Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERNYATA, tidak benar bahwa DDT digunakan oleh petani untuk pemberantasan hama tanaman. Anda mungkin boleh merasa lega akan pernyataan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan, bahwa sayuran yang Anda makan tidak mengandung bahan beracun. Pernyataan ini -- sebagai sangkalan berita harian-harian Ibu Kota akhir Januari lalu -- juga menambahkan bahwa pengertian DDT bagi para petani identik dengan insektisida, meskipun substansinya bukan DDT. DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane) dipakai di Indonesia sejak 1946. Semula untuk memusnahkan jentik-jentik malaria di beberapa tempat di Pulau Jawa. Karena cukup cespleng, tahun 1952 DDT dipakai secara rutin dan meluas. Semprotan DDT ternyata bukan hanya membunuh nyamuk, tapi hama-hama tanaman juga turut musnah. Sehingga sekitar tahun 1960-an, DDT dipakai sebagai pembasmi hama oleh petani-petani sayur dan tanaman pangan lainnya. Cairan yang warnanya kuning dan baunya menyengat ini ternyata memberikan dampak keracunan yang fatal. Tahun 1970, Swedia melarang pemakaian insektisida ini. Kemudian WHO mengumumkan bahwa DDT sangat berbahaya berdasarkan pertimbangan ekologis. Indonesia sendiri memasukkan racun ini dalam kategori B-3 (bahan beracun dan berbahaya) dan melarang pemakaian DDT untuk umum. Meski masih ada DDT di Indonesia -- konon diproduksi sekitar 20 ribu ton setiap tahun--itu khusus dipakai untuk pemberantasan malaria. Yang mengelola juga khusus, Departemen Kesehatan, instansi yang bertanggung jawab atas bahan beracun ini. DDT, dan juga insektisida lain, bisa merupakan racun kontak, racun pernapasan dan sekaligus racun perut bagi manusia. Menurut Ir. Dadang Irpan dalam tulisannya di Sinar Harapan, DDT mempunyai sifat stabil (residunya berbahaya) dan lifofilik (suka akan lemak). Artinya, jika DDT disemprotkan pada tanaman, ia bisa menjadi racun kontak untuk kemudian masuk ke dalam jaringan tanaman. Sehingga residunya akan tinggi, dan dalam waktu lama akan tetap beracun, meski di kawasan tropis residu cepat menguap. Demikian bahayanya residu DDT, sehingga angka toleransinya harus 0 ppm, artinya tak boleh sama sekali kandungan DDT di tanaman. Sehingga mengagetkan, ketika Batan (Badan Tenaga Atom Nasional) Juni 1980 dalam penelitiannya menemukan wortel di Malang, tomat, kentang, dan kubis di Lembang dan Temanggung mengandung residu DDT dalam ambang batas toleransi. Tetapi benarkah petani kita tak ada yang menggunakan DDT? Maman Gantra dari TEMPO, ketika muncul heboh soal DDT ini, datang ke Pangalengan, Bandung. Di sana bertemu dengan beberapa petani. Madjid, 40, Ketua Kelompok Tani Mekar Pelita, mengaku empat bulan lalu telah membeli 2 liter DDT dari sebuah depot pupuk di desanya seharga Rp 12.000. "Saya pakai untuk mengobati bibit kentang sebanyak 2 ton," ujarnya. Menurut Madjid, DDT memang ampuh untuk menjauhkan hama kentang seperti pteronomia. Hingga kini, sisa kentangnya masih segar. "Tadinya saya mau jual ke pasar," katanya. "Tapi karena saya tahu DDT itu membahayakan, akhirnya saya simpan saja." "Dulu, DDT memang sering dipakai," ujar Ratma, petani kentang yang keterangannya pada wartawan membawa akibat dipanggil Koramil. Tapi menurut Ratma, sejak 1979, DDT sulit dicari di pasaran. Dan begitu demamkah petani kita akan pestisida? "Mereka takut rugi," demikian pendapat Dedi Supardi, 34, tamatan SPMA yang kini sudah 11 tahun menjadi anggota PPL (Petugas Penyuluh Lapangan). Dedi menceritakan betapa kecanduannya petani-petani ini akan obat-obatan untuk pembasmi hama. Misalnya, kalau dalam ketentuan cukup untuk mencampur 2 cc atau 2 gram saja, "mereka sering melipatkalikan dosis yang ditentukan," ujar Dedi. (lihat Racun di Sekitar Kita.) Petani kentang harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 3,5 juta untuk tiap hektar tanaman kentangnya, atau hanya Rp 1,5 juta untuk kubis. Dedi, dan juga PPL-PPL lainnya, bukannya tak berupaya memberi penyuluhan bagaimana cara pemupukan dan penyemprotan obat hama yang baik dan aman. "Tapi mereka lebih percaya kepada pengalaman mereka," tambah Dedi. Lebih-lebih petani kaya yang modalnya kuat. Membeli obat DDT lebih murah ketimbang obat-obat lain yang non-DDT -- tak jadi soal. Di Pangalengan, yang mempunyai 36 ribu ha lahan, sekitar 3 ribu ha dimiliki petani sayuran. KECANDUAN obat hama ini juga diakui oleh Entang Sobandi, yang jadi Ketua Cabang Dinas Pertanian Unit Tanaman Pangan Kecamatan Pangalengan. "Mereka melihat satu ulat saja di satu pohon kubis," kata Entang, "seluruh lahan kubisnya mereka semprot." "Lahan saya menjadi tempat latihan anak-anak SPMA," kata Ratma, si petani yang menghebohkan itu. "Sebab itu, malu dong, kalau tanaman saya nggak subur." Menurut pengakuan petani yang cuma sampai kelas 3 SD, kalau tetangganya membeli pupuk kandang 4 truk, dia membeli 6 truk. Demikian pula obat hama. "Ini agar hasilnya lebih banyak," ujarnya. Banyak petani mengira, hasil melimpah didapat dari pemupukan yang juga berlimpah. Belum lagi "pengalaman" mereka dalam mencoba-coba berbagai merk pestisida. Maklum, penjual pupuk dan pestisida juga mempunyai "politik" sendiri agar dagangannya laku. Lahan Ratma, ayah 15 anak, ada 7 ha. "Yang paling banyak ya ongkos beli obat dan pupuk," ujar petani yang rupanya gemar ngomong ini. Ketika dinasihati bahwa obat dan pupuk yang berlebihan itu merupakan pemborosan, ia berkata, "Ah, anak-anak SPMA itu 'kan belajar di sini. Masakan saya harus ikut omongan mereka." Toeti Kakiailatu Laporan Biro Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo