Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KINI tampaknya tak ada lagi perpecahan di tubuh Tae Kwon Do Indonesia (TI). Lewat musyawarah nasional yang berakhir Selasa malam pekan lalu, 17 pengurus daerah organisasi bela diri itu - yang selama ini terpecah dua: satu berkiblat ke Kanada dan satu lagi ke Korea Selatan - akhirnya sepakat berdamai dan mengakhiri pertikaian yang sudah berlangsung 10 tahun lebih. Memilih tokoh baru, Letjen (pur.) Sarwo Edhie Wibowo, yang kini menjabat ketua BP-7, sebagai ketua umum baru PB TI, para pengurus itu juga sepakat untuk menjadlkan Seoul, Korea Selatan, sebagai kiblat satu-satunya organisasi mereka. Olah raga bela diri ini sebenarnya berasal dari Korea Selatan, dan baru tahun 1960-an mulai diekspor, lewat para mahasiswa Korea yang belajar di luar negeri. Cuma, sebelum pengeksporan terjadi, di negeri itu muncul beberapa tokoh pembaharu sistem pertandingan dalam tae kwon do. Mereka mengimgimkan agar sistem yang sudah dipakai sejak 2.000 tahun yang lalu itu, yakni Sistem Kontak Penuh - para pendekar dalam satu pertandingan bisa bebas melancarkan pukulan ke tubuh lawannya - diubah. Disponsori seorang taekwondoin, bernama Choi Hong Kee, para pembaharu ini kemudian membentuk aliran baru tae kwon do. Namanya, mereka sebut, Tae kwon do Sistem Kontak Terkontrol. Dan Choi, yang kemudian pindah ke Kanada, menyebarkan ajaran itu ke pelbagai negara dari sana. Ke Indonesia, aliran ini baru masuk sekitar tahun 1972, dan lansung mendesak tae kwon do yang sudah datang sebelumnya, yaitu yang beraliran klasik Korea yang tumbuh sejak 1968. Tak kurang, Jenderal Leo Lopulissa, yang waktu ItU mendapat Dan II lansun dari Choi, ikut mengembangkan aliran ini di Indonesia. Sementara itu, beberapa pejabat lain, di antaranya Sugiri, bekas dirjen perhubungan udara, menjadi pelindung tae kwon do klasik dari Korea Selatan. Persaingan, tak syak lagi, memang terjadi. Di Indonesia, itu terjadi terutama di kota-kota besar, seperti Semarang, Bandung dan Medan. Sedangkan di luar negeri, Choi, dengan maksud menyaingi federasi tae kwon do klasik: WTF - (World Tae Kwon do Federation) mendirikan federasi baru: ITF (International Tae Kvon do Federation). Semua perkembangan ini rupanya dilihat KONI. Menjelang PON X 1981, KONI secara resmi meminta kedua pimpinan tae kwon di Indonesia itu segera mengakhiri persaingan tersebut. Karena permintaan itu, Sugiri dan Leo kemudian berembuk. Usaha penyatuan kemudian dilanjutkan oleh Jenderal Polisi Anton Soedjarwo, rekan Leo di ITF. Anton-lah yang sempat menggebrak penyatuan tae kwon do itu, Mei 1983. Dalam suatu apel para tae kwon do di lapangan Parkir Timur Senayan, Jakarta, selaku ketua umum PB TI (pengganti Leo) dia mengumumkan dimulainya penyatuan tae kwon do Indonesia - dimulai dari cabang Jakarta. Tapi, gebrakan Anton itu tak mendapat sambutan dari daerah lain. Dan tae kwon do tetap hidup dengan dua aliran sampai Anton akhirnya mengundurkan diri dari jabatan pada November 1983. Pengunduran diri itu, mau tak mau, menyebabkan kekosongan di tubuh PB TI. KONI kemudian bertindak. Maret lalu, pimpinan tertinggi organisasi olah raga ini memberi mandat kepada Sarwo Edhie, yang pernah menjadi dubes di Korea Selatan, untuk menertibkan organisasi bela diri itu. Tokoh ini, untuk sementara, tampaknya berhasil. Apakah pernyatuan yang dihasilkan Sarwo Edhie itu akan permanen? "Saya juga berharap begitu. Dan untuk itu, saya selalu membuka pintu buat berembuk," kata Sarwo. Ia sendiri mengaku belum banyak tahu tentang tae kwon do.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo