westwood memakai baju untuk propaganda politik. “Saya memakai fashion hanya sebagai alasan untuk bicara soal politik. Posisi saya sebagai perancang mode membuat saya memiliki suara dan itu bagus,” katanya suatu waktu.

Kemerdekaan dan jiwa pemberontak membuat Westwood menjadi desainer mode yang selalu mendobrak, memulai tren baru yang tidak ingin dimasuki oleh siapa pun sebelumnya. Koleksinya di London Fashion Week selalu ditunggu. Kepergiannya tahun lalu membuat London Fashion Week yang digelar September lalu menjadi kurang heboh. Selama hampir 50 tahun berkarier di dunia mode, Westwood berhasil memberi makna lain pada busana—sesuatu yang biasanya hanya berfungsi sebagai pelindung badan dan pengindah penampilan—yakni statemen politik.

Sebagai seorang punker yang tidak percaya pada sistem, Westwood membuat koleksi Anarchy dengan huruf A dalam lingkaran. “Only anarchists are pretty,” tulisnya di atas salah satu baju rancangannya. Anarki yang dia maksud adalah sebuah keyakinan bahwa dunia akan jauh lebih baik dan damai jika tidak ada sistem yang mengekang, seperti negara dan tentara.

Westwood memegang teguh keyakinan ini hingga akhir hayatnya. Kalaupun belakangan dia lebih berfokus pada isu lingkungan, hal itu hanya salah satu sudut dari keseluruhan ideologi perjuangan politik yang ia tuangkan dalam sebuah buku kecil yang terbit pada 2007: Active Resistance to Propaganda.

Active Resistance atau yang sering ia singkat dengan AR adalah manifesto politik yang unik dan menggugah. Berbeda dengan manifesto lain yang kaku, AR disampaikan melalui sebuah drama dan dialog, lewat tokoh-tokoh terkenal dari alam nyata atau dunia fiksi. Sedikit absurd, seperti juga style baju-bajunya. Aristoteles bertemu dengan Alice in Wonderland, sedangkan Pinokio berbincang dengan aktivis Indian-Amerika, Leonard Peltier.

Menurut dia, melalui lisan Aristoteles kepada Alice, hanya seni dan kebudayaan yang mampu “melawan” propaganda politik yang kosong. Kebudayaan—lewat karya para seniman—mampu menghadirkan dunia obyektif, melihat kebenaran di balik persepsi subyektif, termasuk politik. “Seni menciptakan budaya, dan budaya adalah penangkal propaganda,” ujarnya.

Karena itu, menjadi seorang seniman harus diwujudkan dalam berbagai cara—dari fashion yang baik, praktik bisnis yang baik, hingga aktivisme yang baik. Punk melawan segala jenis omong kosong, mempromosikan kebenaran dengan menjungkirbalikkan konvensionalitas secara menyeluruh. Itu tidak cantik, tapi indah. Karena seperti kata penyair Inggris, John Keats: keindahan adalah kebenaran.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sang Anarkis"

Qaris Tajudin

Qaris Tajudin

Wartawan Tempo. Sarjana hadis dari Universitas Al Azhar Kairo.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus