Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, mempertanyakan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang memberikan tiga opsi kurikulum kepada sekolah-sekolah untuk proses belajar mengajar di masa Covid-19. Ia mengatakan hal ini justru hanya akan menimbulkan kebingungan di lapangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Nah, ini kan makin aneh. Tak bisa begitu. Menetapkan tiga kurikulum artinya menerapkan kurikulum yang berbeda-beda. Ini agak membingungkan juga bagi guru," ujar Retno dalam diskusi daring, Sabtu, 8 Agustus 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketiga opsi itu adalah sekolah-sekolah tetap mengacu kepada kurikulum nasional, menggunakan kurikulum darurat, atau menyederhanakan kurikulum secara mandiri. Hal ini diambil untuk memberikan fleksibilitas bagi sekolah untuk memilih kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran siswa.
Namun pada penerapannya Retno tak yakin akan lancar. Pasalnya, bila guru ingin kurikulum darurat yang ditetapkan karena lebih ringan, belum tentu sekolah atau dinas pendidikan setempat setuju.
"Misal kemudian sekolah disuruh dinas pendidikan daerah untuk pakai kurikulum 2013 atas nama kualitas pendidikan. Bagaimana caranya sekolah dan guru nolak," kata Retno.
Apalagi kurikulum 2013 disebut Retno cukup berat untuk dipenuhi. Bahkan sebelum pandemi kurikulum ini terhitung berat untuk dipenuhi guru. Alhasil ketika pandemi Covid-19 menyerang dan pembelajaran jarak jauh diterapkan, tugas yang diberikan guru pada siswa menjadi terlalu banyak.
Kendati mengapresiasi kebijakan yang dikeluarkan Mendikbud Nadiem Makarim, tapi Retno menilai di masa Covid-19 pemerintah tidak bisa serta merta memberikan kebebasan. "Yang kayak begini tetap butuh ketegasan. Hanya boleh berlaku kurikulum yang disederhanakan atau kurikulum situasi darurat di seluruh Indonesia," ujar Retno.