Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANGIN berkecepatan 7 knot cukup merepotkan pilot Woerjono R.S. mengendalikan kendaraannya. Ia memang tidak mengendalikan pesawat terbang. Pria berewokan itu adalah salah seorang peserta lomba bersilancar angin (windsurfing) di perairan Teluk Jakarta akhir pekan itu. Pilot pesawat terbang milik sebuah perusahaan carteran itu berkali-kali tercebur ke air. Tapi ia terus bertahan. Woerjono, 48 tahun, sudah setahun lebih menggemari olah raga di air dengan papan peluncur yang digerakkan angin dengan sistem jet itu. Karena itu ia yakin akan memenangkan lomba. Kejuaraan windsurfing internasional pertama di Jakarta ini diikuti 51 peserta yang datang dari Bogor, Bandung, Bali, Ujungpandang, Prancis, Yunani dan Belanda -- selain Jakarta sendiri. Panitia yang agaknya belum berpengalaman, pimpinan Ir. Rachmat Witular tidak membagi peserta menurut kelas ringan (dengan berat badan 75 kg ke bawah) dan kelas berat (di atas 75 kg). Juga tidak membedakan handicap papan peluncur menurut bagian yang terendam di air atau pun besar kecilnya layar yang dipergunakan. WOERJONO (sedikit di atas 75 kg) tentu saja kalah gesit dan kalah terampil dibandingkan dengan para remaja yang mempergunakan papan peluncur (board) yang bagiannya lebih sedikit terendam di air. Ia ketinggalan jauh dari Miki Sampelan, Koko dan Ayub Subekti yang semuanya masih pelajar sekolah lanjutan di Jakarta. Ketiga peselancar yang memimpin perlombaan itu mempergunakan board dan layar terbaik menurut standar internasional -- dengan berat badan rata-rata di bawah 50 kg. Sedangkan Woerjono menghela papan peluncur dan layar di bawah standar. Di hari pertama ada dua lomba (race) mengitari segitiga olympik -- masing-masing sisi berjarak 2 km. Sisi pertama ke arah utara, harus ditempuh para peserta dengan gerak mata gergaji 3 atau 4. Mereka harus mengira-ngira tempat melakukan tek (sudut mata gergaji) karena pelampung (buoy) yang dituju berwarna putih hingga sulit dibedakan dengan warna pecahan ombak. "Dalam pertandingan di Singapura yang saya lihat, biasanya dipakai buoy jingga ukuran besar hingga kelihatan dari tempat start," tutur Woerjono yang bekerja di PT Airfast basis Singapura. Berlayar tanpa radar, dan teropong, Woerjono dan lebih separuh peserta masih belum beranjak jauh dari tempat start ketika Miki Sampelan, putra ahli navigasi dan rambu laut dari Ditjen Perla, telah mencapai buoy putaran itu Sisi pertama itu ditempuh Miki Sampelan sekitar 2 5 menit dengan papan dan layar yang berharga Rp 1,5 juta itu. Menyusuri sisi kedua arah timur, angin ritching (tiupan belakang samping) kiri, mendorong Miki Sampelan untuk ngebut ke buoy kedua. Setelah melakukan jibe (putar layar) ke samping kiri, angin ritching kanan menderu di layarnya membuat board terpacu ke sudut awal, tiap melakukan putaran segitiga terakhir. Pelajar SMP PSKD ini keluar sebagai juara race pertama, disusul Koko dan Ayub Subekti. Di race kedua, pada siangnya, Miki yang baru 4 bulan belajar bersilancar angin dan baru sekali ini ikut kejuaraan salah masuk pada buoy ketiga untuk putaran terakhir. Oleh panitia ia disuruh melakukan penalti keliling buoy itu. Sementara itu para peserta lomba yang sudah menguasai medan dari pengalaman race pagi hari itu sudah melewati Miki, sehingga ia putus asa dan langsung saja berhenti bertanding. Race kedua dimenangkan Iwan P. Wisesa pelajar SMP Yasporbi. Iwan yang mengendarai board Windsurfer dengan layar Susu Bendera sudah 2 tahun belajar windsurfing, mula-mula di Danau Cibubur. Pernah ikut pertandingan lokal Jakarta awal tahun ini tanpa mendapat nomor. Kalau kali ini ia menang, "mungkin karena peserta lain tampaknya sudah kehabisan tenaga atau kecapekan," kilahnya merendah. Olah raga ini memang selain menuntut keterampilan, juga keseimbangan bertumpu di papan, dan daya tahan otot lengan untuk menyetir layar, terutama sewaktu layar disepak angin ritching. Lebih berat lagi pada lomba marathon 10 mil dari dermaga Marina ke Pulau Nirwana pulang pergi. Marathon Minggu siang itu dilakukan tepat waktu arus lepas pantai menderas. Berlayar menuju Nirwana menuntut kemahiran melakukan gerak mata gergaji atau tek pendek. Ada peserta karena ingin melakukan sekali tek panjang dari tempat berlabuhnya kapal-kapal di Tanjungpriok, ternyata terseret arus. Dari 51 peserta, cuma 17 yang mencapai finish, selebihnya diangkut oleh pasukan katak dengan boat di rumah sakit. Harry Jost dari Ujungpandang sebenarnya pertama kali mencapai putaran marathon di Nirwana. Tapi karena boatnya bukan standar internasional, ia tersusul oleh peserta berpapan ringan sewaktu ngebut dengan angin ritching kembali ke Marina. Dari ketiga race Sabtu dan Minggu itu, Koko dan Ayub Subekti mengumpulkan nilai sama untuk juara umum, sehingga harus dilakukan tambahan lomba olympik sekali lagi yang dimenangkan Ayub Subekti. Akan halnya Miki Sampelan yang menjuarai race pertama dan race ketiga, tapi tak finish di race kedua dipilih oleh penyelenggara sebagai pesilancar angin terbaik kejuaraan ini. Dalam kejuaraan ini ada 6 peserta putri, yakni Kamsul dan Tibe Tasik dari Ujungpandang, Ira, Sari, serta si kembar manis Tuti dan Dani dari Jakarta. Berkat latihan setiap hari di lepas pelabuhan Ujungpandang, Dra Medis Kamsul berhasil menempatkan diri paling depan di antara para peserta putri di semua nomor. Peserta warga negara asing, termasuk Sachet Bertrand D. (17 tahun) yang sudah berpengalaman di Prancis, tak berhasil memperoleh nomor. "Kalaupun kami menang, kulit kami terlalu putih untuk mewakili Indonesia ke SEA Games," kelakar Wine D. Langelaar, pimpinan Hilton Executive Windsurfing Club. Menurut penilaiannya, peserta terbaik sebenarnya dari Ujungpandang. "Cuma karena mereka mempergunakan papan di bawah standar internasional kalah bersaing dengan peserta Jakarta,' tambah Langelaar yang berada di Indonesia sebagai konsultan Dep. PU. Semula kejuaraan ini dimaksudkan mencari wakil ke SEA Games Singapura awal Juni mendatang. Tapi kejuaraan yang belum rapi ini rupanya belum bisa dijadikan tempat pemilihan. Sehingga harus diulangi Maret nanti. Peserta dari Bali yang sudah mempunyai pesilancar (tanpa angin) terbaik tak ada yang mendapat nomor, tapi menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah seleksi ulangan itu. Bahkan Bali telah membooking sehagai penyelenggara Kejurnas windsurfing bulan Juli juga untuk Kejuaraan Dunia windsurfing zone Asia-Pacific Oktober mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo