Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Nur Hidayati, meninggal karena kanker pada usianya yang ke-51 pada Selasa, 5 November 2024. Kabar duka perempuan yang akrab disapa Yaya ini disampaikan Walhi Nasional melalui akun media sosial pada hari ini juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI periode 2016-2021, tak bertahan setelah berjuang melawan kanker. "Hari ini, kami kehilangan seorang teman, sahabat, seorang pembela HAM, dan pejuang lingkungan yang konsisten sepanjang hidupnya. Rest in Power mbak Yaya!" demikian bunyi sebagian dari unggahan akun X resmi Walhi Nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan kelahiran 14 Agustus 1973 itu hampir 25 tahun malang melintang dalam advokasi dan perjuangan di bidang lingkungan hidup. Aktivitas yang pernah dijalaninya mulai dari perencanaan komunitas dan pengorganisasian, penanganan kasus-kasus masyarakat, hingga advokasi dan kampanye isu maupun kebijakan di tingkat nasional, regional (ASEAN), hingga global.
Yaya menjabat sebagai Direktur Eksekutif Walhi usai terpilih dalam Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) di Palembang pada 28 April 2016. Sebelum memimpin Walhi, Yaya juga pernah menjadi Kepala (Country Director) Greenpeace Indonesia. Alumnus Teknik Lingkungan dari ITB itu juga pernah bergiat dan memimpin organisasi sipil lain seperti Sawit Watch dan Kiara.
Greenpeace Indonesia lewat akun Instagram membagikan cerita perjuangan Yaya yang mengabdikan lebih dari separuh hidupnya untuk penyelamatan lingkungan Indonesia. "Meskipun bertubuh kecil, tapi ia selalu berada di garda terdepan, selalu lantang dan berani dalam melawan berbagai praktik perusakan lingkungan di Indonesia," kata Greenpeace Indonesia.
Semasa memimpin Walhi, Yaya pernah menyatakan bahwa tantangan Indonesia sangat berat karena besarnya investasi dan pembangunan-pembangunan yang merusak lingkungan hidup. Hal ini terutama karena agresifnya pemerintah melakukan pembangunan proyek-proyek infrastruktur tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat lokal serta keberlanjutan lingkungan hidup.
Dia mencontohkan proyek-proyek reklamasi, proyek kereta api cepat, pembangunan rel kereta trans Sulawesi, juga ancaman-ancaman di kawasan karst untuk pembangunan pabrik-pabrik semen.