Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juande Ramos patut bersukacita. Kemenangan Sevilla atas Espanyol lewat adu penalti dengan skor 3-1 dalam final Piala UEFA di Stadion Hampden Park, Skotlandia, Kamis pekan lalu, mengantar pelatih berusia 53 tahun ini mencatat rekor baru. Ia pelatih pertama di kolong langit yang berhasil merebut Piala UEFA dua tahun berturut-turut.
Tahun lalu, anak-anak El Biris—julukan Sevilla—juga menjadi juara UEFA setelah membungkam klub Inggris, Middlesbrough, 4-0. Kemudian mereka melengkapi gelar dengan Piala Super setelah menaklukkan Barcelona, juara Liga Champions.
”Kami menghadapi banyak pertandingan,” ujar Ramos, ”tapi dukungan penonton membuat kaki pemain tak pernah lelah.” Musim ini, klub asal Andalusia itu mengincar tiga gelar. Setelah menggenggam Piala UEFA, Sevilla masih memburu Piala Raja alias Copa del Rey dan La Liga Primera atau Liga Primer Spanyol. Dan peluang untuk menggondol kedua gelar itu terbuka lebar.
Di final Piala Raja, 23 Juni mendatang, Sevilla bakal menantang Getafe, yang berada di peringkat kedelapan La Liga. El Biris sendiri berada di urutan ketiga, persis di bawah Real Madrid dan Barcelona, dengan masih tersisa empat pertandingan. Bila kedua raksasa itu lengah, bukan tak mungkin klub ini menyodok ke posisi pertama.
Jika itu terwujud, ini untuk pertama kalinya Sevilla menjadi jawara La Liga dalam 50 tahun terakhir, sekaligus untuk kali pertama pula memperoleh tiga gelar alias treble. ”Ini akan menjadi peristiwa yang sangat manis buat kami dalam setahun terakhir,” ujar Javi Navarro, sang kapten. Meskipun, jalan menuju ke sana sangat terjal.
Sebelum menjadi juara Piala UEFA tahun lalu, nama klub ini sama sekali tak berbunyi. Kendati pernah diperkuat Diego Maradona—sebelum kembali ke Boca Juniors, Argentina—Sevilla tetap kalah populer dibanding klub-klub besar Spanyol dan Eropa lain. Padahal, di masa lalu, klub ini punya sejarah yang gemilang.
Pada 1957, Sevilla sudah menjadi juara La Liga. Dengan prestasi itu, klub ini mendapat tiket tampil di Piala Eropa, yang kini dikenal dengan nama Liga Champions. Tapi, tahun-tahun berikutnya, prestasi klub yang didirikan pada 1905 itu terus merosot dan sulit kembali mencapai peringkat yang yahud.
Pada musim 1999-2000, klub ini bahkan terjerembap ke divisi II. Beruntung, tahun berikutnya, El Biris berhasil meniti tangga kembali ke divisi utama. Setelah itu, barulah Sevilla terasa begitu menggigit. Sejak 2004, Sevilla selalu kebagian jatah untuk bertanding di ajang Piala UEFA.
”Sevilla adalah contoh kekuatan sepak bola khas Spanyol. Mereka tidak hanya membeli pemain, tapi juga membangun bakat pemain-pemain mudanya. Hasilnya, dalam dua tahun mereka menjadi tim yang sangat agresif,” kata Luis Garcia, pemain Espanyol.
Pujian itu bukan tanpa alasan. Penampilan menyerang klub ini membuat para penggemarnya ketagihan. Tiket menonton pertandingan di Stadion Ramon Sanchez Pizjuan selalu laris terjual. Penonton bahkan harus rela masuk daftar tunggu demi menyaksikan aksi pasukan El Biris di lapangan hijau.
Perubahan penampilan Sevilla tak lepas dari sentuhan Ramos. Pelatih kawakan ini dianggap mampu meramu potensi pemain-pemain klub berseragam merah-putih itu. Padahal klub ini praktis tak memiliki pemain bintang. ”Dialah yang membuat Sevilla seperti sekarang ini,” kata Daniel Alves, 24 tahun, bintang Sevilla asal Brasil.
Kehebatan Ramos sebagai ahli taktik dan strategi di lapangan dilengkapi kepiawaian Direktur Teknik Ramon ”Monchi” Rodriguez dalam mencari bibit pemain unggul. Monchi dikenal memiliki daya cium yang tajam sebagai pencari bakat.
Dibantu jaringan yang luas, mata dan telinga Monchi menyisir sejumlah pemain yang disukai sang pelatih. ”Saya berpesan kepada dia untuk mencari pemain yang cepat, tinggi, punya kaki kiri dan kanan yang sama baiknya, dan jago di udara,” ujar Ramos.
Setelah menemukan pemain yang diminta, mereka berdiskusi. Salah satu hasil perburuan dengan dana yang amat terbatas itu adalah Frederic Kanoute, yang sebelumnya bermain di Tottenham Hotspur dan West Ham United (lihat ”Kaus tanpa Sponsor”). ”Saya tertarik karena pernah melihatnya bermain,” kata Ramos.
Di kandang sendiri, Sevilla mengembangkan akademi sepak bola yang terbilang rapi. Akademi ini dilengkapi sekolah psikologi olahraga yang melayani pemain-pemain junior layaknya pemain profesional yang sudah kesohor.
Berbeda dengan banyak klub lain di Eropa, pengawasan Sevilla sepenuhnya berada di tangan penggemar. Mereka bukan sekadar pendukung, tapi juga menjadi pemilik mayoritas saham klub. Untuk menyiarkan bermacam informasi tentang klub, mereka juga memiliki stasiun radio dan televisi.
Kini jerih payah dan kerja sama semua pencinta Sevilla berbuah manis. Dua tahun berturut-turut menjadi juara Piala UEFA—biarpun kerap dicemooh lebih rendah kelasnya ketimbang Liga Champions—tetap merupakan prestasi yang mengagumkan.
Namun kemenangan di Hampden Park agaknya tak akan membuat Sevilla larut. La Liga dan Piala Raja sudah di depan mata. Satu di tangan, dua lagi masih harus diperjuangkan.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo