Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Penolak Tambang Melawan Teror

Sebagian warga Desa Wadas menolak penambangan batu andesit untuk pembangunan bendungan Bener. Aparat diduga menggunakan kekerasan dalam penanganan para pemrotes.

 

12 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Aparat bertindak represif saat kegiatan pengukuran lahan di Desa Wadas.

  • Sejumlah warga mengaku mengalami tindak kekerasan oleh polisi.

  • Perlawanan warga sudah berlangsung sejak 2017 dengan mendirikan pos-pos jaga untuk menghalau petugas pengukur tanah dan polisi.

MUHAMMAD Nawawi baru saja berwudu ketika azan zuhur selesai dikumandangkan di Masjid Nurul Huda, Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Nawawi belum sempat berjalan menuju saf tatkala tiga pria berbaju hitam-putih merengkuh punggungnya. Selasa siang itu, 8 Februari lalu, tubuh pria 27 tahun tersebut dipiting, lalu diseret meninggalkan masjid sejauh 500 meter.

Nawawi dibawa ke sebuah kuburan dan bertemu dengan polisi di sana. Ia digelandang masuk ke sebuah bus bercat abu-abu. Nawawi melihat empat polisi duduk di bangku depan. Ada tiga orang yang duduk berpencar di belakang kursi aparat. “Para pemuda yang memprotes tambang andesit ditangkapi,” kata Nawawi bercerita saat dihubungi pada Kamis, 10 Februari lalu.

Bentrokan pecah di Desa Wadas sejak awal pekan lalu. Sebagian warga Wadas menolak petugas Badan Pertanahan Nasional yang datang untuk mengukur area penambangan batu andesit. Ratusan polisi merangsek ke permukiman serta mencokok warga yang menolak penambangan dan pembangunan bendungan Bener.

Menurut Nawawi, polisi membawanya ke Markas Kepolisian Sektor Bener. Ia melihat puluhan warga Wadas menggelesot di lantai sebuah ruangan. Telepon seluler Nawawi juga dirampas. Polisi kemudian menginterogasinya selama dua jam perihal alasan warga menolak tambang batu andesit.

Nawawi dan puluhan warga Wadas lalu diangkut ke kantor Kepolisian Resor Purworejo seusai pemeriksaan. Begitu tiba di Polres, warga disuruh polisi berbaris di aula, lalu diberi selembar formulir berkop “INAFIS”—akronim dari Indonesia Automatic Fingerprint Identification System, unit kerja di bawah satuan reserse. “Kami ditanya apakah punya tanah atau tidak di Wadas,” ujarnya.

Pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Dhanil Al Ghifary, juga diringkus polisi pada hari huru-hara itu. Ia sedang berada di dalam rumah warga Wadas ketika belasan pria berpakaian bebas mengepung dan menggedor-gedor pintu.

Mengingat wajah para pria itu, Dhanil menyebutkan beberapa pria yang sama sempat menghadang mobil milik LBH Yogyakarta yang masuk ke Wadas. Para pria itu juga merebut telepon seluler warga dan memaksa mereka menghapus rekaman potret dan video saat polisi menyapu pemrotes tambang. “Telepon saya mau diambil, tapi saya bertahan,” tuturnya.

Di tengah cekcok dengan gerombolan pria, seorang polisi menghampiri Dhanil. Ia dibekuk bersama tiga perwakilan LBH Yogyakarta lain, lalu digelandang ke Polsek Bener. Sepanjang perjalanan ke kantor polisi, Dhanil melihat polisi berkerumun di sejumlah titik, terbanyak di sekitar Masjid Nurul Huda. Aparat merebahkan ratusan tameng di tepi jalan.

Kedatangan ratusan aparat membuat kondisi Wadas kaos. Jaringan listrik di desa itu diduga diputus sejak Selasa malam, 8 Februari lalu. Aliran setrum baru menyala lagi sehari setelahnya. Sinyal seluler dan sambungan Internet juga byar-pet. Kekisruhan ini membuat sejumlah warga Wadas jeri. Salah satunya Fajar, 25 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Warga yang sempat ditahan polisi bertemu ibunya usai tiba di halaman masjid Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, 9 Februari 2022/ANTARA/Hendra Nurdiyansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Fajar kini mengungsi bersama ibundanya ke luar Purworejo setelah bentrokan meletus di Wadas. Fajar salah satu warga Wadas yang ditangkap polisi karena tuduhan menolak penambangan batu andesit. Fajar sedang duduk di teras rumah pamannya saat aparat meminta kartu identitasnya. Sekitar tiga menit ia mencari kartu di kamar, dua polisi lalu menggedor pintu dan memaksanya keluar.

Tujuh polisi tiba-tiba mengepungnya. Aparat diduga menyeret, memukul, dan menginjak tubuh Fajar, sampai-sampai kacamatanya terempas. Polisi juga memborgol Fajar dengan tali plastik, lalu mengeret ia ke gedung taman kanak-kanak, sekitar 200 meter dari Masjid Nurul Huda. “Kami kehausan setelah dihajar, tapi tak diberi air sama sekali oleh polisi,” ucapnya.

Ahmad Ardianto, 25 tahun, pun diringkus setelah mendirikan salat zuhur. Ia ditangkap bersama pamannya yang sedang bersembahyang di masjid. Muhri, ayah Ahmad, dicokok polisi sekitar dua jam sebelum penangkapan Ahmad. Polisi menuduh mereka menghasut warga untuk menolak penambangan batu andesit.

Ahmad mengatakan warga Wadas sekadar bersembahyang di masjid untuk menyatakan penolakan terhadap proyek penambangan. Ia membantah tudingan polisi bahwa warga memprovokasi dan melemparkan batu ke arah penduduk yang menerima proyek pengerukan batuan andesit. “Kami juga dituduh membawa senjata tajam,” kata Ahmad.
Ahmad menyatakan ia dan keluarganya akan terus menolak pembangunan tambang batu andesit di Wadas. Sebab, ia ingin mempertahankan tanah keluarga. Lahan itulah satu-satunya sumber penghidupan keluarga dengan bercocok tanam. Ahmad menanam petai, durian, cabai, jahe, dan umbi-umbian.

Konflik antara aparat dan warga Wadas pernah terjadi sepuluh bulan lalu. Pada 23 April 2021, sebelas warga Wadas juga ditangkap polisi. Salah satunya Ngatinah, anggota Wadon Wadas—komunitas perempuan Wadas penolak tambang batu andesit.

Ngatinah dan ratusan orang lain nekat melungguh di tepi jalan Dusun Kaliancar untuk melakukan mujahadah—tradisi kaum Nahdlatul Ulama yang berarti bersungguh-sungguh berjuang melalui laku batin dengan mengadu kepada Allah. Acara itu mendadak cabuh setelah polisi menyeret seorang warga ke luar barisan. Senapan gas air mata juga menyalak. Warga Wadas yang mengikuti aksi doa bersama itu kocar-kacir. Ngatinah roboh dan tubuhnya terinjak, lalu pingsan. Ketika sadar, ia sudah di dalam mobil polisi. “Sandal saya hilang satu,” tuturnya.

Bersama sepuluh orang lain, Ngatinah digelandang ke Markas Polres Purworejo. Seorang polisi berkali-kali menanyakan orang yang memerintahkan Ngatinah dan warga Wadas lain menolak tambang batu andesit. Ngatinah berkukuh bahwa dia sendiri yang menolak batuan andesit dikeruk dari Wadas.

Perlawanan warga Wadas menentang tambang batu andesit berlangsung sejak 2017. Membangun pos-pos jaga, warga menghadang petugas pertanahan yang hendak mengukur lahan atau polisi yang berpatroli. Pos itu berjumlah belasan dan tersebar di beberapa titik, dari jalan masuk desa sampai hutan.

Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah Inspektur Jenderal Ahmad Luthfi mengaku kepolisian menangkap 64 warga Wadas. Ia berdalihpolisi bukan menahan warga, melainkan mencegah kerusuhan di lokasi. “Mereka yang kontra-penambangan dikejar-kejar oleh warga yang ingin tanahnya diukur, maka kami amankan ke sini,” kata Luthfi.

Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meminta maaf atas kericuhan di Wadas. Ia mengatakan telah berupaya memediasi kelompok penolak dan pendukung tambang, tapi belum berhasil.

SHINTA MAHARANI (PURWOREJO), JAMAL A. NASHR (SEMARANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus