Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BRIGADIR Jenderal (Purnawirawan) Acub Zainal, 62 tahun, masih tetap "galak". Administratur Liga bisa bicara keras, blak-blakan, meledak-ledak, dan kadang kala langsung tunjuk hidung. Dalam kasus kericuhan pertandingan Arema Malang melawan Pelita Jaya di Stadion Lebak Bulus, Jakarta, minggu pekan lalu, Acub langsung menuding wasit sebagai "biang keladi". Bahkan ia juga menuduh ada oknum di PSSI yang sengaja ingin merusak Galatama. Toh, setelah sehari membela mati-matian klub Arema dan sempat menolak usulan Komisi Disiplin Liga akhirnya Acub sportif juga. Ia menghukum manajer Arema, Lucy Acub Zainal, yang tak lain adalah anaknya. Acub sendiri adalah ketua Yayasan Arema dan sekaligus pendiri klub Galatama itu. Ditemui Iwan Qadar Himawan dari TEMPO, Acub -- tampak sedikit kurus dan mengaku kena penyakit jantung gara-gara Galatama -- menjawab beberapa pertanyaan: Mengapa Anda akhirnya setuju Lucky dan Arema dihukum? Yang saya tuntut adalah agar wasit dihukum. Sumber persoalan dituntaskan dulu. Dan itu sudah dilakukan. Lucy sebagai manajer tim memerintahkan Jamrawi (kapten Arema) untuk teken dan menulis penghinaan pada wasit. Dia sangat emosi. Secara peraturan, dia salah. Itu saya akui dan sudah dihukum. Tapi hati kecil saya bangga, karena dia membela anak buah. Mengapa Anda sebelumnya menolak menjatuhkan hukuman? Dalam beberapa minggu ini saya melepaskan diri dari jabatan Administratur Liga. Yah, semacam cuti. Saya menempatkan diri sebagai pemilik klub. Kebetulan saya menonton di Lebak Bulus, dan saya mendapati semua keributan ini berpangkal dari sikap wasit. Dia sangat emosi. Kebetulan, sekali lagi kebetulan, saya erat sekali dengan Arema. Seandainya yang mengalami bukan Arema, saya pasti ngomong lebih keras. Bukankah wasit harus dihormati? Kita selalu ditekan untuk fair play, untuk tunduk pada wasit. Tapi kalau fair play diartikan menerima keputusan apa adanya, itu salah. Seolah-olah wasit adalah Tuhan, padahal wasitnya seperti itu. Saya menyaksikan sendiri wasit yang sakit, yang tak berwibawa. Akibatnya, produk yang dihasilkan juga sakit. Masa, wasit semacam itu harus kita bela. Lalu bagaimana harusnya pemain bersikap, kalu merasa wasit tidak fair? Kalau saya pemain, pasti protes, di dalam maupun di luar lapangan. Dan protes itu legal, wong maling ayam saja protes. Karena bila didiamkan, wasit akan makin bertingkah. Dan pemainlah yang selama ini jadi bulan-bulanan. Pertandingan Galatama kok semakin sering ricuh .... Orang tak mau melihat, dari sekian ratus pertandingan hanya tiga ricuh semacam di Lebak Bulus. Pertandingan yang bagus tak pernah dilihat, tak pernah Anda tulis. Begitu ada yang berantem langsung ditulis habis-habisan. Anda mengatakan ada hambatan dari PSSI, sehingga Galatama tersendat-sendat. Ya, memang berat sekali jalannya Galatama. Itu karena banyak yang menentang. Sebagai Ketua Liga, saya berhak membuat penilaian. Tak usah menybut nama, tapi saya merasa penghambat itu sejak awal Galatama berdiri sampai sekarang masih ada. Umpamanya, sampai sekarang Galatama masih sulit menarik permain dari Perserikatan. Tapi Ketua Umum PSSI Kardono bilang tak ada pengurus PSSI yang menghambat. Syukur alhamdulillah kalau keadaannya begitu. Tapi itu kan pendapat Pak Kardono. Perkara betul atau tidak, kita buktikan nanti. Yang jelas, kami di Galatama merasakan hambatan itu ada. Bagaimana kalau Galatama dibubarkan? Suara itu memang datang dari mereka yang merongrong Galatama. Mereka tak melihat berapa ratus tenaga kerja -- pemain sampai juru masak -- yang dihidupi Galatama. Pemain nasional hampir semua datang dari Galatama. Soal Galatama belum jalan baik, itu karena ada yang belum sepaham dengan Galatama. Kok Anda betah mengurus Galatama? Siapa bilang saya betah? Saya akan mundur tahun ini dan sekarang sedang cari penggantinya. Selama sebelas tahun mengurus bola, yang saya dapat cuma caci maki -- dan penyakit jantung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo