Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMANG bola bundar dan menggelindingnya bisa ngawur. Kasus Elly Idris pun tak ubahnya seperti jalan bola, kadang sulit ditebak. Saat-saat Komisi Disiplin dan Komisi Hukum PSSI sibuk mengumpulkan data tentang kasus itu, pengurus Liga justru meralat keputusannya. Dalam rapat rutin Liga, Rabu pekan lalu, Pengurus Liga yang dipimpin Administratornya, Acub Zainal, mengeluarkan Surat Keputusan baru dengan nomor 021/SKEP/ADM/LIGA/9/IV/1989. Isinya, menjatuhkan hukuman skorsing terhadap Elly Idris selama 2 tahun tidak boleh aktif dalam persepakbolaan nasional. Surat ini membatalkan SK yang dikeluarkan Liga seminggu sebelumnya -- yang ditandatangani oleh Wakil Administrator Liga, Nabon Noor -- yang memberikan hukuman 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun untuk Elly Idris. Terbukti bahwa gelandang Pelita Jaya ini melakukan penghinaan terhadap ofisial klub Petrokimia Putra, Gresik, di Stadion Lebak Bulus Jakarta, pertengahan Maret lalu. Setidak-tidaknya penghinaan untuk Berce Matulapelwa, pelatih klub Petrokimia Putra itu. "Setelah dievaluasi dan dikaji kembali, ternyata memang ada kekeliruan dalam pengambilan keputusan sebelumnya," ujar Sekretaris Liga, H. Andi Darussalam, selaku juru bicara Liga. Menurut Andi, kekeliruan itu berasal dari kurang dikajinya secara mendalam SK PSSI nomor 37/IV/1988, tentang pemberian keringanan hukuman terhadap kasus suap yang menimpa Elly Idris, Noah Marien, dan Bambang Nurdiansyah. Padahal dalam pengambilan keputusan itu, Nabon Noor didampingi oleh Wakil Komisi Disiplin Liga yang juga Ketua Komisi Disiplin PSSI, Minang Warman S.H. SK PSSI nomor 37 yang dikeluarkan pada 19 April tahun lalu, salah satu diktumnya berbunyi: "Ditetapkan bahwa apabila ketiga pemain tersebut selama masa percobaannya melanggar ketetapan-ketetapan AD/ART PSSI, Keputusan dan Instruksi pengurus PSSI, Galatama, FIFA, AFC, AFF, Komda PSSI DKI Jaya serta klubnya, maka secara langsung tanpa adanya peringatan dalam bentuk apa pun, terkena skorsing selama 2 tahun." Andi juga mengakui bahwa ketika keputusan pertama itu diolah, data dan saksi-saksi, yang melihat ulah Elly Idris, tidak ada. Keputusan dikeluarkan hanya berdasarkan pengakuan Elly di depan Komisi Disiplin Liga, 19 April lalu. Sejak awal, pengurus Liga sudah mengimbau agar mereka yang melihat langsung peristiwa itu mau menjadi saksi. "Toh, tak pernah muncul saksi. Jika kemudian ditangani oleh PSSI baru muncul saksi, ya, memang PSSI-lah yang menemukannya," kata pemilik klub Makasar Utama ini. Alasan lain, tambah Andi, waktu itu pengurus Liga menganggap bahwa kasus Elly Idris yang sekarang berbeda dengan kasus terdahulu, sehingga hukuman yang dijatuhkan tidak dikaitkan. Sebuah kekeliruan yang diprotes dan dikecam banyak orang. Namun Andi membantah kalau keputusan baru itu lahir lantaran kecaman ke arah Liga. Tidak ada pengaruh luar sama sekali. "Kan sudah saya bilang tak akan ada orang yang bisa membeli Liga, dan juga tak akan pernah Liga mau dibeli. Pengurus menyadari bahwa terjadi kesalahan, dan wajar kalau harus dibetulkan," ujar Andi membela Liga. Alasan senada juga dikemukakan oleh Minang Warman S.H, yang ikut bersidang dengan Komisi Hukum PSSI, Selasa malam pekan lalu, tatkala PSSI mendengarkan saksi-saksi. "Berdasarkan pengakuan Elly bahwa dia dendam terhadap Berce Matulapelwa, sudah merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai luhur sportivitas atlet," kata Minang Warman. Menurut Minang, tindakan yang dilakukan Elly memang cukup berat. Sebab, Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) saja pernah merencanakan untuk melarang pemain merayakan terjadinya gol secara berlebihan di lapangan. "Nah, jika cuma merayakan saja dilarang apalagi dibarengi dengan mengejek," tambah Minang. Kalau landasan berpikir semacam ini lahir sejak awal penanganan kasus Elly, "bola" tak akan hilir-mudik ke sana kemari. Tampaknya saksi-saksi yang dipanggil PSSI hanya sebagai umpan terobosan yang kemudian ditendang Liga untuk meng-golkan hukuman buat Elly. Saksi itu ada dari wartawan, ada dari pemilik klub yang tergabung dalam Liga, ada pula pelawak Cahyono (Lihat Pokok & Tokoh). Akan halnya Elly Idris, 27 tahun, ia tidak menyangka kalau perubahan keputusan itu berlangsung begitu cepat -- dan memberatkan. "Saya belum bisa mengomentarinya sekarang karena saya belum menerima surat pemberitahuan secara resmi dari Liga. Saya perlu menghadap pengurus Pelita Jaya terlebih dahulu. Setelah itu baru saya jelaskan sikap saya," ujar Elly Idris sewaktu ditemui di rumahnya di Perumahan Ciputat Baru Blok C, Ciputat. Sampai akhir pekan lalu, Elly masih mempersiapkan suatu pembelaan atau pleidoi yang disebutnya sebagai "skripsi". "Saya sudah mengumpulkan bahan-bahannya, bahkan sudah mulai menuliskannya. Mudah-mudahan bisa selesai dalam waktu dekat," tambah Elly. Ayah dua anak yang didampingi istrinya ini kelihatan pasrah dengan tragedi yang menimpa keluarganya menjelang Lebaran. Ia belum berniat gantung sepatu dan ia cukup optimistis bahwa hukuman sekarang ini nantinya akan ditinjau kembali -- seperti yang pernah diterimanya tahun lalu dalam kasus suap. Berce Matulapelwa tak bisa menyembunyikan rasa gembiranya begitu mendengar Elly dihukum. Begitu pula Ketua Umum PSSI, Kardono, menyambut gembira dan merasa lega atas perubahan yang dilakukan oleh Acub Zainal. "Saya sangat setuju dengan keputusan pengurus Liga ini. "Kalau saya disuruh tanda tangan untuk mengukuhkan, sambil merem pun bisa saya lakukan," ujar Kardono sembari tersenyum puas. Itu berarti bahwa pengambilalihan kasus ini dibatalkan oleh PSSI. "Konsentrasi pengurus PSSI sekarang ini adalah persiapan menghadapi penyisihan Pra-Piala Dunia," kata Kardono. Ia memohon agar kasus Elly Idris ini tidak diperpanjang lagi, "cukup sekian saja, wassalam."Rudy Novrianto dan Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo