Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PATAR Tambunan bersama Aji Ridwan Mas dan Budiawan Hendratmo tampak berlari-lari kecil menyusuri lapangan sepak bola PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian), Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin pagi. Beberapa pemain PSSI Garuda lain berpencar di tengah lapangan. Ada yang meloncat-loncat dan ada yang menendang-nendang bola. Sesekali terdengar anak muda itu bergurau. Suasana santai tanpa pelatih itu sudah berlangsung enam hari - sejak PSSI Garuda kembali dari Turnamen Piala Merlion III di Singapura dengan predikat juru kunci Pool A, Rabu pekan lalu. "Kami berlatih dengan inisiatif sendiri. Solekhan sedang ke Surabaya, Barbatana sejak pulang dari Singapura tak pernah ke mari," tutur Budiawan mengenai kedua pembina PSSI Garuda itu. Mengaku "sedang diistirahatkan" setelah kegagalan di kejuaraan Piala Merlion, yang diikuti 8 negara itu, back kiri PSSI Garuda ini tak tahu pasti kenapa Barbatana belum menjenguk mereka. Apakah ini pertanda Pelatih Barbatana akan diganti? Tak seorang pun pemain PSSI Garuda, yang bermarkas di apartemen PTIK di Jalan Tirtayasa, Jakarta Selatan, bisa menjawab. "Kami belum dengar kabar pergantian itu dari pimpinan," kata Aji Ridwan Mas, kapten Kesebelasan PSSI Garuda. Tapi, hampir semua pemain sudah membaca kemungkinan meninjau kedudukan pelatih PSSI Garuda Joao Barbatana, dan mengadakan penelitian terhadap sistem pembinaan Garuda, seperti dijelaskan ketua umum PSSI Kardono, di surat kabar. Reaksi Barbatana? Kepada TEMPO, di lobi Hotel Kartika Plaza, Jakarta, Barbatana, 53, belum mau bicara banyak. "Saya masih menunggu Sigit untuk memastikan apakah akan terus di sini atau pulang," kata ayah tiga anak itu pendek. Dengan posisi juru kunci, PSSI Garuda, tim yang pernah dianggap sebagai "harapan sepak bola Indonesia", tak syak lagi jadi sorotan hangat di tanah air. Pelbagai kritik ditujukan pada sistem pembinaan yang dilakukan pengurus PSSI - yang sejak November 1983 dipimpin Kardono. Sistem itu, antara lain, berupa penetapan langkah untuk melahirkan sebuah tim nasional lewat pembentukan PSSI Garuda. Dibentuk Oktober 1981, PSSI Garuda, yang bermula dari bibit tim yunior, sesungguhnya lahir atas prakarsa Sigit Harjojudanto, bos Klub Arseto, yang kini duduk sebagai salah seorang ketua PSSI. Sigit, waktu itu, meminta empat pemandu bakat - Maladi, Suwardi Arland, Ipong Silalahi, dan Halilintar - mencari sejumlah pemain berbakat di antara mereka yang ikut invitasi klub yunior di Yogyakarta. Penggemblengan tim yunior ini diserahkan kepada bekas pemain nasional, Yuswardi. Setelah ikut pelbagai kejuaraan, tim yunior yang jadi cikal bakal PSSI Garuda ini diserahkan pembinaannya kepada Barbatana, pelatih kelahiran Ponte Nova, Brazil Tenggara. Di tangan bekas pelatih klub Atletico Mineiro, juara liga Brazil pada 1976, inilah pelan-pelan prestasi Garuda menapak. Awal Januari, enam bulan sesudah diasuh Barbatana, tim yang masih terdiri dari pemain berusia di bawah 21 tahun ini mengejutkan penggemar sepak bola di Bangkok. Mereka, di luar dugaan, tampil sebagai finalis Turnamen Piala Raja. Kendati ia belum berhasil merebut gelar juara pertama, prestasi sebagai juara kedua itu cukup menggembirakan penggemar sepak bola di Indonesia. Tiga bulan sekembali dari Bangkok, PSSI Garuda merebut hati publik Stadion Utama Senayan, Jakarta, dengan menundukkan klub nasional dari Arab Saudi dengan angka 2 - 1. Dan kemudian menahan seri 1-1 klub Lech Poznan dari Polandia, juga di Senayan, Juli 1984. Sejak itu PSSI Garuda mulai disebut-sebut sebagai "bibit unggul" tim nasional. Prestasi itu ternyata tak bertahan lama.Prestasi PSSI Garuda mulai menurun ketika ikut Kejuaraan Piala Asia Grup I di Singapura, Agustus lalu. Mereka gagal merebut tiket final yang akan dilaksanakan Desember nanti. Sejak itu awan hitam mulai melingkupi PSSI Garuda, dan mencapai puncaknya ketika mereka secara tragis tersingkir dari perebutan Piala Merlion III. Apakah sistem pembinaan seperti selama ini masih akan diteruskan? Tampaknya begitu. Sebab, seperti kata sekjen PSSI Nugraha Besoes, kekalahan PSSI Garuda tak bisa dijadikan vonis untuk menyebut bahwa sistem pembinaan dengan membentuk satu tim nasional ala PSSI Garuda sudah gagal. "PSSI Garuda belum gagal total. Dia tetap jadi cikal bakal tim nasional di masa depan. Mereka belum mencapai titik prestasi maksimal," kata Nugraha. Ditambahkannya, PSSI Garuda baru akan mencapai prestasi puncak pada SEA Games 1985. "Di situ baru terbukti siapa tim terkuat di Asia Tenggara," kata Nugraha. Tidak demikian halnya dengan Kadir Jusuf, kolumnis olah raga yang sudah lama mengikuti perkembangan PSSI. "Adalah pandangan keliru jika kita menganggap bisa melahirkan satu kesebelasan yang tangguh lewat pembinaan model PSSI Garuda," katanya berterus terang. Pada dasarnya, kata Kadir, sebuah tim nasional yang baik harus terdiri dari gabungan pemain muda dan mereka yang sudah berpengalaman. "Kerja sama kedua jenis pemain inilah yang sepenuhnya bisa melahirkan sebuah kesebelasan yang kuat." Dengan cara pembinaan PSSI Garuda, Kadir melihat, ada ketertutupan menerima pemain lain untuk memperkuat PSSI Garuda, meski pemain itu baik dan berpotensi besar. Mereka itu, antara lain, Didik Darmadi dan Herry Kiswanto, pemain berbakat di Galatama. Karena itu, Kadir menyarankan, sebaiknya PSSI Garuda dijadikan semacam terminal untuk menggembleng dan menyaring pemain nasional. "Kalau toh tetap mau jadi pemain nasional, PSSI Garuda bisa jadi tim B saja, di samping tim nasional lainnya. Sedangkan tim nasional Indonesia dibentuk dari gabungan tim-tim nasional yang ada," kata Kadir Jusuf.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo