Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AIR mata itu akhirnya tak terbendung. Dimitri Payet, 29 tahun, meninggalkan lapangan Stade de France, Saint-Denis, Paris, dengan mata sembap. Ketika kakinya mencapai terowongan menuju ruang ganti, air mata meleleh di pipinya. Pemandangan itu terekam kamera televisi, juga terbidik para juru foto, menjadi bumbu penambah drama pertandingan pembuka Piala Eropa 2016, yang kemudian dianggap menjadi momen kelahiran Payet sebagai bintang baru tim nasional Prancis.
Dalam laga Prancis melawan Rumania itu, Jumat dua pekan lalu, Payet tampil mencorong. Ia seperti mencuri panggung milik Paul Pogba, bintang Juventus berusia 23 tahun, dan Antoine Griezmann, andalan Atletico Madrid berumur 25 tahun, yang sejak awal digadang-gadang akan menjadi kunci permainan Prancis. Mengandalkan umpan-umpan akurat nan menawan, gelandang klub Inggris, West Ham United, itu menjadi roh permainan Les Bleus-julukan Prancis.
Umpannya sempat diteruskan Olivier Giroud menjadi gol pertama untuk Prancis. Setelah Rumania menyamakan kedudukan lewat tendangan penalti Bogdan Stancu, Payet kemudian memastikan keunggulan Prancis dengan gol indahnya. Mendapat sodoran bola di luar kotak penalti, ia melakukan satu sentuhan dengan kaki kanan, lalu melepaskan tembakan keras dengan kaki kiri, yang melaju deras ke pojok kiri atas gawang Ciprian Tatarusanu.
Ketika Payet digantikan oleh Moussa Sissoko pada injury time, penonton memberi standing ovation buatnya. Pada saat itulah ia meninggalkan lapangan dengan berleleh air mata. Bagi Payet, itu memang jadi momen sangat mengharukan. "Pada awal musim, banyak orang yang tak akan percaya saya berada di sini. Saya melakukannya dengan kerja keras," katanya seusai pertandingan itu, seperti dikutip Fox Sport.
Thierry Henry, mantan pemain timnas Prancis, menyebutkan air mata Payet itu menjadi penanda betapa ia terpengaruh oleh masa lalunya bersama timnas. "Hari ini kita melihat seorang lelaki yang pernah terluka," ujar pria yang membawa Prancis menjadi juara Piala Dunia 1998 itu kepada BBC Radio 5. "Ia menangis di akhir laga. Itu menunjukkan seberapa besar ia ingin bermain untuk Prancis."
Luka yang disebut Henry adalah pencoretan dari skuad Piala Dunia 2014. Kala itu Payet bermain di babak kualifikasi, tapi akhirnya dicoret pelatih Didier Deschamps menjelang putaran final. Ia terpukul, tapi tak berdaya. Ketika diberi kesempatan bermain lagi dalam uji coba melawan Albania, Juni tahun lalu, Payet dianggap tampil mengecewakan sehingga diganti pada awal babak kedua. Pada bulan yang sama, dalam uji coba melawan Belgia, ia hanya bermain 17 menit meski akhirnya mampu mencetak gol.
Tak mengherankan bila pada awal musim ini Payet sempat berujar bahwa kesempatannya kembali ke timnas sudah hampir tertutup. Nyatanya, setelah laga perdana Euro 2016, masa depan cerah seperti terbentang di hadapannya. Deschamps pun memujinya. "Saya tak ragu akan pengaruh yang bisa diberikan Payet dalam pertandingan. Ia bisa membuat perubahan," kata pelatih 47 tahun itu. Lalu Deschamps menyambung dengan setengah berkelakar, "Saya akan menyimpan dia di es sehingga tak ada yang terjadi kepadanya sebelum laga berikut."
Pelatih West Ham, Slaven Bilic, tak heran terhadap kejutan yang dibuat Payet. Pria asal Kroasia ini mengatakan pemain gelandang itu kerap disebut sebagai penyihir karena kecemerlangannya saat bermain. Sebelum Piala Eropa dimulai, ia mengirimkan pesan teks penyemangat buat anak asuhnya itu. "Nikmati saja. Kau tak punya beban untuk dibuktikan. Kau adalah pemain terbaik di sana."
Bilic tak keliru. Saat melawan Rumania, Payet mampu menjadi pusat permainan Prancis, yang diisi sederet pemain bagus. Bola yang didapat pemain lain umumnya diarahkan kepadanya. "Itu luar biasa, terutama mengingat dia selama ini bukan pilihan tetap di timnas. Ia sudah membuktikan diri," ujar Bilic seperti dikutip Daily Mail.
Pujian tak kalah hebat diberikan media. Kantor berita Associated Press bahkan menyejajarkan Payet dengan Zinedine Zidane, pemain yang membawa Prancis menjuarai Piala Dunia 1998 dan Euro 2000. "Tak pernah sepeninggal Zinedine Zidane, Prancis memiliki seseorang yang bermain dengan menggabungkan keelokan dan efisiensi."
Permainan menawan itu didapat Payet dari perjalanan panjang diwarnai kekecewaan. Selain pernah dicoret timnas, Payet sempat didepak klub Le Havre saat berusia 16 tahun. Pemain kelahiran Reunion, pulau kecil koloni Prancis di Samudra Hindia, ini kala itu dipulangkan setelah berlatih selama empat tahun karena badannya dianggap terlalu kecil. Nyatanya, dengan badan yang tak terlalu besar itu-tingginya hanya 1,75 meter-ia kemudian mampu menapakkan kakinya bersama Nantes, Saint-Étienne, Lille, Marseille (semuanya di Prancis), dan kini West Ham.
Mantan rekan setimnya di Marseille yang kini juga memperkuat Prancis, Andre-Pierre Gignac, menilai Payet memiliki sederet kelebihan, termasuk kemampuan membaca permainan, memberi umpan dari bola mati, membuat assist, juga melakukan tendangan jarak jauh yang akurat. "Bila terus seperti itu, ia bisa membawa kami melaju sampai jauh," katanya seperti dikutip Le Figaro. Saat Prancis mengalahkan Albania 2-0 dalam laga keduanya pada Rabu pekan lalu, Payet kembali menyumbangkan gol sekaligus membantu meloloskan timnya ke babak 16 besar.
Bukan hanya Payet yang mendadak jadi idola di Piala Eropa ini. Tim nasional Wales juga memunculkan Hal Robson-Kanu. Menjelang turnamen empat tahunan ini, pemain sayap berusia 27 tahun itu malah tak memiliki klub. Pada Mei lalu, Reading, klub divisi II Liga Inggris yang sudah 12 tahun dibelanya, menyatakan tak lagi memperpanjang kontraknya yang sudah habis.
Kesuraman itu ia tebus di timnas, Sabtu dua pekan lalu, dengan membantu Wales mengalahkan Slovakia. Tampil sebagai pengganti selama 19 menit, Robson-Kanu langsung membuat perbedaan. Sempat menciptakan peluang emas untuk Aaron Ramsey, ia akhirnya berhasil mencetak gol pada menit ke-81. Gol itu memastikan Wales menang 2-1 setelah gol Gareth Bale disamakan Ondrej Duda.
Gol ketiga dalam 32 penampilannya itu sangat signifikan dan akan tercatat dalam buku sejarah sebagai gol yang memastikan Wales menang pada kiprah perdananya di Piala Eropa. Pemain yang pernah menimba ilmu di Akademi Arsenal hingga usia 15 tahun itu merasakan sensasi luar biasa setelah mencetak gol tersebut. "Rasanya saya bisa meledak karena kegembiraan," ucap Robson-Kanu.
Persoalan di level klub juga tak menghalangi Emanuele Giaccherini, 31 tahun, menjadi penentu bagi tim nasional Italia, saat mengalahkan Belgia 2-0. Ia mencetak gol pertama, yang kemudian dilengkapi gol Graziano Pelle. Gol itu seperti penebusan bagi pemain sayap yang nyaris kehilangan pijakan di klubnya ini. Musim ini, mantan pemain Juventus itu dipinjamkan klub Inggris, Sunderland, ke klub Italia, Bologna. Namun, di klub yang baru promosi itu, ia gagal bersinar dan hanya bermain 25 kali dengan menyumbangkan 7 gol.
Sunderland pun kini berancang-ancang menjualnya dengan harga obral, 2 juta pound sterling (sekitar Rp 37,8 miliar), atau hanya setara dengan gaji Lionel Messi, pemain Barcelona, selama sebulan. Tak mengherankan bila gol ke gawang Belgia itu dirayakan Giaccherini dengan tak biasa. "Setelah peluit akhir berbunyi, saya melemparkan kaus ke arah ayah saya di tribun karena ia sudah membuat begitu banyak pengorbanan dalam hidupnya. Ia pantas merayakannya," katanya.
Di tim nasional Hungaria, kisah serupa ditemukan pada Adam Szalai dan Zoltan Stieber. Mereka menyongsong Piala Eropa dengan kondisi di klub yang kedodoran. Szalai, striker berusia 28 tahun, dipinjamkan Hoffenheim ke klub Jerman lainnya, Hannover. Namun sepanjang musim ini ia hanya tampil 12 kali tanpa menyumbangkan satu pun gol. Di timnas, ia terakhir kali mencetak gol pada Oktober 2014. Adapun performa Stieber jeblok ketika dipinjamkan klub Jerman, Hamburg, ke Nurnberg. Gelandang 27 tahun itu hanya tampil enam kali dan menyumbangkan satu gol.
Tapi, pada Selasa pekan lalu, mereka justru memastikan Hungaria menekuk Austria 2-0. Szalai mencetak gol pada menit ke-62, sedangkan Stieber pada menit ke-87. Kemenangan 2-0 itu jadi modal berharga bagi Hungaria, yang tampil untuk pertama kalinya di Piala Eropa setelah 1972, buat lolos dari Grup F yang diisi Portugal, Islandia, dan Austria.
Szalai tampak berseri-seri seusai laga tersebut. Ia seperti kembali menemukan jawaban atas kerja kerasnya. "Jalan sulit sudah saya lalui. Tapi saya selalu percaya diri dan bekerja keras, meski keadaan tak selalu mulus," ujarnya. Dengan kerja keras serupa, Szalai-juga Stieber, Robson-Kanu, Giaccherini, dan Payet-berpeluang kembali menorehkan kisah epik saat menjalani laga lain dalam rangkaian Piala Eropa 2016 ini.
Nurdin Saleh (UEFA, Guardian, Daily Mail)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo