Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Johan Silas: Kekhasan Kota Ada di Kampungnya

Menurut Johan Silas, yang memelihara budaya itu di kampung. Kalau kampung hilang, kebudayaan juga hilang.

22 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Johan Silas merupakan pakar tata kota yang membantu tujuh wali kota Suarabaya merencanakan penataan kota.

  • Guru besar arsitektur ITS ini pernah membantu PT Freeport Indonesia mengonsep Kota Kuala Kencana di Timika, Papua.

  • Sebelum ramai-ramai soal ibu kota negara baru, Johan Silas telah dimintai masukan oleh tim Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

NAMA tokoh arsitektur dan tata kota Johan Silas, 83 tahun, hampir tidak bisa dilepaskan dari Kota Surabaya. Tujuh wali kota dalam rentang waktu 55 tahun memakai keahliannya dalam menata Kota Pahlawan, dari Raden Soekotjo, Raden Soeparno, Moehadji Widjaja, Poernomo Kasidi, Sunarto Sumoprawiro, Bambang Dwi Hartono, hingga Tri Rismaharini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 1965, pria kelahiran Samarinda, 24 Mei 1936, itu diminta Wali Kota Soekotjo membuat perencanaan tata kota Surabaya. Johan kenal dengan Soekotjo sejak Wali Kota Surabaya pertama pada era Orde Baru itu menjabat Komandan Komando Distrik Militer Surabaya. Johan, yang pernah meraih Scroll of Honor Award dari Program Pemukiman Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN-Habitat) pada 2005, bercerita bagaimana ia membuat tata kota Surabaya dengan mengajak teman-temannya dari Jurusan Teknik Sipil dan Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Fakultas Hukum dan Ekonomi Universitas Airlangga, serta Fakultas Keguruan Ilmu Sosial dan Sastra Seni Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Surabaya. Yang pertama ia lakukan adalah menjaga struktur kota yang sudah ada—kota lama, sungai, dan jalan—tidak diusik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendiri Jurusan Teknik Arsitektur ITS pada 1965 ini menyelesaikan kuliah arsitektur di Institut Teknologi Bandung pada 1963. Diangkat menjadi guru besar ITS pada 1992, Johan adalah penggagas program perbaikan kampung atau Kampung Improvement Program. Kampung nelayan di Kenjeran salah satunya. Alih-alih merelokasi warga ke rumah susun, Johan justru membenahi kawasan kampung yang kumuh. “Kekhasan kota ada di kampungnya. Yang memelihara budaya itu di kampung. Kalau kampung hilang, kebudayaan juga hilang,” kata Johan kepada Nurhadi dari Tempo di kediamannya, Rabu, 19 Februari lalu.

Kepada Tempo, Johan antara lain menjelaskan seputar ruang terbuka hijau di Surabaya; pengalamannya membantu PT Freeport Indonesia membangun Kota Kuala Kencana di Timika, Papua; hingga soal ibu kota negara yang baru.

 

Apa masukan Anda kepada Pemerintah Kota Surabaya mengenai ruang terbuka hijau (RTH)?

Surabaya harus menjadi kota lingkungan, itu sudah diniatkan dari awal. Undang-Undang Penataan Ruang meminta pemerintah kota membangun RTH 30 persen dari luas kota, sementara rencana tata kota atau master plan Surabaya itu mungkin 40 persen. Sekarang RTH Surabaya sudah 32 persen. Selain itu, RTH di Surabaya benar-benar hijau, bukan hanya terbuka. Kalau Anda lihat di jalan-jalan itu perdunya banyak. Ini penting karena polusi itu keluar dari mobil.

Apakah pohon-pohon di ruang terbuka hijau di perkotaan mesti dipertahankan dan diberi label?

Sebaiknya tanaman menjadi bahan pelajaran. Saya sudah mengusulkan pohon-pohon diberi label. Kalau mau menemukan pohon yang tua, cari di kebun binatang. Di kebun binatang orang tidak hanya mengenal satwa, tapi juga mempelajari jenis tanaman. Saya juga ingin Wali Kota Surabaya mulai menanam pohon berbuah untuk menarik burung. Dulu di Surabaya ada burung gelatik dan manyar, sekarang sudah tidak ada lagi.

Bisakah dikatakan penebangan 191 pohon oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di Lapangan Monumen Nasional sebagai ekosida?

Itu kesalahan besar menurut saya. Keputusan yang konyol. Di negara lain trennya sudah menjaga pohon, kita baru menanam lagi hutan. Aneh, ya. Di sini mati-matian setiap tahun menanam pohon karena satu orang butuh tiga pohon. Kalau di Surabaya, pohon sudah lebih banyak. Pohon itu menjamin kesehatan warganya. Itu mengapa di Surabaya jarang terjadi tawuran, karena stres hilang. Ini ada studinya.

Kota Kuala Kencana di Timika, Papua. www.facebook.com/IDFreeport

Bagaimana pengalaman Anda mengonsep pembangunan Kota Kuala Kencana di Timika?

Yang pertama itu memahami dulu kondisi alam. Yang kedua, pembangunan bukan mengalahkan alam, melainkan bekerja sama dengan alam. Yang ketiga, dia harus menjadi kota modern. Kalau modern berarti tidak perlu budaya, itu keliru. Bahkan basisnya tetap budaya. Dulu saya berkenalan dengan kepala-kepala suku di sana. Itu saya masukkan dalam penataan kota.

Benarkah dalam pembangunan kota itu tidak ada penebangan pohon?

Ada pohon yang tidak boleh ditebang, ada yang ditebang dengan pemilihan, dan ada pula yang boleh ditebang habis. Karena itu, setiap kali ada pembangunan, harus sensus dulu pohon-pohon yang ada. Lalu jangan pula menanam pohon yang asing di daerah itu. Tidak semua pohon bisa ditanam. Palem, misalnya, tidak bisa ditanam di Papua.

Tim perancang ibu kota negara baru pernah meminta pendapat Anda?

Sebetulnya, jauh sebelum ramai-ramai, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pernah meminta masukan, dua atau tiga tahun lalu. Sebelum itu, di ITS juga sudah ada kelompok yang membicarakan soal pemindahan ibu kota negara. Dan kalau Anda punya arsip majalah Konstruksi edisi 1992, di situ saya sudah mengatakan, kalau Jakarta mau diselamatkan, ibu kota harus pindah. Kalau ada kesan seakan-akan spontanitas Jokowi memindahkan ibu kota, itu tidak benar. Dua tahun lebih sebelum Jokowi membuat statemen, sebetulnya ada kelompok kecil di Bappenas yang menyiapkan. Waktu itu diskusi dua kali dengan saya.

Apa masukan yang Anda berikan waktu itu?

Pertama, lokasi, ada beberapa syarat. Di samping geografis tengah, dia harus didukung keadaan lingkungannya. Dan dia harus aman dari berbagai bencana. Sebetulnya saya agak kaget ketika mau dibuat ibu kota baru dengan luas 45 ribu hektare. Enggak perlu itu. Ibu kota negara itu baru dipakai, katakanlah, lima tahun mendatang. Pada waktu itu, ilmu pengetahuan dan teknologi sudah maju sekali sehingga banyak pekerjaan tidak perlu lagi. Jadi, dengan meningkatnya sistem itu, pemerintahan harus lebih sederhana. Apalagi kemudian kalau di ibu kota ada rumah sakit. Di Balikpapan sudah ada rumah sakit, kok. Juga mau bangun perguruan tinggi baru. Kan, di sana ada perguruan tinggi besar, ada Institut Teknologi Kalimantan di Balikpapan dan Universitas Mulawarman. Menurut saya, banyak tugas ibu kota seperti itu dibagi saja di kota-kota sekitarnya.

Artinya, tidak semua kantor pemerintahan harus ada di ibu kota negara?

Saya mengatakan waktu itu tidak perlu, bahkan saya mengusulkan direktur jenderal yang mengurusi hutan jangan di ibu kota, taruh di Riau. Kalau masalah ikan, taruh dirjen-nya di Maluku Utara. Sekarang kita bisa pakai WhatsApp video, bisa omong, kok.

Kuala Kencana, Papua diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1995 yang dibangun menggunakan konsep ecoliving. www.facebook.com/IDFreeport

Kota yang baik menurut Anda seperti apa?

Saya mengatakan tidak perlu dibuat ibu kota megah-megahan. Ngapain punya istana, kita tidak punya raja, kok. Jadi saya mengatakan contoh keraton. Kemudian nama tempatnya bukan “istana”, tapi “mahligai”. Pola kotanya seperti apa, saya sarankan seperti kota di Bali atau Jawa, menggunakan sistem kosmik mandala. Yogyakarta kosmik mandala, tapi beda dengan kosmik mandala Bali. Kosmik mandala Yogyakarta pusatnya keraton. Kalau kosmik mandala di Bali spiritual, yang namanya dasmuka. Menurut saya, pola kota di Bali bisa dijadikan dasar ibu kota baru.

Benarkah Jakarta salah karena menghilangkan karakter kampung dengan membangun jalan akses di kampung yang bisa dilalui mobil?

Bahwa Jakarta tidak cocok jadi ibu kota itu sudah dicatat pemerintah kolonial Belanda. Bogor dibuat tempat pelarian. Ternyata Bogor tidak menyelesaikan masalah. Maka dibuat ibu kota baru, namanya Bandung. Tapi belum sempat selesai, terus perang. Jadi Jakarta memang bermasalah. Tapi kita juga perlu menampung kegiatan ekonomi yang tidak dicampur dengan politik. Dengan pemindahan ibu kota, Jakarta akan dibebaskan dari nuansa politik sehingga mereka harus berjuang secara ekonomi yang benar.

Benarkah konsep kampung di kota ini seperti di negara Eropa dan Jepang?

Enggak juga. Pola Jepang dia memakai sistem grid (kotak-kotak seperti papan catur). Sistem grid lebih demokratis sehingga kota itu tidak bisa dikuasai konglomerat. Makanya konglomerat tidak terlalu suka masuk ke Surabaya. Di Jakarta sistem koridor. Orang planologi kita semuanya dididik mengikuti aliran-aliran Eropa, tepatnya Inggris.

Kota Surabaya mengacu ke Eropa?

Tidak mengacu ke mana-mana. Kampung juga menjadi kekuatan Surabaya. Menurut saya, kekhasan kota ada di kampungnya. Yang memelihara budaya itu di kampung. Kalau kampung hilang, kebudayaan juga hilang. Itu juga kesalahan di Jakarta. Kampung habis. Karena saat perbaikan kampung mereka membuat jalan mobil. Kemudian kelas menengah membeli empat-lima rumah jadi satu.

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus