Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Lingkungan

BMKG Bantah Polusi Udara Menyebabkan Gelombang Omicron

Seorang pegiat media sosial, Babeh Aldo, menyatakan bahwa gelombang pandemi akibat Omicron sebagai pandemi polusi udara.

17 Februari 2022 | 06.13 WIB

Deretan gedung bertingkat tersamar kabut polusi udara di Jakarta, Selasa, 20 April 2021. Berdasarkan data "World Air Quality Index" pada 20 April pukul 10.00 WIB tingkat polusi udara di Jakarta berada pada angka 174 yang menunjukkan bahwa kualitas udara di Ibu Kota termasuk kategori tidak sehat. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Perbesar
Deretan gedung bertingkat tersamar kabut polusi udara di Jakarta, Selasa, 20 April 2021. Berdasarkan data "World Air Quality Index" pada 20 April pukul 10.00 WIB tingkat polusi udara di Jakarta berada pada angka 174 yang menunjukkan bahwa kualitas udara di Ibu Kota termasuk kategori tidak sehat. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) membantah pernyataan bahwa polusi udara menyebabkan gelombang Covid-19 varian Omicron. Sebelumnya, seorang pegiat media sosial, Babeh Aldo, menyatakan bahwa gelombang pandemi akibat Omicron sebagai pandemi polusi udara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Dalam video, Aldo menyebut bahwa zat PM2,5 yang meracuni udara akan menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut, atau ISPA, anosmia, badai sitokin, hingga yang disebut Covid-19.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelaksana tugas Deputi Bidang Klimatologi BMKG Urip Haryoko, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu, 16 Februari 2022, menjelaskan PM2,5 merupakan aerosol dengan ukuran diameter partikel kurang dari 2,5 mikrometer dan tergolong sebagai salah satu pencemar udara.

Urip mengatakan peningkatan konsentrasi PM2,5 di udara memang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas udara yang secara visual dapat berdampak pada penurunan jarak pandang dan peningkatan kekeruhan kondisi atmosfer.

“Paparan terhadap konsentrasi PM2,5 yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pada cardiovascular dan saluran pernapasan, terutama jika terpapar dalam waktu yang lama,” ujar Urip. Nilai ambang batas konsentrasi PM2,5 menurut Peraturan BMKG Nomor 2 Tahun 2020 adalah sebesar 65 µg/m3.

Akibat dampak tersebut, lanjut dia, muncul kesalahpahaman informasi atau miskonsepsi yang menyebut bahwa pencemaran udara menjadi penyebab penularan virus Sars-Cov-2 dan peningkatan pasien positif Covid-19.

Menurut dia, sampai saat ini belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan adanya keterkaitan antara sebaran konsentrasi PM2,5 dan penularan Covid-19.

Urip mengutip penelitian Anand et al. (2021) berjudul "A review of the presence of SARS-CoV-2 RNA in wastewater and airborne particulates and its use for virus spreading surveillance", dan penelitian dari Maleki et al. (2021)) berjudul "An updated systematic review on the association between atmospheric particulate matter pollution and prevalence of SARS-CoV-2".

“Sehingga pernyataan yang menyebutkan bahwa PM2,5 sebagai penyebab Covid-19 tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat,” ujarnya.

Dari data konsentrasi harian PM2,5 dan jumlah kasus positif Covid-19 di Provinsi DKI Jakarta 1 Januari hingga 6 Februari 2022, memperlihatkan peningkatan kasus positif Covid-19 tidak memiliki kaitan terhadap konsentrasi PM2,5.

Urip mengatakan lonjakan konsentrasi PM2,5 yang terjadi misalnya pada 5, 16, dan 30 Januari 2022 tidak seiring dengan penambahan kasus positif Covid-19. "Sehingga pernyataan yang menyebutkan bahwa paparan PM2,5 menyebabkan peningkatan kasus positif Covid-19 tidak sesuai,” kata Urip.

Namun demikian, BMKG mengingatkan masyarakat bahwa paparan konsentrasi PM2,5 yang tinggi atau kondisi udara yang tercemar bisa meningkatkan risiko terhadap pasien Covid-19 yang memiliki penyakit penyerta atau komorbiditas gangguan cardiovascular dan infeksi saluran pernapasan.

“Oleh karena itu, upaya untuk mitigasi terhadap dampak pencemaran udara dan pengurangan risiko paparan terhadap PM2.5 dan polutan udara lainnya perlu terus dilakukan guna meminimalkan tingkat mortalitas dari Covid-19,” ujar Urip.

ANTARA

Baca:
Jumlah Kasus Omicron Sudah Lewati Delta, Kenapa Epidemiolog Ini tak Terkesan?

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus