Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Ombudsman Republik Indonesia merespons langkah pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah (PP) yang mengatur penempatan prajurit TNI-Polri di jabatan sipil. Lembaga negara di bidang pengawasan pelayanan publik itu tengah menelaah rencana tersebut. Hasil telaah mereka akan menjadi masukan dalam penyusunan rancangan PP tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Masukan tersebut dilakukan Ombudsman dengan memperhatikan informasi atau aduan masyarakat,” kata anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, Jumat, 15 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Endi Jaweng berpendapat penyusunan rancangan PP itu membuktikan adanya perencanaan secara terstruktur dan sistematis untuk mengupayakan keterlibatan TNI-Polri di jabatan publik. Dia mengingatkan temuan Ombudsman tentang pengangkatan penjabat kepala daerah yang berasal dari perwira TNI, tahun lalu. Ombudsman menemukan maladministrasi dalam pengangkatan seorang perwira TNI menjadi penjabat bupati.
Perwira TNI yang dimaksudkan Endi Jaweng adalah Brigadir Jenderal Andi Chandra As’aduddin yang diangkat menjadi penjabat Bupati Seram Bagian Barat, Maluku, pada 2022. Saat itu Andi Chandra menjabat Kepala Badan Intelijen Daerah Sulawesi Tengah.
Endi Jaweng menjelaskan, sesuai dengan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, prajurit TNI-Polri memang diberi kesempatan menduduki jabatan sipil. Tapi Pasal 19 ayat 3 Undang-Undang ASN menegaskan bahwa pengisian jabatan ASN dari unsur TNI-Polri hanya dilaksanakan di instansi pusat, dengan tetap merujuk pada Undang-Undang TNI serta Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia.
Pasal 47 ayat 2 UU TNI mengatur bahwa prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, search and rescue (SAR) nasional, narkotika nasional, dan Mahkamah Agung.
Endi Jaweng melanjutkan, penempatan anggota TNI-Polri aktif di jabatan sipil bertentangan dengan sistem merit pada institusi sipil. Sebab, prajurit TNI-Polri yang menduduki jabatan sipil tidak beralih status menjadi pegawai negeri. Mereka tetap berstatus anggota TNI-Polri. Kondisi itu mengartikan bahwa pemerintah memberi perlakuan khusus kepada prajurit TNI-Polri di jabatan sipil.
“Hal ini bertolak belakang dengan semangat pelayanan publik yang mengedepankan asas-asas pemerintahan yang baik,” kata Endi Jaweng.
Menurut dia, pemberlakuan UU ASN terbaru yang disahkan pada 2023 itu juga telah mengubah penyelenggaraan sistem merit dalam manajemen kepegawaian. Sebab, UU ASN justru memberi kesempatan kepada anggota TNI-Polri yang menduduki jabatan sipil untuk beralih status sebagai pegawai negeri.
Kondisi ini sangat merugikan ASN. Sebab, mereka telah menempuh jenjang karier dari bawah. Tapi, ketika tiba waktunya mendapat jabatan tertentu di lembaga pemerintah, tiba-tiba prajurit TNI-Polri aktif yang akan beralih status sebagai pegawai negeri mengisi posisi tersebut.
Ketua Ombudsman RI, Mokhammad Najih, mengatakan sampai saat ini lembaganya tidak dilibatkan dalam penyusunan rancangan PP tersebut. Ia mengatakan pemerintah seharusnya melibatkan semua pihak dalam penyusunan rancangan tersebut, termasuk Ombudsman.
Meski tak dilibatkan, ujar Najih, lembaganya tengah menelaah agenda pemerintah tersebut. Hasil telaah itu akan menjadi masukan terhadap pemerintah.
Najih menuturkan pengisian jabatan sipil semestinya dilakukan dengan seleksi terbuka. Seleksi itu memberi ruang yang sama kepada pejabat ASN ataupun prajurit TNI-Polri untuk mengisi posisi tertentu di jabatan sipil. Posisi tersebut harus dibatasi hanya jabatan untuk pejabat eselon I dan bidang tertentu.
Pengisian jabatan sipil itu, kata Najih, harus mempertimbangkan karier ASN yang sudah lama berkiprah di bidangnya. “Prinsip non-diskriminasi harus diutamakan."
Kepala Biro Data, Komunikasi, dan Informasi Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Mohammad Averrouce belum menjawab permintaan konfirmasi Tempo soal ini. Averrouce hanya mengatakan lembaganya tengah menyiapkan jawaban tertulis. Tapi jawaban itu belum dikirim hingga artikel ini terbit.
Sejumlah personel TNI mengikuti apel gelar pasukan pengamanan Pemilu 2024 di Kodam V/Brawijaya, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (1/2/2024). Kegiatan itu untuk menunjukkan kesiapan personel TNI dalam mengamankan Pemilu 2024. ANTARA/Didik Suhartono
Rabu lalu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Azwar Anas mengatakan pemerintah tengah menyusun rancangan PP tentang manajemen ASN, yang di dalamnya mengatur penempatan prajurit TNI-Polri di jabatan sipil. Azwar mengatakan rancangan itu merupakan aturan turunan dari Undang-Undang ASN.
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto terkesan mendukung rencana itu. Ia mengatakan selama ini TNI sudah terlibat dalam sejumlah program pemerintah, seperti penanganan stunting, ketahanan pangan, dan penanggulangan bencana. “Dari berbagai masalah itu, ada pertanyaan 'apakah perlu di kementerian?'," kata Agus seusai rapat koordinasi di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Jumat kemarin.
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf, mengatakan ketentuan dalam Undang-Undang ASN Tahun 2023 merupakan bentuk kemunduran reformasi. Sebab, reformasi mengamanatkan penghapusan dwifungsi ABRI atau peran ganda tentara di militer dan jabatan sipil. Tapi UU ASN ini justru mengembalikan dwifungsi tentara tersebut.
"Seharusnya TNI dan Polri tetap dalam bidang pertahanan dan keamanan,” kata Al Araf.
Ia menegaskan TNI merupakan alat pertahanan negara dengan tugas utama menghadapi ancaman perang. Adapun Polri bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta menegakkan hukum. Maka personel di kedua lembaga itu seharusnya tidak dapat menduduki jabatan sipil. “Sebab, bukan fungsi kompetensinya."
Al Araf mengatakan penempatan TNI-Polri di jabatan sipil berdampak buruk bagi kehidupan birokrasi sipil karena akan menghambat sistem promosi dan penghargaan kepada pegawai sipil. Situasi itu juga dapat memicu konflik internal antara pegawai sipil dan anggota TNI-Polri.
Prajurit Satgas Yonif 116/Garda Samudera memasuki lapangan saat mengikuti upara pemberangkatan ke Papua untuk bertugas melakukan pengamanan sejumlah objek vital, di Pangkalan Udara Sultan Iskandar Muda, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, 12 Desember 2023. ANTARA/Ampelsa
Wakil Direktur Imparsial Ardi Manto Putra menilai penempatan anggota TNI-Polri di jabatan sipil akan merusak sistem ASN. Alasannya, TNI-Polri memiliki kesetiaan terhadap institusi alias esprit de coprs. Dengan begitu, mereka dipastikan tetap patuh terhadap garis komando institusi asal, bukan terhadap atasan di lembaga sipil tempatnya bertugas.
Masalah lain, kata Ardi, budaya kerja antara institusi sipil dan militer berbeda. Budaya kerja TNI-Polri berdasarkan garis komando. Sedangkan budaya kerja institusi sipil bersifat pelayanan publik.
Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rozy Brilian, sependapat dengan Al Araf dan Ardi. Rozy mengatakan penempatan anggota TNI-Polri di jabatan sipil dapat mengacaukan sistem pertanggungjawaban. Misalnya, prajurit TNI-Polri di jabatan sipil pasti tetap bertanggung jawab ke institusi asalnya sebagai wujud garis komando. Padahal mereka juga wajib bertanggung jawab ke atasannya di lembaga sipil tersebut.
“Mereka harus ikut pimpinan lembaga sipil atau panglima TNI?” kata Rozy.
Rozy menjelaskan, situasi serupa akan terjadi ketika anggota TNI-Polri di jabatan sipil melakukan tindak pidana. Selama ini, prajurit TNI yang diduga melakukan tindak pidana diadili di peradilan militer, bukan peradilan umum. Padahal perkara yang membelitnya berhubungan dengan tugasnya di jabatan sipil.
Ia mencontohkan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi yang diduga terlibat kasus korupsi pengadaan barang di Basarnas. KPK mengungkap rasuah ini lewat operasi tangkap tangan dan hendak menanganinya. Tapi pihak TNI keberatan dengan alasan Henri masih berstatus perwira aktif sehingga perkaranya harus ditangani Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI. KPK mengalah. Puspom TNI lantas yang menangani perkara Henri tersebut.
Rozy melanjutkan, penempatan anggota TNI-Polri di jabatan sipil sangat berbahaya dalam penyelesaian konflik di masyarakat. Sebab, anggota TNI yang berada di jabatan sipil kerap menggunakan pendekatan militer dalam menyelesaikan masalah di masyarakat, yang cenderung menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia.
“Kondisi itu terjadi dalam kasus Rempang, Batam; dan Wadas, Jawa Tengah,” ujar Rozy.
Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan menyarankan agar muatan rancangan PP manajemen ASN semestinya menguatkan komitmen reformasi TNI-Polri. “Bukan justru mendorong TNI-Polri menduduki jabatan pemerintah yang menjadi tugas dan fungsi ASN,” katanya.
Ia menegaskan, muatan rancangan PP itu juga harus merujuk pada Undang-Undang TNI. Pasal 47 undang-undang ini sudah mengatur lembaga pemerintah yang dapat diisi oleh prajurit TNI, di antaranya Badan Intelijen Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, serta Badan Siber dan Sandi Negara.
Menurut Halili, pemerintah sudah pasti menghidupkan kembali dwifungsi TNI ketika memaksakan anggota TNI-Polri aktif menduduki jabatan sipil.
HENDRIK YAPUTRA | DANIEl A. FAJRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo