Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Bintang Milenium Baru

Empat pemain Liga Utama Inggris dan Seri A Italia yang namanya akan sering disebut.

12 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada bisnis yang menyerupai show biz: begitu gemerlap, tapi sekaligus begitu fana. Kecemerlangan satu bintang selalu terancam goyah oleh datangnya wajah-wajah baru. Pemeo ini juga berlaku dalam dunia sepak bola—dan olahraga lainnya—yang makin komersial. Pemain-pemain baru, yang tak mungkin dibendung kemunculannya, telah datang dan bersiap menggantikan bintang lama. Loyalitas satu pemain pada klubnya—dan sebaliknya—adalah prioritas kesekian saat penyusunan tim. Siapa, misalnya, yang meragukan totalitas Mark Hughes saat membela Manchester United? Striker asal Wales itu sanggup berdarah-darah di lapangan demi kemenangan si Setan Merah. Meski begitu, demi kebutuhan tim, pemain veteran itu harus rela dilego ke Chelsea, yang akhirnya juga menjualnya ke klub kecil Southampton. Kebutuhan tim adalah kemenangan demi kemenangan, yang artinya menjamin pemasukan jutaan dolar dari tiket terusan dan aneka pernak-pernik klub. Jadi, pemain baru adalah keniscayaan. Berikut ini profil beberapa pemain baru—tidak semuanya sangat muda—di Liga Utama Inggris dan Seri A Italia yang diperkirakan akan mencorong sinarnya selama musim kompetisi 1999/2000. Ada yang sudah menjadi bintang seperti Andriy Shevchenko, yang kini bermain untuk klub raksasa AC Milan, sementara yang lainnya masih perlu dilihat konsistensinya. Mengapa hanya debutan di dua negara tersebut yang ditampilkan? Sederhana saja, selain aksi mereka bisa disaksikan penggemar sepak bola di Tanah Air secara langsung lewat tayangan televisi swasta, yang tak kalah pentingnya, mutu kompetisi tempat mereka berlaga termasuk yang terbaik di dunia. Andriy Shevchenko (AC Milan, Italia) Tak mudah bagi seorang debutan bermain baik dalam pertandingan pertamanya di Seri A, bahkan untuk yang berkelas seorang bintang. Namun, Andriy Shevchenko bisa melaluinya cukup baik dengan mencetak satu gol ke gawang Lecce. Permainan Sheva—demikian panggilan akrabnya—dalam pertandingan tersebut tidak terlalu istimewa, tapi itu sudah cukup bagi tifosi fanatik Milan untuk mengatakan "a tsar is born"—pujian yang mengingatkan penggemar akan tanah kelahiran Sheva, Ukraina, yang dulu masuk dalam Kekaisaran Rusia. Kerinduan pendukung Milan terhadap sosok Marco van Basten seakan terjawab. Sheva tentu berbunga. Dia mengidolakan Van Basten, selain Johan Cruyff dan Gabriel Batistuta. Namun, jauh sebelum berada di Milan, Sheva sudah menjadi bintang. Pemuda kelahiran Kiev 23 tahun lalu ini adalah jantung permainan klub Dynamo Kiev dam tim nasional Ukraina. Berbekal bakat besar dan tempaan pelatih legendaris Valeri "the Colonel" Lobanosky, nama Sheva mulai menggema ketika mencetak hat trick ke gawang Barcelona di Nou Camp pada musim semi 1997. Sejak saat itu, prestasinya kian mengilap. Dalam ajang Piala Champion musim lalu, Sheva berhasil mencetak gol terbanyak dengan 11 gol, sementara pada musim yang sama ia berhasil mengantarkan klubnya menjuarai kompetisi nasional untuk kelima kalinya berturut-turut. Tak mengherankan bila Milan rela merogoh kocek senilai 16,23 juta poundsterling atau sekitar Rp 200 miliar untuk mentransfer Sheva dari Kiev dan mengontraknya selama lima tahun. Kehebatan Sheva sering dibandingkan dengan bintang Brasil, Ronaldo. Keduanya mempunyai persamaan dalam kehebatan mencetak gol dan pergerakan menembus pertahanan lawan yang laksana pisau membelah mentega. Namun, sementara Ronaldo adalah pemain stylish, Sheva sebagaimana umumnya pemain asal Eropa Timur adalah pemain yang mengandalkan kerja sama tim. Jadi, bintang Sheva hanya bisa mencorong bila rekan-rekannya membantu. Peluang Sheva untuk menjadi pencetak gol terbanyak pun sulit, mengingat kali ini adalah musim pertamanya, sementara pertahanan klub-klub di Italia bagaikan gembok. Hambatan lain, yang tak kalah potensialnya, adalah kemungkinan bujangan ini mengalami "gegar budaya". Maklum, Milan adalah kota besar yang glamor. Para pendukungnya di Kiev berharap Sheva tidak larut dan anjlok prestasinya seperti seniornya, Igor Shalimov, yang bermain di Inter Milan, karena terlalu sering keluyuran malam. Robbie Keane (Coventry City, Inggris) Menilik namanya, orang sering mengira Robbie adalah adik kandung Roy Keane, kapten Manchester United, apalagi keduanya bersama-sama membela panji tim nasional Irlandia. Namun, mereka tak bersaudara kandung, hanya kebetulan memiliki nama keluarga yang sama. Sementara Keane senior sudah lama malang-melintang di Liga Utama Inggris, Keane muda baru mendapatkan kesempatannya pada musim kompetisi tahun ini dengan Coventry City. Klub asuhan Gordon Strachtan ini menarik Robbie Keane dari klub lamanya, Wolverhampton Wanderers, dengan nilai transfer 6 juta poundsterling—sebuah angka yang fantastis untuk pemuda yang baru saja melewati usia 19 tahunnya pada 8 Juli lalu. Semula, ia diragukan bisa mengisi peran Darren Huckerby, yang pindah ke Leeds United. Namun, Keane membayar kontan kepercayaan pelatihnya dengan tiga gol dalam lima pertandingan. Hebatnya, semua gol tadi dicetak dalam posisi yang sulit. Sebetulnya, sebelum Keane pindah klub, Arsenal sudah menawar dirinya dengan harga 8 juta poundsterling. Namun, ia lebih memilih Coventry, yang terhitung klub gurem. Apa alasannya? Barangkali ini berkaitan dengan perjalanan karirnya. Saat pertama kali ia datang ke Inggris dua tahun lalu, Liverpool dan Nottingham Forrest sudah tertarik untuk meminangnya. Tapi ia lebih memilih Wolves karena ia akan berkesempatan menjadi pemain inti. Hal ini sangat penting untuk pemain semuda Keane. Saat itu memang tak banyak pemain muda yang bisa turun dalam pertandingan resmi. Nah, barangkali, kiat yang sama dipakainya kala menolak Arsenal. Maklum, di klub raksasa tersebut telah bercokol penyerang-penyerang papan atas. Hiroshi Nanami (Venezia, Italia) Saat Nanami dinyatakan resmi bergabung dengan klub Venezia, para pemilik hotel dan aneka jasa lainnya di kota gondola itu tersenyum lebar. Puluhan ribu turis dari Negara Matahari Terbit dipastikan akan datang setiap minggu khusus untuk menyaksikan Nanami di lapangan hijau. Dan itu artinya jutaan yen akan mengalir. Saat kompetisi belum dibuka resmi saja, ratusan fotografer asal Jepang sudah hilir-mudik di sekitar kamp klub Venezia. Seperti halnya Hidetoshi Nakata, rekan Nanami di tim nasional yang kini bermain di klub Perugia, Nanami adalah "obyek pariwisata satu orang". Namun, pertimbangan klub Venezia menarik gelandang asal klub Jubilo Iwata ini bukan itu. Kemampuannya menggocek bola dan mengumpan yahud. Terbukti, dalam pertandingan pertamanya, umpan matangnya berhasil membatu rekannya menjebol gawang Udinese. Tak salah bila ia disebut sebagai duplikat Nakata. Sekalipun pemain berusia 26 tahun ini sejatinya adalah senior Nakata di tim nasional, hal itu bisa dimaklumi, mengingat Nakata lebih dulu datang ke bumi spageti. Selain itu, tatkala Nakata meroket di Piala Dunia tahun lalu dengan permainannya—dan juga rambutnya yang berwarna jahe—Nanami justru kebagian kartu kuning. Bisakah ia menyamai sukses Nakata di musim pertamanya? Tampaknya sulit, mengingat persaingan kali ini begitu ketat. Namun, Nanami boleh jadi tak akan sejeblok sang pelopor, Kazu Miura, yang bermain di Genoa. Nanami sendiri mengaku saat ini dirinya sedang belajar banyak tentang sepak bola Italia dari Nakata lewat hubungan telepon yang intens. Tantangan terberatnya kini adalah mengisi peran bintang Venezia asal Uruguay, Alvaro Recoba, yang ditarik kembali oleh Inter Milan. Kieron Dyer (Newcastle, Inggris) Pers Inggris, yang biasanya kejam, tak ragu menjulukinya calon kuat gelandang yang akan membuat lini tengah tim nasional Inggris berkejora. Klub Newcastle United pun tampaknya sepakat sehingga tak ragu membeli Kieron Dyer dari Ipswich senilai 6 juta poundsterling. Layakkah pemuda berusia 20 tahun ini dihargai setinggi itu? Ditilik dari prestasinya yang belum terlalu istimewa, sebetulnya angka tersebut berlebihan. Namun, menurut pengamat sepak bola Kusnaeni, harga untuk Dyer adalah wujud kegandrungan publik Inggris terhadap jagoan lokal. Untuk ukuran pemain muda yang asli Inggris, Dyer memang boleh dikedepankan. Gaya permainan pemain produk tulen Ipswich ini mengingatkan penggemar kepada Ryan Giggs. Bedanya, Giggs di kiri, sedangkan Dyer di kanan. Sekalipun belum pernah bermain di liga utama sebelumnya, pada 1997 Dyer telah berhasil mencicipi pengalaman main di tim nasional Inggris, yang saat itu diasuh Glenn Hoddle. Memang tempatnya bukan di tim utama, melainkan hanya di tim kedua dan tim di bawah usia 21 tahun. Namun, itu sudah cukup untuk membawanya dikenal. Kesempatan Dyer untuk bermain di tim utama akhirnya kesampaian juga ketika ia dipercayai membela Inggris saat melumat Luksemburg dengan skor telak 6-0. Sayangnya, di Newcastle, ia tak bisa bermain di bawah asuhan idolanya, Ruud Gullit, karena yang bersangkutan sudah mengundurkan diri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus