Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JALUR 12 di Bowling Centre Kartika Chandra, Jakarta, bukan
lane sial bagi Paeng Nepomuceno. Pelatihnya langsung bersimpuh
mencium jalur keberuntungan ini setelah peserta Filipina itu
mengalahkan Alfonso Rodriguez dari Meksiko. Paeng tidak turut
sujud di situ karena ia sibuk melayani ciuman ayah, ibunya dan
gadis-gadis penonton, juga pipi peserta wanita lainnya.
"Tanpa dibayangi fortuna, Paeng mungkin tidak menang," kata
Conny Conrad, pelatih asal Austria yang sudah dua tahun menemani
Paeng. "Tapi dia memang sudah cukup mempersiapkan diri." Sejak
umur 13 tahun, dia sudah bermain bowling bersama ayahnya di klub
Celebrity, Manila.
Tahun 1976, Paeng membuat sejarah: pria termuda yang pernah
menjadi juara dunia bowling di Teheran (Iran). Dalam usia 23
tahun, orang berbadan tinggi itu pekan lalu menjadi juara dunia
lagi. Kemenangannya pada tahun 1976 telah membawa kegembiraan
bagi masyarakat Filipina yang menghadiahkannya sebuah mobil dan
beasiswa empat tahun. Belum diketahui hadiah apa lagi menanti
untuknya.
Unsur keberuntungan dalam bowling ini terbukti juga pada
diri Ny. Jean Gordon (29 tahun) dari Kanada. Menjuarai nomor
wanita, dia baru sekali ini mengikuti turnamen internasional di
luar Kanada, walaupun sudah bermain bowling sejak usia 8 tahun
di klub Brent Wood, Vancouver. "Saya berlatih paling banter tiga
game seminggu, sekedar rekreasi. Baru menjelang turnamen ini
saya berlatih duapuluh game seminggu, dan itu tidak banyak,"
kata Jean yang baru menikah tahun lalu dengan Glenn seorang
teknisi bangunan.
Rok Mini
"Lane di sini terlalu kering dan terlalu melengkung
dibandingkan yang di negeri kami," kata Glen Watson (34 tahun),
Ketua Persatuan Bowling Kanada. Dia bertanding juga tapi jatuh
di babak penyisihan. "Rahasia kemenangan Jean agaknya dari
ketenangannya sebagai tenaga laboratorium medis," demikian
Watson, seorang teknisi forklift.
Menurut Jean, dirinya gugup sekali di babak semi final.
"Saya hampir menangis dan ingin merokok di arena pertandingan ,"
katanya di depan kamar ganti pakaian. "Tiba-tiba saya ingat
bahwa saya sudah banyak kali menang dalam turnamen di Kanada.
Kenapa tidak di sini juga?"
Jean sebetulnya ditunjang oleh simpati penonton di final.
Saingannya, Hannelore Hoplitschek dari Jerman Barat, justru
menjadi kelabakan karena sejumlah pria Jerman yang semula
berteriak Hop, Hop, Hop, Hobby Strike, kemudian menyuarakan Hop,
Hop, Hop, Hobby Sex. Hannelore--selalu mengenakan baju kaus
putih ketat dan rok hitam yang sangat mini itu --berkata
"Supporter itu sinting."
Ketua PBI (Persatuan Bowling Indonesia) sangat menyayangkan
Am Ismail dan Indra Gondokusumo, pasangan yang mewakili
Indonesia dalam kejuaraan ini, gagal mencapai semi final.
"Bertanding di kandang sendiri, semustinya kita memperoleh
keuntungan lebih ting gi," kata Sutopo Jananto, sang ketua.
Am, istri seorang pegawai pajak, Ismail Manaf, menjawab,
"Mana tahan. Mental saya payah." Lolos ke 8 Besar, ibu dari
empat orang anak itu tidak bisa tidur pada malam sebelum
bertanding menuju semi final. Pengalaman tiga tahun bermain
bowling, satu tahun khusus di Kartika Chandra sejak bowling
centre ini dibuka tahun lalu, dia cukup menguasai lane. Banyak
lemparannya yang berhasil, strike. Justru pada game terakhir dia
kehilangan touch sehingga cuma mencapai urutan ke-5 dari 27
peserta wanita. Sedang Indra menduduki urutan ke-8 dari 35
peserta pria.
Ketua Jananto tidak terlalu berkecil hati. Sejak menjadi
anggota FIQ (Federasi Bowling Internasional) tahun 1972, baru
sekali ini PBI menghasilkan bowler Indonesia yang masuk 8 Besar
Dunia.
Presiden FIQ, Frank K. Baker memuji penyelenggaraan turnamen
ini. "Tidak ada keluhan dari peserta. Jadwal pertandingan pun
selalu tepat pada waktunya," katanya.
Turnamen Jakarta ini dibuka (25 Oktober) oleh Ibu Tien
Suharto dan ditutup oleh Ibu Nelly Adam Malik (l November).
Biayanya sebesar Rp 40 juta diperoleh dari "aksi malam dana"
tanpa mengharapkan hasil penjualan tiket. Tiketnya sengaja
dijual mahal (Rp 5.000 - Rp 10.000 sekali masuk) untuk membatasi
penonton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo