Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Olahraga

Wawancara Pelatih Herry Iman Pierngadi: Bulu Tangkis adalah Dunia Saya

Herry Iman Pierngadi adalah pelatih ganda putra pelatnas bulu tangkis PBSI. Berbicara tentang karier pemain, kepelatihan, hingga konflik pemain.

6 Maret 2021 | 08.01 WIB

Herry IP. dok.TEMPO
material-symbols:fullscreenPerbesar
Herry IP. dok.TEMPO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Herry Iman Pierngadi adalah salah satu tokoh penting di balik keberhasilan Indonesia memiliki ganda putra-ganda putra berbakat di dunia bulu tangkis. Namanya mungkin tidak terlalu moncer sebagai pemain, tetapi karier kepelatihannya sangat mentereng satu dekade terakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Herry IP sudah ada di pelatnas bulu tangkis PBSI sejak 1993 hingga saat ini. Meski sempat keluar pada periode 2009-2011, ia tercatat pernah mendampingi pasangan Candra Wijaya / Tony Gunawan meraih emas Olimpiade Sydney 2000. Olimpiade Tokyo 2021 tentu menjadi target baru Herry IP dan nomor ganda putra kembali jadi andalan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Herry IP menceritakan pengalamannya sebagai pelatih di PBSI dari awal karier di bulu tangkis dan warna-warni kepelatihannya di dunia bulu tangkis Indonesia. Berikut petikan wawancara Tempo dengan Herry IP.

Sebelum jadi pelatih, Anda adalah seorang pemain bulu tangkis. Bagaimana karier Anda saat itu?

Waktu jadi pemain, saya masuk pelatnas antara tahun 1984 atau 1985. Saat masuk pelatnas, saya berusia 22 tahun. Ketika itu belum ada pelatnas pratama, hanya senior saja. Kami masih berlatih di Hall C. Saya generasi di bawah Koh Chris (Christian Hadinata) dan Liem Swie King. Bila kami ingin berlatih, kami harus datang pagi-pagi dan lebih dulu sebelum senior latihan. Begitu senior datang, kami minggir.

Saya tak lama di pelatnas karena terkena sakit kuning. Akhirnya saya keluar dan tidak sampai satu tahun di pelatnas. Setelah itu saya masih main di tingkat nasional dan tidak masuk lagi ke pelatnas. Saya akhirnya berhenti karena lutut cedera. Sempat coba kembali main, tetapi kembali cedera lutut kiri.

Langsung memutuskan jadi pelatih?

Sebenarnya sudah tak mau lagi di dunia bulutangkis. Ada teman saya yang mengajak ke Australia untuk tinggal di rumahnya. Waktu saya di Australia, ada tawaran jadi pelatih oleh Lius Pongoh. Waktu itu saya juga anggota klub Tangkas. Lius nawarin, "Mau gak ngelatih? Karena Tangkas mau buka nomor ganda putra." Waktu itu di Tangkas cuma ada pelatih tunggal.

Saya lalu menjawab, "Kalau memang dikasih kepercayaan, ya saya coba." Tahun 1989 saya jadi pelatih. Dari situ awal karier saya sebagai pelatih. Saya mengombinasikan cara beberapa pelatih yang pernah menangani saya waktu jadi pemain. Beberapa tahun jadi pelatih saya baru mengikuti penataran pelatih yang diselenggarakan oleh PBSI.

Kapan Anda dipanggil Pelatnas PBSI?

Saya dipanggil pelatnas tahun 1993. Sebelum itu, ada Kejuaraan Dunia Junior di Indonesia. Saya diberi kepercayaan oleh PBSI jadi pelatih ganda putra untuk turnamen itu. Tony Gunawan, Candra Wijaya, Amon Santoso, Halim Haryanto, Namrih Suroto adalah pemain-pemain yang ada di tim itu. Tony lalu digantikan Sigit Budiarto. Saat itu All Indonesian Final di ganda putra. Dari situ saya dipanggil ke pelatnas pratama. Saya pelatih pratama pertama di pelatnas dan memegang pemain-pemain muda.

Saat itu Koh Chris masih jadi pelatih dan menangani ganda-ganda senior. Saya lalu naik menggantikan Koh Chris pada 1999. Koh Chris berkata "Kamu gantikan saya, Saya jadi pengurus." Pertama kali saya dampingi pemain berangkat ke All England, Tony/Candra langsung juara All England. Saat itu, saya enggak terlalu merasa ada beban, karena kami di bawah Korea Selatan. Sebagai pelatih dan pemain saya adalah underdog.

Candra Wijaya (belakang) berpasangan dengan pemain AS, Tony Gunawan dalam kejuaraan Djarum Indonesia Open Super Series 2008. Pasangan gado-gado Indonesia-AS berhasil meraih medali emas Olimpiade 2000 di Sydney, Australia Dok.TEMPO/ Zulkarnain

Anda mengantar Candra / Tony menjadi juara Olimpiade. Bagaimana ceritanya?

Saat itu, ganda Korea Selatan masih ada di urutan pertama dan kedua. Ganda Indonesia ada di urutan ketiga dan keempat. Dalam beberapa turnamen, Candra/Tony sering terhenti di semifinal. Setelah kalah di semifinal All England, kami lakukan evaluasi dan persiapan kami ubah.

Saya melihat Candra/Tony kalah di tenaga karena ganda Korea besar-besar sedangkan untuk teknik, ganda Indonesia tidak kalah. Saya melakukan perubahan latihan dengan menggunakan raket squash. Saya juga buat billboard dengan wajah ganda Korea itu. Meski Candra/Tony lelah, karena di depan mereka ada wajah musuh, mereka harus lanjut terus.

Setelah Candra/Tony juara Olimpiade Sydney...

Saya merasa jalan ini sudah jadi pilihan, dunia bulutangkis adalah dunia saya. Saya sudah jadi pelatih, tak bisa lari ke hal lain, skill dan ilmu saya sudah ada di sini. Jenuh pasti ada dan tinggal saya pintar mengatur waktu, antara rekreasi dengan keluarga. Saya juga kebetulan punya hobi, bila jenuh saya main burung.

Berikutnya soal kemungkinan melatih di luar negeri...

Tidak tertarik melatih di luar Indonesia?

Pernah ada tawaran dari Malaysia, tapi saya belum tertarik karena saya ingin melupakan bulutangkis. Saya tidak siap menghadapi situasi saat itu. Selain itu, saya masih belum kepikiran untuk keluar. Selama saya masih bisa di Indonesia, kenapa harus di luar kecuali sudah tak dipakai. Malaysia belum gencar dan saya bilang pikir-pikir dulu. Saat itu anak saya juga masih kecil, saya masih bisa cari uang di Jakarta.

Hendra Setiawan (kiri) dan Mohammad Ahsan merayakan kemenangan bersama Kepala Pelatih Ganda Putra PBSI, Herry Iman Pierngadi (kanan) seusai final BWF World Tour Finals 2019 Guangzhou, Ahad, 15 Desember 2019. Di tunggal putra, Anthony Sinisuka Ginting gagal juara setelah kalah dari Kento Momota. Badmintonindonesia.org

Kembali ke pelatnas pada 2011, Anda menduetkan Mohammad Ahsan / Hendra Setiawan?

Hendra pernah bilang ke Aryono Miranat agar ikut Kejuaraan Swiss Open. Saat tiba di kamar saya, Aryono bilang "Her, kalau Hendra mau masuk pelatnas lagi, elu masih mau gak?"
"Kenapa dia mau balik lagi? Ya sudah suruh ketemu gua aja."
Esok harinya, Hendra bertemu saya di stadion.
"Koh mau ngomong."
Saya bilang mau ngomong apa, padahal saya sudah tahu. Saat itu, pertanyaan pertama Hendra saya tidak bakal lupa. "Menurut Koh Herry, saya masih bisa prestasi gak?"
Saya bilang masih bisa, Hendra masih mampu.
"Gimana kalau saya masuk pelatnas lagi?"
Saya bilang, "Ya udah lu atur aja, ikut latihan sama saya. Kamu urusin urusan sama Kido dan Sigit, saya bantu berbicara dengan pengurus." Saya bicara ke Koh Chris.

(Saat itu, hubungan Herry IP dan Markis Kido dikabarkan sedang merenggang. Penggantian Sigit Pamungkas dengan Herry IP disinyalir menjadi penyebabnya. Markis Kido, yang berpasangan dengan Hendra Setiawan untuk emas Olimpiade Beijing 2008, pun memutuskan keluar dari pelatnas)

Koh Chris bilang tetap pilih saya. Sambil berjalan, saya pertemukan Ahsan dengan Hendra. Hendra pemain depan, Ahsan pemain belakang. Kami butuh waktu, butuh proses. Salah satu tantangan saya adalah membuktikan pada PBSI bahwa jika pengurus mengeluarkan saya itu sebagai keputusan yang salah. Tahun 2013 juara dunia. Ini hasil kerja saya, saya mau membuktikan bahwa saya bisa melatih.

Bagaimana hubungan Anda dengan Kido dan Sigit Pamungkas saat ini?
Soal itu sudah saya lupakan. Kita tentu tidak boleh dendam.

Anda juga sempat bermasalah dengan Marcus Fernaldi Gideon?
Saya punya cara mendidik atlet. Ada proses yang harus dilewati Marcus. Proses memiliki banyak jalan dan cara. Bukan saya yang mengeluarkan dia, dia yang mengundurkan diri dengan situasi emosi karena saat itu ia masih muda dan tak berpikir panjang. Akhirnya dia kembali ke sini.

Saya rapat resmi, ada Rexy Mainaky yang waktu itu jadi Kepala Bidang Pembinaan Prestasi PBSI. Rexy tanya saya, "Gimana koh herry mau terima Sinyo?" Saya lalu berkata, "Saya tak ada masalah, namun harus pakai syarat, mengikuti peraturan yang ada di PBSI, jangan mengambil keputusan sendiri."

Menurut saya, sudah campur tangan Tuhan, Marcus bisa bertemu Kevin. Kevin sudah ada partner saat itu, Selvanus. Siapa yang bisa sangka? Saya sebagai pelatih saja tidak menyangka Kevin / Marcus bisa sampai begitu hebat di bulu tangkis seperti ini.

Irsyan Hasyim

Menulis isu olahraga, lingkungan, perkotaan, dan hukum. Kini pengurus di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, organisasi jurnalis Indonesia yang fokus memperjuangkan kebebasan pers.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus