Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Lingkungan

Indonesia Dinilai Abaikan Penanganan Polusi Udara dalam Rencana Aksi Iklim Nasional

Negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar hanya sedikit atau bahkan tidak menyebutkan polusi udara dalam NDC mereka.

18 Oktober 2023 | 20.56 WIB

Pejalan kaki melintas di JPO Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin, 25 September 2023. Jakarta masih mendapatkan predikat kualitas udara terburuk pada Senin pagi ini. TEMPO/Subekti
Perbesar
Pejalan kaki melintas di JPO Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin, 25 September 2023. Jakarta masih mendapatkan predikat kualitas udara terburuk pada Senin pagi ini. TEMPO/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah studi dari The Global Climate and Health Alliance menemukan bahwa negara-negara G20 gagal mengintegrasikan isu polusi udara ke dalam rencana aksi iklim. Studi itu menjelaskan bahwa Indonesia, sebagai salah satu negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar dunia, tidak memasukkan permasalahan polusi udara dalam Nationally Determined Contribution (NDC) atau rencana aksi iklim nasional pada tahun 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Pemimpin Kebijakan the Global Climate and Health Alliance, Jess Beagley, mengatakan kartu skor udara bersih NDC menegaskan dampak buruk yang ditimbulkan akibat penundaan penghentian penggunaan bahan bakar fosil. Ia menyebut, sebagai negara-negara penghasil polusi udara terbesar di dunia, penting bagi negara-negara G20 untuk memasukkan pertimbangan kualitas udara ke dalam NDC mereka, tetapi tidak ada pemerintah negara G20 yang mendapat nilai setengah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Hal ini menunjukkan kurangnya pengakuan terhadap hubungan antara iklim dan kualitas udara, atau ambisi untuk mengambil tindakan," kata Beagley lewat rilis yang dikeluarkan di London, 18 Oktober 2023.

Pada kartu skor udara bersih NDC dapat terlihat bahwa negara-negara dengan pendapatan ekonomi rendah dan menengah, yang justru paling terdampak dari paparan polusi udara, malah menunjukkan perhatian dan ambisi yang jauh lebih besar. Pada data terlihat Kolombia dan Mali adalah dua negara yang muncul sebagai pemimpin global untuk masalah ini. 

Di antara negara-negara G20, Kanada dan Cina memimpin dalam mengintegrasikan kualitas udara ke dalam NDC mereka. Sementara itu, negara-negara Uni Eropa, Australia, Brasil, India, dan tuan rumah COP 28, Uni Emirat Arab, mendapatkan skor rendah. Pada kartu skor tersebut, Indonesia dan Arab Saudi menempati peringkat terendah dengan skor masing-masing 1 dan 0.

Secara umum, skor tersebut menunjukkan bagaimana negara-negara dunia mengintegrasikan isu kualitas udara ke dalam NDC sebagai implementasi dari Perjanjian Paris. Selain itu, kartu skor ini juga berfungsi untuk meneliti apakah negara-negara di dunia mengakui bahwa polusi udara berdampak terhadap kesehatan, dan apakah mereka memprioritaskan aksi-aksi dalam meningkatkan kualitas udara.

Pada penilaian kartu skor ini juga mengungkap kesenjangan yang mencolok antara beban kesehatan akibat polusi udara di banyak negara, serta pengakuan dan tindakan terhadap masalah tersebut dalam NDC. Dari 170 komitmen yang dinilai dalam kartu skor, kurang dari sepertiganya mengacu pada dampak polusi udara terhadap kesehatan.

Beberapa negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar, seperti Indonesia, India, Arab Saudi, dan Australia, hanya sedikit atau bahkan tidak menyebutkan polusi udara dalam NDC mereka. Padahal, secara global, 7 juta kematian dini terjadi setiap tahunnya akibat polusi udara dan WHO telah menyatakan bahwa 99 persen dari populasi dunia tengah menghirup udara yang tidak sehat.

Beagley menyebutkan bahwa negara-negara yang berusaha mengambil aksi besar terhadap polusi udara adalah merupakan negara yang paling terdampak. Ia memastikan bahwa kartu skor ini bukan sekadar upaya untuk meningkatkan peringkat suatu negara.

Hal ini sebagai gambaran bahwa warga membayangkan dan memanfaatkan peluang untuk mewujudkan masa depan di mana dampak kesehatan dan pembakaran bahan bakar fosil sudah tidak ada lagi. “Bahan bakar fosil tidak hanya jadi pendorong utama perubahan iklim, tetapi juga menyebabkan jutaan kematian akibat polusi udara setiap tahunnya," kata Beagley.

Sementara, Co-founder dan Senior Advisor dari Nexus3, Yuyun Ismawati Drwiega, mengatakan di Indonesia terlihat kelemahan ada di struktur Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Di sana ada direktorat yang menetapkan baku mutu kualitas udara, tanah, radiasi, dan baku mutu lingkungan lainnya.

Namun, saat ini, tidak ada koordinasi atau koherensi antar direktorat, sehingga dampak perubahan iklim tidak terformulasikan dengan baik dan isu polusi udara belum terintegrasikan dengan target aksi iklim dalam NDC. “Selama Kemenkes belum mengintegrasikan hubungan kausalitas faktor lingkungan dan risiko kesehatan, isu polusi udara dalam NDC tetap tidak akan signifikan,” jelas Yuyun.

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus