Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Boyolali - Atlet difabel di cabang olahraga atletik, Ahmad Sa'ad mengingatkan pentingnya keberadaan sekolah khusus bagi anak disabilitas. Menurut dia, sekolah khusus bagi anak berkebutuhan khusus juga berperan besar dalam membentuk mental serta menumbuhkan rasa percaya diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ahmad Sa'ad menceritakan apa saja yang dia dapatkan selama menimba ilmu di SMP Rehabilitasi Centrum Prof. DR. Soeharso Kota Surakarta. "Di sana mental saya betul-betul terbentuk. Sejak itu saya tidak pernah minder lagi dengan kondisi fisik saya," kata Ahmad Sa'ad, 35 tahun saat ditemui Tempo di Asrama Haji Donohudan Kabupaten Boyolali, Jumat, 16 November 2018.
Ahmad adalah satu dari 12 atlet penyandang disabilitas asal Kabupaten Kudus yang mengikuti Pekan Paralimpik Provinsi atau Peparprov III/2018 Jawa Tengah di Kota Surakarta. Selama Peparprov berlangsung, ratusan atlet dan official dari berbagai daerah menginap di Asrama Haji Donohudan.
Di Peparprov III/2018 Jawa Tengah, Ahmad mengikuti dua nomor pertandingan cabang atletik yaitu lempar lembing dan lempar cakram di klasifikasi F55. Meski gagal meraih medali, atlet penyandang disabilitas polio pada dua kaki itu mengaku sudah cukup puas dengan usahanya. "Pada nomor lempar lembing, catatan lemparan saya hanya selisih satu meter dari lemparan atlet peraih medali perunggunya," kata ayah dari dua anak itu.
Baca juga: Indonesia Butuh Pabrik dan Bengkel Kursi Roda
Ahmad mengatakan sama sekali tidak mengira bakal menjadi atlet yang bisa memakai seragam kebesaran bertuliskan Kabupaten Kudus pada punggung dan dadanya. "Dulu, saya tidak berani keluar rumah karena malu. Setelah lulus SD, saya menganggur selama setahun di rumah sebelum akhirnya sekolah di SMP RC Solo," kata Ahmad yang menyandang polio sejak berumur 3,5 tahun.
Ahmad masih ingat saat terjatuh ketika berlatih mengayuh sepeda baru yang dibelikan orang tuanya. "Setelah jatuh dari sepeda, tubuh saya demam. Sudah periksa ke mantri, tidak sembuh juga," kata dia. Sejak itu, Ahmad harus menggunakan dua tongkat kruk untuk berjalan.
Atlet difabel dari cabang olahraga atletik Ahmad Sa'ad di Stadion Sriwedari, Solo. Dinda Leo Listy | TEMPO
"Saya sekolah di SD umum. Mungkin dulu pernah jadi korban bullying juga, tapi saya sudah lupa," kata Ahmad sambil tersenyum. Berkat informasi yang diperoleh dari Sarekat Desa, ayah Ahmad kemudian mendaftarkan bungsu dari lima bersaudara itu ke SMP RC. Prof. DR. Soeharso Solo.
Saat pertama menapakkan kaki di SMP RC Solo, Ahmad baru menyadari kalau dia tidak sendiri. "Banyak anak lain yang fisiknya seperti saya, bahkan ada yang lebih parah. Tapi hebatnya mereka semua pemberani, tidak malu-malu," kata Ahmad.
Artikel lainnya:
Tunanetra Sartono Berjalan Tanpa tongkat, Pakai Mata Batin
Selain punya banyak teman senasib, mental dan rasa percaya diri Ahmad semakin terbentuk berkat pelajaran dan motivasi dari para pengajar di SMP RC Solo. "Kalau punya anak berkebutuhan khusus, lebih baik disekolahkan ke sekolah khusus juga," kata Ahmad yang kini membuka usaha kerajinan tas sekolah di rumahnya di Desa Kesambi, Kecamatan Mejobo, Kudus.