Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

Cerita Mahasiswa Indonesia Menjalani Puasa Ramadan di Perbatasan Eropa-Asia

Mahasiswa asal Indonesia di Rusia, Rahmat Syahid, menceritakan pengalamannya berpuasa Ramadan di negera yang sedang berkonflik dengan Ukraina.

16 April 2023 | 13.22 WIB

Rahmat di perbatasan benua Eropa-Asia, Yekaterinburg, Rusia. Dok.Pribadi
Perbesar
Rahmat di perbatasan benua Eropa-Asia, Yekaterinburg, Rusia. Dok.Pribadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Bagi umat muslim, menjalani ibadah puasa Ramadan di negeri orang pastinya memiliki tantangan tersendiri. Mahasiswa asal Indonesia yang berkuliah di Rusia, Rahmat Syahid Suraya, menceritakan pengalamannya berpuasa di negara yang sedang berkonflik dengan Ukraina itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Rahmat merupakan kandidat doktor program Political Sciences and Area Studies di Ural Federal University. Kampusnya terletak di Yekaterinburg, kota yang berada di perbatasan Eropa dan Asia. Di kota tersebut, iklimnya lebih dingin dari ibu kota Rusia, Moskow karena terletak di bentang pegunungan Ural.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rahmat becerita, waktu berpuasa di sana sekitar 16 jam. Ia biasa sahur pukul 3 pagi. Waktu imsak atau mendekati Subuh dimulai sekitar pukul 4.30 pagi dan saat berbuka puasa Magrib pukul 19.30. Menurut dia, waktu sahur buka puasa di Yekaterinburg maju empat menit setiap harinya. 

“Di Yekaterinburg itu setiap hari maju empat menit. Jadi, majunya empat menit dan waktu berbukanya mundur empat menit. Apalagi musimnya kan musim semi, itu akan mundur terus sampai musim panas. Magrib bisa jam 22 atau 22.30 malam. Dan jam 3 pagi itu sudah sunrise," katanya kepada Tempo.

Jarak Masjid yang Jauh hingga Sulit Mencari Makanan Halal

Tak hanya waktu puasa yang panjang, sulitnya mencari makanan halal juga menjadi tantangan sendiri bagi Rahmat. Di kota Rahmat tinggal, makanan halal jarang ditemui. “Makanan halal juga sedikit. Karena di sini juga ada sertifikasi dan itu yang bikin mahal," ujarnya.
 
Makanan halal biasa dia temukan di mall dan supermarket. Ada juga yang berjualan daging ayam dengan logo halal. Untuk daging sapi, Rahmat memilih membeli dari penjual asal negara-negara mayoritas muslim seperti Tajikistan, Kazakhstan, dan Uzbekistan.

Makanan pokok yang biasanya disajikan di sana adalah plov, hidangan nasi dengan daging. Selain plov, Rahmat terkadang menggabungkan nasi dengan grechka, yaitu gandum yang dimasak. “Biasanya di mall ada tempat sendiri. Itu yang buat muslim, jadi ada logo halalnya,” ujarnya. 

Di Rusia, kata Rahmat, tak seperti di Indonesia yang masyarakatnya banyak berjualan takjil menjelang berbuka.  Dia biasanya menyiapkan makanan sendiri atau berbuka di masjid yang menyediakan takjil. Namun, tak banyak masjid di Yekaterinburg.

“Di daerah dekat kampus saya, masjidnya jauh. Kalau mau jalan kaki sekitar 48 menit, hampir satu jam. Kalau naik transportasi bus, itu akan berhenti di terminal terdekat tapi harus jalan lagi 10 menit,” katanya.
 
Di masjid tersebut, salat tarawih dilakukan 20 rakaat. Dimulai pukul 21.30, salat tarawih di sana bisa selesai pada tengah malam sekitar pukul 1.30. “Tarawihnya bisa sampai jam 12 malam lewat karena 20 rakaat dan panjang-panjang surahnya. Jadi, kadang-kadang mahasiswa yang datang ke masjid itu cuma buat buka puasa,” ucapnya.
 
Meski begitu, masjid tetap ramai dikunjungi. Hal ini karena masjid yang biasa Rahmat datangi merupakan satu-satunya masjid dalam radius lima kilometer di distrik Kirovsky.
 
Rahmat menyebut bahwa di kampusnya tidak ada tempat khusus untuk beribadah. Terkadang, dia harus berjalan 10 menit dari kampus ke asrama untuk salat atau menggabungkan salat sebelum ke kampus. “Jadi, kadang saya jamak salatnya. Misalnya saya ke kampusnya siang, saya jamak sekalian Asar,” ungkapnya.

Menurut Rahmat, banyak tantangan muslim di Rusia untuk menjalankan ibadah puasa. “Di sini banyak alasan untuk enggak usah beribadah. Enggak ada takjil dan lainnya. Lingkungannya enggak ada bedanya antara puasa sama tidak. Jadi, kuat-kuatin prinsip saja,” tuturnya.

Di Moskow, kota yang berjarak sekitar 1.416 kilometer dari Yekaterinburg, suasana Ramadan tak jauh berbeda. Akira Rizky Rosyadi, mahasiswa S1 Kecerdasan Buatan Russian Technological University mengatakan perubahan yang paling dia rasakan adalah waktu berpuasa.
 
“Yang berubah itu adalah waktu, karena waktu puasa di sini sekarang sudah mulai menyesuaikan seperti di Indonesia. Sekarang sudah masuk ke musim semi, waktunya lebih cepat. Kalau tiga atau empat tahun yang lalu, puasa bisa 18-20 jam pada Juli. Tetapi, sekarang di sini puasa hanya 13 – 14 jam dimulai dari jam 4 subuh sampai jam 7 malam kurang,” jelasnya.

Akira, mahasiswa S1 Kecerdasan Buatan di Russian Technological University. Dok. Pribadi

Akira bercerita di Moskow jumlah masjid lebih banyak dan persebarannya lebih merata. Dia mengatakan ada empat masjid besar di Moskow. Selama Ramadan, masjid tersebut membagikan takjil dan menggelar salat tarawih. 

Di kampus Akira, mahasiswa muslim harus membagi waktu antara perkuliahan dan ibadah, Terlebih bagi mereka yang masih berada di semester awal dan mengambil banyak kelas. Saat sedang kelas, Akira mengatakan mereka harus izin dahulu kepada dosen untuk beribadah atau berbuka puasa.
 
“Karena Islam bukan agama mayoritas di sini, jadi kami boleh minta izin ke profesornya. Tapi konsekuensinya, contohnya kalau salat Jumat, ya, tidak bisa mengikuti pelajarannya,” ujarnya. “Kalau untuk buka puasa boleh saja (makan di kelas), mereka menghormati orang-orang yang puasa, apalagi di Rusia karena puasanya lama," ujar pria berusia 21 tahun ini.

Lebaran di Rusia

Rahmat dan Akira berniat untuk merayakan Idulfitri di Rusia, di kota mereka masing-masing kuliah. Keduanya berencana untuk menyelesaikan studi di pada Juni dan Juli. Mereka pun tidak pulang ke tanah air untuk Lebaran. 

“Di sini rata-rata penduduknya Kristen Ortodoks, jadi untuk libur agama hanya ada Kristen Ortodoks,” terang Akira. Libur ini jatuh pada Januari awal. “Untuk Islam sendiri bukan agama mayoritas, jadinya tidak ada libur waktu Lebaran.”
 
Akira yang sudah lima tahun di Rusia biasa merayakan Lebaran di masjid atau Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Moskow. Selain menyediakan makanan, KBRI juga menyelenggarakan salat berjamaah dan halal bihalal.
 
“Kebetulan, di Moskow orang Indonesia jaraknya berjauhan, walaupun di sini mahasiswanya hampir 200. Jadi kami berkumpulnya sekali atau dua kali di KBRI. Momen-momen seperti Idulfitri ini menjadi momen kami temu kangen,” ujarnya.

Nabiila Azzahra

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini menjadi reporter Tempo sejak 2023 dengan liputan isu internasional

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus