Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Candra Wijaya berdiri di sudut Gelanggang Bulu Tangkis Asia-Afrika, Senayan, Jakarta, sibuk menerima tamu yang datang. Sebelah tangannya memegang walkie-talkie dan satunya menyalami para kolega. Sesekali matanya berserobok dengan polah para bocah cilik yang mondar-mandir di depannya dengan tangan menggenggam botol minuman dan kaus bersimbah keringat.
Candra lalu bergerak menuju pintu masuk ketika Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo muncul dari arah sana. Legenda bulu tangkis Indonesia itu pun menggiring Roy ke salah satu meja bundar bertaplak putih. Empat pertandingan yang tengah berlangsung dihentikan sementara.
Menteri Roy menjadi tamu spesial hari itu. Candra mengundangnya untuk membuka secara resmi turnamen Yonex-SunÂrise Men's Double Championships 2013 pada 21-24 Agustus lalu. Ini kejuaraan yang cukup unik karena hanya mempertandingkan nomor ganda putra—nomor spesialis Candra yang membawa namanya mendunia.
Tahun ini untuk kelima kalinya turnamen digelar. Candra boleh tersenyum karena animo peserta cukup besar. "Khusus tahun ini ada penambahan kelompok umur pertandingan, yaitu usia di bawah 13 tahun," katanya. Itu sebabnya banyak bocah berkeliaran di sekitar gelanggang pertandingan.
Saat turnamen pertama kali digelar pada 2008, pesertanya berjumlah 150 pasangan. Lalu tern-nya meningkat setiap tahun. Kali ini pemain yang terlibat mencapai 480 pasangan. Mereka berasal dari 57 klub dan dibagi dalam beberapa kelompok umur: U-13, U-15, U-17, dan U-19. Candra menyediakan total hadiah senilai US$ 25 ribu.
Kiprah Candra yang memilih terus berkutat di lapangan, meski bukan sebagai pemain, juga dilakukan para legenda lainnya. Sebutlah nama-nama kondang ini: Susy Susanti, Alan Budikusuma, Sarwendah Kusumawardhani, Yayuk Basuki, dan AngeÂlique Widjaja. Dua nama terakhir sangat berwibawa di jagat tenis. Mereka semua punya kesamaan, yakni terlibat dalam turnamen yang berusaha menelurkan jagoan-jagoan baru penerus kejayaan.
Dalam dua pekan terakhir ini tiga turnamen bahkan dilangsungkan hampir bersamaan. Selain event milik Candra itu, satu turnamen lain digelar Susy-Alan dan satu lagi melibatkan Sarwendah.
Tak mudah menjaga agar turnamen berlangsung rutin saban tahun. Tapi Candra punya kiatnya. Kata peraih medali emas di Olimpiade Sydney 2000 itu, yang dibutuhkan adalah komitmen, keringat, dan—tentu saja—dana besar.
Candra beruntung punya nama besar. Saat masih aktif di lapangan, ia pernah memboyong sederet trofi bergengsi, antara lain Kejuaraan Dunia (1997), All England (2003), dan Olimpiade (2000). Bermodal nama besar dan prestasi itulah ia sukses menggandeng produsen peralatan olahraga asal Jepang, Yonex.
Bagi Yonex, Candra bukan nama baru. Mereka telah mensponsori Candra ketika ia masih menjadi atlet. Ketika Candra menyampaikan gagasannya untuk membuat turnamen ganda putra, ndilalah perusahaan itu berpikiran serupa. "Mereka juga punya tujuan sama, sehingga setuju menjadi sponsor," ujarnya.
Sejak itu, Yonex bersama anak perusahaannya, Sunrise, pun menjadi sponsor utama. Candra juga menggandeng tiga-empat perusahaan lain. Tapi, selama lima tahun, sponsor lapis kedua ini datang dan pergi.
Bagi Candra, banyaknya sponsor bukan patokan kesuksesan turnamen. "Asalkan biaya penyelenggaraan cukup, kami sudah puas," katanya. Tujuan utama turnamen adalah menjaring bibit-bibit baru sektor ganda.
Niat itu pula yang membuat legenda bulu tangkis nasional, pasangan suami-istri Alan Budikusuma dan Susy Susanti, mengadakan turnamen setiap tahun. Kejuaraan yang dikibarkan dengan nama Prima Astec Open itu bahkan sudah berlangsung sembilan kali. Tahun ini laga dilangsungkan setelah pergelaran Candra dan digeber di tempat yang sama.
Setelah pensiun, Alan dan Susy mendirikan Astec, perusahaan yang memproduksi alat-alat olahraga. Astec adalah kependekan dari Alan-Susy Technology. Nah, laba dari penjualan alat-alat olahraga inilah yang mereka sisihkan untuk menggelar turnamen.
Mereka juga bergerilya mencari sponsor. Tahun ini, misalnya, panitia menggandeng produsen air mineral Prima. "Meskipun punya nama terkenal, tetap saja kami masih kerja keras menggandeng sponsor," ucap Susy.
Dia bersyukur turnamen yang ia gagas masih bisa bertahan. Padahal biayanya lumayan besar. "Total hadiahnya saja Rp 200 juta," kata Susy. "Setiap penyelenggaraan Astec Open, kami selalu merugi."
Susy, yang telah memenangi hampir semua kejuaraan dunia, enggan menyebut angka kerugian itu. Baginya, itu semua terobati dengan tingginya animo masyarakat terhadap bulu tangkis. "Lebih dari 1.200 peserta terlibat tiap tahun."
Saat Susy, Alan, dan Candra sukses dengan gaweannya, pada waktu bersamaan berlangsung pula turnamen bulu tangkis lain bertajuk Tangkas Specs Junior ChalÂlenge 2013. Di pergelaran inilah satu nama legenda lain terlibat, yakni Sarwendah Kusumawardhani. Dia menyertakan anak didiknya untuk menjajal kemampuan dalam laga resmi. Sarwendah adalah pebulu tangkis andalan Indonesia pada 1990-an, seangkatan Susy Susanti.
Tiga turnamen berbeda digelar berurutan di tempat yang sama seolah-olah menunjukkan peran baru bagi para legenda bulu tangkis Tanah Air. Susy menilai ini gejala yang positif, karena semakin banyak turnamen, kian besar pula munculnya bibit baru. "Regenerasi akan terus bergulir," ujarnya.
Sayangnya, hiruk-pikuk penonton di Gelanggang Bulu Tangkis Asia-Afrika itu tak merembet ke Stadion Tenis Gelora Bung Karno, yang terletak di seberangnya. Stadion ini terasa sudah cukup lama dicekam kesunyian, jauh dari suara meriah tepuk tangan penonton. "Turnamen tenis makin sedikit," kata legenda tenis nasional, Yayuk Basuki.
Yayuk mengenang beberapa tahun lalu geliat kejuaraan tenis sama dengan bulu tangkis. Ia bahkan berperan serupa dengan Susy dan kawan-kawan, yakni menggelar turnamen pada 2003-2005.
Tapi kejuaraan yang diberi tajuk Junior Hemaviton Challenge itu rontok ditinggal sponsor. Bahkan beberapa kejuaraan yang memperebutkan piala bupati dan piala gubernur bernasib serupa. Satu-satunya turnamen yang masih ada adalah Tenis Junior Gasim Cup 2013, Juni lalu, di Stadion Tenis Gelora Bung Karno. "Mencari sponsor saat ini jauh lebih sulit," ucap Yayuk.
Nama besar Yayuk bahkan belum mampu menembus perhatian para penyandang dana. Tentu saja tak ada yang ragu terhadap pencapaiannya. Yayuk satu-satunya petenis Indonesia yang pernah menembus perempat final Wimbledon. Itu dilakukannya pada 1997. Ia juga mengoleksi enam gelar tunggal tur WTA dan sembilan gelar ganda. Namun reputasi itu rupanya belum cukup ampuh menggerakkan penyandang dana. "Sponsor lari karena tenis tak lagi punya ikon."
Hal senada disampaikan Angelique WiÂdjaja, sang penerus Yayuk. Angie—sapaan Angelique—juga pernah membuat beberapa turnamen tenis, seperti Sportama Championship 2008. Setahun kemudian, ia menggandeng Garuda Indonesia menggelar turnamen Indonesia Tennis Series. "Sejak 2008 biasanya kami bikin lima turnamen tiap tahun," katanya.
Namun semua itu kini mati di tengah jalan. Ketiadaan sponsor pula yang jadi penyebab utama. "Bahkan menggandeng BUMN pun susah," ujarnya. Menurut Angie, mereka ogah-ogahan karena prestasi tenis merosot sekali.
Angie mengingatkan, setelah era Yayuk Basuki dan dirinya, tak ada lagi petenis Indonesia yang bersinar. Ketiadaan bintang ini membuat publik kehilangan minat. Sponsor pun kabur. "Sekarang turnamen digratiskan saja tidak ada yang datang."
Lalu berputarlah benang kusut itu. Karena tak ada atlet yang bersinar, sponsor enggan datang. Tanpa sponsor, turnamen mandek. Dan tanpa turnamen, mana mungkin lahir bintang? "Kondisi ini seperti lingkaran setan," ucap mantan petenis nasional Teddy Tandjung.
Angie mengatakan lingkaran itu hanya bisa diputus jika pemerintah campur tangan. Salah satu caranya mencarikan sponsor turnamen. Campur tangan pemerintah diperlukan karena, kata Angie, "Tenis sekarang harus dari nol lagi."
Angie dan Yayuk mungkin berharap suatu saat mereka bisa seperti Candra Wijaya, yang menyongsong Roy Suryo karena Pak Menteri akan membuka resmi turnamen yang mereka prakarsai....
Dwi Riyanto Agustiar, Gadi Makitan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo