Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Membayar Dendam Di Senayan

Tim pelajar Indonesia di bawah asuhan Omo Suratmo, Maryoto & Burkhard Pape, menjadi juara Asia kedua kali setelah dalam final mengalahkan tim Muangthai. Pelipur bagi kemorosotan PSSI Sea Games XIII.(or)

28 Desember 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

STADION Utama Senayan gegap gempita. Suara terompet, sorak-sorai dan bunyi riuh lainnya serempak memenuhi stadion sepak bola terbesar di Indonesia itu, Jumat malam pekan lalu, ketika wasit meniup peluit panjang tanda berakhirnya final Kejuaraan Sepak Bola Asia ke-14. Aba-aba terakhir wasit tadi memang disambut gemuruh. Bukan karena ia memastikan kemenangan 2-0, tapi juga karena lawan malam itu adalah Muangthai, negeri yang lima hari sebelumnya telah mempermalukan PSSI di depan puluhan juta penonton televisi dengan mengalahkan tim asuhan Harry Tjong itu dengan angka 7-0 di SEA Games Bangkok. Selain terpuaskan "dendamnya", penonton juga gembira karena dengan kemenangan itu berarti tim pelajar Indonesia itu berhasil mempertahankan gelar juara Asia yang diperolehnya tahun lalu di New Delhi, India. Bisa jadi - selain alasan memang sudah lama dahaga akan kemenangan - karena alasan yang terakhir inilah agaknya, sehingga sambutan sukacita sekitar 60.000 penonton begitu meluap terhadap anak-anak asuhan trio pelatih: Omo Suratmo, Maryoto, dan Burkhard Pape "Saya gembira melihat mereka senang. Ini hal yang wajar, karena para penonton memang sudah lama menantikan kemenangan kesebelasan mereka di kejuaraan Asia seperti saat ini," kata Burkhard Pape, dalam bahasa Indonesia yang patah-patah. Pape, 53, kelahiran Hannover,Jerman Barat, pernah memperkuat kesebelasan SV Hamburg, sebagai pemain sayap kanan pada 1954-1955. Dia menggantung sepatu bolanya sekitar 1960 dan kemudian pindah profesi sebagai pelatih, dan terakhir jadi guru sepak bola di sekolah menengah di Jerman Barat. Dan dalam posisi yang terakhir inilah, ayah dua anak yang juga pernah mengajar sepak bola selama 12 tahun di Afrika, di antaranya di Uganda, dikirim pemerintahnya ke Indonesia, sebagai salah seorang pelaksana proyek kerja sama dalam bidang olah raga selama empat tahun. Tenaga Pape yang kemudian dimanfaatkan oleh Departemen P dan K itu - bukan oleh PSSI - kemudian diminta melatih tim sepak bola pelajar yang sejak 1979 memang dibina oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Olah Raga di Ragunan, Jakarta. Bekerja sama dengan dua pelatih Indonesia, Omo Suratmo dan Maryoto, yang sebelumnya sudah menangani tim pelajar yang berusia 18 tahun ke bawah itu, ia mulai menanamkan pelan-pelan prinsip dan pengetahuan dasar bermain bola, untuk para pemain pilihan dari pelbagai daerah itu. Hasil penanganan ketiga pelatih ini mulai berbuah pada 1983. Yakni, ketika tim yang direkrut dari kejuaraan sepak bola Pekan Olah Raga Pelajar Seluruh Indonesia (POPSI) itu, sekalipun baru pertama kalinya ikut, bisa mencapai final kejuaraan pelajar Asia ke-12 di Bangkok. Tim mereka kalah 0-1 di pertandingan akhir melawan Tim Pelajar Muangthai. Di tengah menurunnya prestasi tim senior PSSI, waktu itu, hasil mereka ini sudah menggembirakan. Harapan terhadap bibit-bibit baru ini semakin besar ketika, pada kejuaraan berikutnya, malah berhasil menjadi juara dengan mengalahkan tim yang sama di final dengan angka 2-1. Hasil ini mengejutkan. Dan jadi buah bibir di kalangan para penggemar bola. Bahkan pengurus PSSI kemudian jadi aktif memberikan bantuan, misalnya kostum dan bola untuk latihan tim pelajar tersebut. Malah, tim ini kemudian dipercaya untuk menjadi tim yunior yang mewakili PSSI dalam turnamen memperebutkan Piala Caltex, November lalu, di Pakanbaru. Setelah itu, tim ini entah kenapa makin kerap disebut sebagai PSSI Yunior, terutama ketika mereka mulai bertanding di kejuaraan Asia ini, mulai 10 Desember lalu. Tak begitu sering muncul di depan publik Jakarta, tim ini menurut Omo, 50, bekas pemain tengah PSSI asal Persib Bandung, memang lebih banyak dicoba di pelbagai tempat di luar Jakarta. Baru akhir-akhir ini, setelah melakukan 55 kali uji coba, tim pelajar yang didera pelatih mereka dengan moto bermain dengan otot, mental, otak, dan skill terpadu, itu dihadapkan dengan tim senior di Senayan. Hasilnya lumayan. Umpamanya, hanya kalah tipis 1-2 dari Kesebelasan Torpedo Kuitasi, Uni Soviet, dan bisa menahan seri PSMS Medan, juara Perserikatan PSSI, 1984 dan 1985, dengan angka 1-1. Tampil dengan cara bermain yang ngotot, bersemangat, dan hampir semua pemain siap mengejar bola, keberhasilan tim ini pada kejuaraan Asia yang diikuti oleh 11 negara itu membuat mereka pada akhirnya mampu merebut kembali hati penggemar bola yang terus terluka akibat kekalahan beruntun tim-tim PSSI belakangan ini. Bagaimana caranya tim ini digembleng? Baik Omo, Maryoto, maupun Pape mengatakan tak ada yang istimewa. "Cuma saya memang menekankan disiplin berlatih secara serius kepada mereka," kata Pape. Di markas mereka di Sekolah Olah Raga Ragunan, anak-anak pelaiar itu diminta berlatih selama tiga jam sehari. Pagi latihan fisik selama sekitar satu jam dan sorenya, latihan fisik lagi ditambah teknis mengolah bola. Hanya itu. "Tentang pola permainan, kami tak begitu mempersoalkan. Prinsip yang kami tekankan adalah agar anak-anak bisa bermain cepat dengan kombinasi operan pendek," kata Maryoto. Setidak-tidaknya, kendati, menurut pelatih Sinyo Aliandoe, para pemain tim ini masih lemah dalam kontrol bola, mereka kini sudah bisa memikat penonton Senayan, terutama dalam hal mencetak gol. Di segi ini, mereka memang unggul dari tim senior PSSI. Sebab, selain tak terkalahkan sejak di babak penyisihan, tim ini cukup produktif dengan kemampuan membobolkan gawang lawan-lawannya sebanyak 27 kali. Dan bagusnya, cuma dua kali kebobolan. Barangkali tim seperti inilah yang pernah diminta Presiden tempo hari menjelang SEA Games berlangsung. Yakni tim yang bukan cuma bisa kemasukan gol, tapi yang juga bisa memasukan gol. Marah Sakti Laporan Ahmed Soeriawidjaja, Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus