Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Lingkungan

Efek Covid-19: Langit Jakarta Biru, Warga di Desa Tertekan

Efek karantina wilayah dan pembatasan aktivitas sosial, gara-gara pandemi Covid-19, bisa dilihat pada perbedaan warna langit Januari dan Februari.

12 Mei 2020 | 05.28 WIB

Kiri: Foto udara gedung-gedung bertingkat yang diselimuti kabut polusi di kawasan Jakarta, Jumat, 6 September 2019. Kanan: Langit biru terlihat di atas kawasan Jalan MT Haryono, Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat, 3 April 2020. TEMPO/Subekti dan ANTARA/Galih Pradipta
Perbesar
Kiri: Foto udara gedung-gedung bertingkat yang diselimuti kabut polusi di kawasan Jakarta, Jumat, 6 September 2019. Kanan: Langit biru terlihat di atas kawasan Jalan MT Haryono, Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat, 3 April 2020. TEMPO/Subekti dan ANTARA/Galih Pradipta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Malang - Efek karantina wilayah dan pembatasan aktivitas sosial, gara-gara pandemi Covid-19, bisa dilihat pada perbedaan warna langit Januari dan Februari. Jika pada Januari langit oranye atau merah, pada Februari langit sudah menjadi biru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Guru Besar Biologi Tanah dan Ekologi Perakaran di Universitas Brawijaya, Kurniatun Hairiah, mengungkap perbedaan itu berdasarkan peta satelit. Menurutnya, perbedaan itu juga terjadi di sejumlah daerah di Indonesia terutama Jakarta dan sekitarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Efek PSBB ini membuat langit di beberapa daerah di Indonesia kembali berwarna biru. Hal ini, karena pada umumnya pandemi Covid-19 banyak terjadi di daerah dengan tingkat polusi udara yang tinggi," katanya, Senin 11 Mei 2020.

Warna langit berubah karena kualitas udara yang juga berubah membaik. Berdasarkan data dari WHO, Kurniatun menambahkan, konsentrasi NO2 menurun drastis. Dia menunjuk berkurangnya kendaraan bermotor yang beroperasi, terlebih di negara yang menerapkan penguncian wilayah alias lockdown.

Berdasarkan studi literatur, NO2 selain beracun juga berwarna coklat kemerahan dan berbau tajam. Sumber terbesarnya adalah emisi dari kendaraan bermotor, yakni NO yang kemudian bereaksi dengan oksigen di udara. 

Di sisi lain, Kurniatun mengatakan, dampak karantina wilayah dan pembatasan sosial akibat Covid-19 menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi. "Pembatasan sosial di beberapa daerah menyebabkan terjadinya pengangguran besar-besaran di kota," ucapnya.

Di desa, masyarakatnya yang biasanya mencari pekerjaan di kota saat produksi pertanian menurun, semakin tertekan. Sebabnya, di kota juga terkena pembatasan sosial. Terlebih, bantuan pemerintah untuk pertanian lebih banyak digunakan untuk penanganan Covid-19. "Bantuan ini untuk mendukung ketahanan pangan selama masa pandemi Covid-19," ujarnya.

Oleh karena itu, dia menyarankan, pemerintah perlu memperketat pengawasan terhadap penimbunan bahan pokok dan pendistribusian pangan secara merata. Sedangkan untuk menjaga stabilitas pertanian berkelanjutan, diperlukan kebijakan untuk melindungi rumah tangga pertanian, seperti memutus rantai bisnis dengan tengkulak.

Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Sujarwo menambahkan bahwa peran pemerintah dibutuhkan untuk menjaga ketahanan pangan nasional. Peran pemerintah bisa dilakukan, contohnya dengan membeli hasil panen petani pada Maret-Mei atau memanfaatkan hasil sektor perikanan yang biasanya didistribusikan untuk ekspor.

"Proyek kemanusiaan untuk menjaga ketahanan pangan nasional harus dilakukan di semua sektor, baik pada bidang perikanan, peternakan, atau pertanian," katanya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus