Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

NU Usul Sebutan Kafir ke Nonmuslim Indonesia Dihapus

Keputusan terkait penyebutan 'kafir' ini sebatas menjadi dasar sikap NU.

1 Maret 2019 | 01.32 WIB

Presiden Jokowi memberikan sambutan disaksikan Muhtasyar Nahdlatul Ulama (NU) KH Ma'ruf Amin (tengah) Rais Aam PBNU KH Miftahul Akhyar (ketiga kanan) dan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj (keempat kanan) pada Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Rabu, 27 Februari 2019. ANTARA/Adeng Bustomi
material-symbols:fullscreenPerbesar
Presiden Jokowi memberikan sambutan disaksikan Muhtasyar Nahdlatul Ulama (NU) KH Ma'ruf Amin (tengah) Rais Aam PBNU KH Miftahul Akhyar (ketiga kanan) dan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj (keempat kanan) pada Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Rabu, 27 Februari 2019. ANTARA/Adeng Bustomi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Banjar - Sidang Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah, Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU), mengusulkan agar NU tidak menggunakan sebutan kafir untuk warga negara Indonesia yang tidak memeluk agama Islam. Pimpinan sidang, Abdul Moqsith Ghazali, mengatakan para kiai berpandangan penyebutan kafir dapat menyakiti para nonmuslim di Indonesia.

Baca: Munas Alim Ulama NU Tak Dihadiri Sejumlah Kiai Sepuh

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Dianggap mengandung unsur kekerasan teologis, karena itu para kiai menghormati untuk tidak gunakan kata kafir tapi 'Muwathinun' atau warga negara, dengan begitu status mereka setara dengan warga negara yang lain," katanya di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Kamis, 28 Februari 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski begitu, kata Moqsith, bukan berarti NU akan menghapus seluruh kata kafir di Al Quran atau hadis. Keputusan dalam Bahtsul Masail Maudluiyyah ini hanya berlaku pada penyebutan kafir untuk warga Indonesia yang nonmuslim.

"Memberikan label kafir kepada WNI yang ikut merancang desain negara Indonesia rasanya tidak cukup bijaksana," ucapnya.

Moqsith sepakat jika urusan 'kafir' ini seharusnya sudah umat Islam Indonesia diselesaikan sejak dahulu. NU yang membahas kembali hal itu, kata dia, lantaran ada sekelompok masyarakat yang mulai memberikan atribusi diskriminatif.

Moqsith berujar keputusan terkait penyebutan 'kafir' ini sebatas menjadi dasar sikap NU. Sebabnya, keputusan itu tidak akan diteruskan ke Komisi Rekomendasi dan dibawa ke dalam sidang pleno di acara Munas Alim Ulama ini.

Baca: Munas Alim Ulama NU Dinilai Setara dengan Munajat 212

"Biasanya rekomendasi itu terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan negara. Sementara ini hanya narasi akademis," tuturnya.

Ahmad Faiz

Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bergabung dengan Tempo sejak 2015. Pernah ditempatkan di desk bisnis, politik, internasional, megapolitan, sekarang di hukum dan kriminalitas. Bagian The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea 2023

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus